Indonesia masih jauh dari target bauran energi terbarukan 23 persen pada 2025. Mengurangi pemakaian energi fosil juga demi lingkungan yang lebih baik.
Oleh
ARIS PRASETYO/KRIS RAZIANTO MADA/ICHWAN SUSANTO
·5 menit baca
Kompas/Wawan H Prabowo
Deretan kincir angin pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) menghiasi puncak bukit di Desa Kamanggih, Kecamatan Kahaungu Eti, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Selasa (2/2/2021). PLTB yang mulai dibangun pada 2013 tersebut saat ini tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan listrik masyarakat setempat. Meski masih bisa difungsikan, kerja baterainya tidak maksimal.
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia mempunyai utang komitmen pada Perjanjian Paris 2015 untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030 demi mengerem kenaikan suhu global tak mencapai 2 derajat celsius dan jika memungkinkan 1,5 derajat celsius. Mengurangi pemakaian energi fosil dan mengoptimalkan energi terbarukan perlu dipercepat untuk mencapai target tersebut.
Di sisi lain, ketergantungan pada energi fosil juga menjadi penyebab dari polusi udara, pencemaran lingkungan, dan defisit neraca perdagangan.
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional menetapkan bauran energi primer pada 2025 yang terdiri dari batubara sebesar 30 persen, energi baru dan terbarukan 23 persen, minyak bumi 25 persen, serta gas bumi 22 persen. Data dari pemerintah menyebutkan capaian energi baru dan terbarukan sampai akhir 2020 sebesar 11,5 persen. Dengan demikian, peran energi fosil masih amat dominan dalam bauran energi nasional.
Tanpa gerakan transisi energi yang agresif, Indonesia—pun dunia—akan dihadapkan pada ancaman berbagai kerusakan lingkungan yang berbagai fenomenanya sudah tampak. Mulai dari hujan ekstrem yang memicu banjir dan longsor, kekeringan, angin siklon yang sering terjadi di daerah tropis, hingga kenaikan muka air laut yang memicu genangan ataupun abrasi di pesisir yang terjadi di sejumlah daerah.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat kejadian bencana hidrometerologis sepanjang 2020 berupa banjir 1.080 kasus, kekeringan 29 kasus, tanah longsor 577 kasus, puting beliung 880 kasus, dan gelombang pasang atau abrasi 36 kasus. Kerugian ekonomi dari bencana hidrometeorologis dan geologis (gempa) mencapai Rp 22,38 triliun (Kompas, 4 Maret 2021).
Belum lagi dampak kenaikan suhu pada pertanian dan keanekaragaman hayati di laut dan di darat. Apabila kenaikan terus terjadi, meski dalam hitungan 0,1 derajat celsius, konsekuensi pada dampak yang ditimbulkan akan sangat besar.
Selain menghindarkan dunia dari krisis iklim dengan pemanfaatan sumber energi terbarukan, harga energi yang dihasilkan dari energi terbarukan lebih kompetitif dan berkelanjutan ketimbang energi fosil.
Produksi Listrik dari Energi Baru Terbarukan Dunia
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, transisi energi adalah sebuah keniscayaan yang tak bisa diabaikan. Selain menghindarkan dunia dari krisis iklim dengan pemanfaatan sumber energi terbarukan, harga energi yang dihasilkan dari energi terbarukan lebih kompetitif dan berkelanjutan ketimbang energi fosil. Dalam beberapa tahun ke depan, harga listrik dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Indonesia akan lebih mahal daripada listrik dari pembangkit listrik tenaga surya berikut dengan sistem penyimpan daya.
”Pengoptimalan sumber energi terbarukan juga akan menciptakan industri baru yang mendukung pertumbuhan ekonomi hijau, membuka lapangan kerja, dan menarik investasi,” kata Fabby, saat dihubungi di Jakarta, Minggu (14/3/2021).
Hal yang sama dikatakan Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana. Menurut dia, transisi energi tidak akan terelakkan di Indonesia. Pengoptimalan sumber energi terbarukan sedang didorong masuk ke dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang masih dalam pembahasan.
”Untuk mendorong transisi energi terjadi di Indonesia, pemanfaatan energi baru dan terbarukan harus punya ruang dalam RUPTL. Itulah yang ingin kami pastikan,” ujar Dadan.
Dadan membenarkan bahwa di masa lalu harga listrik dari energi terbarukan masih lebih mahal daripada listrik yang dihasilkan PLTU. Ia mencontohkan listrik dari PLTS seharga 20 sen dollar AS per kilowatt jam (kWH) pada masa 10 tahun lalu. Kemudian, lima tahun lalu berkisar 10 sen dollar AS per kWh dan kini berkisar 5 sen dollar AS per kWh atau setara dengan listrik dari PLTU.
Lebih dari 5.000 pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dengan kapasitas terpasang 2.000 megawatt segera diganti dengan pembangkit listrik energi terbarukan.
Pekerja membersihkan baterai pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) di Dusun Tanarara, Desa Maubokul, Kecamatan Pandawai, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Rabu (3/2/2021). PLTB yang dibangun pada 2013 itu hingga kini masih berfungsi dengan baik untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat sekitar.
Untuk mempercepat bauran energi terbarukan, lanjut Dadan, pemerintah telah memutuskan langkah strategis, seperti pengoptimalan biodiesel yang dicampur dengan solar (B-30) dan mencampur biomassa dengan batubara pada beberapa PLTU yang dikenal dengan metode co-firing. Lebih dari 5.000 pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dengan kapasitas terpasang 2.000 megawatt segera diganti dengan pembangkit listrik energi terbarukan.
Data Kementerian ESDM menunjukkan, potensi energi terbarukan di Indonesia mencapai 418.000 MW, sedangkan yang termanfaatkan baru sekitar 10.400 MW atau sekitar 2,5 persen saja. Tenaga surya adalah potensi paling melimpah di Nusantara sebesar 207.800 MW. Disusul kemudian potensi hidro 75.000 MW, bayu 60.600 MW, bioenergi 32.600 MW, panas bumi 23.900 MW, dan samudra (arus laut) 17.900 MW.
Divestasi
Di tingkat global, lembaga keuangan internasional terus mengumumkan pelepasan aset terkait batubara dan energi fosil lainnya. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres mendesak lembaga keuangan menghentikan pendanaan pada proyek-proyek batubara. Selanjutnya, investasi dari energi fosil lain dialihkan ke energi terbarukan.
”Saya meminta bank umum dan multilateral, juga investor di bank komersial, untuk mengalihkan investasi mereka sekarang,” ujar Guterres.
Ajakan itu sudah berulang kali disampaikan Guterres dan sejumlah pihak telah mengikutinya. Dana Pensiun Guru dan Pegawai Pemerintah Kota New York, Amerika Serikat, telah mengumumkan rencana divestasi senilai 4 miliar dollar AS dari sektor energi fosil. Dana Pensiun New York mengelola aset bernilai total 226 miliar dollar AS.
”Energi fosil tidak hanya buruk bagi planet, tetapi buruk juga bagi investasi,” kata Wali Kota New York Bill de Blasio.
Pelaku usaha tambang batubara harus bisa mengambil peluang dalam proses transisi tersebut.
Umbu Hinggu Panjanji melakukan perawatan rutin unit Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) Mbakuhau di Desa Kamanggih, Kecamatan Kahaungu Eti, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Selasa (2/2/2021). Listrik yang dihasilkan oleh PLTMH tersebut disalurkan ke masyarakat melalui Koperasi Jasa Peduli Kasih.
Di Indonesia, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengakui bahwa dunia usaha tambang batubara menyadari bisnis mereka adalah bisnis komoditas yang tak bisa diperbarui dan suatu saat akan habis. Akan ada masanya dunia bergeser dari pemanfaatan batubara ke energi terbarukan. Pelaku usaha tambang batubara harus bisa mengambil peluang dalam proses transisi tersebut.
”Untuk mengurangi emisi karbon, pemanfaatan teknologi dan inovasi sangat penting. Di sektor pembangkit listrik, misalnya, bisa memanfaatkan teknologi ultrasupercritical untuk meningkatkan efisiensi dan polusi yang lebih rendah,” ucap Hendra.
Sementara itu, menurut Kepala Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Deendarlianto, apabila seluruh potensi energi terbarukan di Indonesia dikembangkan, akan menjadi yang terbesar di kawasan ASEAN. Pengembangan tersebut memiliki peluang dengan adanya target 23 persen bauran energi terbarukan pada 2025. Sayangnya, ketergantungan Indonesia pada batubara dan minyak masih tinggi.
”Kebijakan dan kesungguhan pemerintah, termasuk dukungan berupa insentif, amat menentukan nasib pengembangan energi terbarukan di Indonesia,” kata Deendarlianto. (AP/AFP/APO/RAZ/ICH)