Tantangan terberat RI dalam RCEP adalah persaingan yang tinggi memasuki pasar negara mitra dan rantai pasok regional serta meraih investasi. Selain itu, impor perlu dikendalikan sembari memperkuat daya saing.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Implikasi dari penandatanganan Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Regional atau RCEP bukan sebatas urusan bisnis dan perdagangan, melainkan juga kesejahteraan masyarakat. Strategi kebijakan yang efektif untuk mengendalikan impor, seiring dengan pemetaan dan penguatan industri dalam negeri, perlu dirumuskan secara komprehensif.
Jika tidak siap bersaing, Indonesia hanya akan menjadi pasar, pemasok, atau pemain cadangan di kancah perdagangan global. Banjir impor dari negara lain akan menggerus industri dalam negeri serta akhirnya berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
Ekonom senior Institute for Development on Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, Selasa (16/3/2021), menilai, sejauh ini strategi pemerintah masih normatif dan parsial. Belum terlihat ada kebijakan yang konkret dan komprehensif untuk memetakan serta menyusun strategi penguatan industri dalam negeri.
Di tengah proses ratifikasi perjanjian RCEP dan sebelum resmi memberlakukannya, strategi mengantisipasi dan menjawab tantangan persaingan itu harus sudah dijawab secara konkret. Pemerintah menargetkan ratifikasi bisa rampung pertengahan tahun ini. Saat ini, dokumen perjanjian dagang itu masih diterjemahkan.
”Persoalan utama dengan RCEP adalah daya saing produk industri kita saat ini yang babak belur. Yang diperdagangkan di dunia ini hampir 76 persennya adalah produk industri, sementara kita hampir 76 persen masih memperdagangkan komoditas,” kata Enny dalam diskusi virtual yang diadakan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi (KMSKE).
Persoalan utama dengan RCEP adalah daya saing produk industri kita saat ini yang babak belur. Yang diperdagangkan di dunia ini hampir 76 persennya adalah produk industri, sementara kita hampir 76 persen masih memperdagangkan komoditas.
Jika tidak mampu bersaing, Indonesia akan lebih banyak menerima impor dari negara lain dibandingkan mengekspor produknya ke luar. Hal itu terutama mengingat kuatnya posisi China, masih defisitnya hubungan dagang Indonesia dengan China, serta homogenitas atau kesamaan produk ekspor dan impor Indonesia dengan China yang hampir mencapai 80 persen.
Kondisi industri yang babak belur dan kalah bersaing, ujar Enny, akan berdampak pula pada prospek pembukaan lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat pekerja Indonesia.
”Dengan kuatnya gempuran produk impor, tidak ada investor yang akan tertarik ke Indonesia, karena percuma saja, akan tetap kalah saing. Ini ironis sekali karena seharusnya Indonesia sebagai pemimpin Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) menjadi penentu,” katanya.
Menurut Enny, kebijakan hambatan nontarif (nontariff measures) yang efektif dibutuhkan untuk mengendalikan impor serta melindungi konsumen dan lingkungan. Kebijakan ini harus berjalan beriringan dengan upaya memperkuat daya saing industri dalam negeri. Saat ini, Indonesia baru memiliki 977 hambatan nontarif, masih jauh di bawah negara Asia lainnya.
Produk industri yang paling sering dikenai aturan hambatan nontarif antara lain tekstil, kimia, mesin, produk kayu, dan otomotif. Namun, kebijakan hambatan nontarif belum efektif karena koordinasi dan kerja sama antarkementerian masih minim. Akhirnya, hambatan nontarif Indonesia sering disengketakan dan sulit diargumentasikan.
”Kunci dalam merumuskan hambatan nontarif itu adalah koordinasi di antara para pemangku kepentingan. Namun, saat ini antara Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Pertanian saja tidak akur. Bagaimana mau merumuskan hambatan nontarif?” kata Enny.
Direktur Perundingan ASEAN Kementerian Perdagangan Antonius Yudi Triantoro membenarkan, tantangan terberat Indonesia pasca-penandatanganan RCEP adalah persaingan yang tinggi untuk memasuki pasar negara mitra, memasuki rantai pasok regional, dan meraih investasi.
”Terdapat levelplaying field yang jauh berbeda antara Indonesia dan negara peserta RCEP lainnya, khususnya China dan Vietnam, apabila dilihat dari biaya produksinya yang lebih kompetitif,” ujarnya.
Kondisi pasar yang sangat kompetitif mengharuskan pemerintah melakukan reformasi kebijakan yang masif. Yudi mengatakan, perumusan hambatan nontarif yang efektif semakin dibutuhkan untuk melindungi industri domestik. Namun, dalam kenyataannya, merumuskan hambatan nontarif tidak mudah.
Tantangan terberat Indonesia pasca-penandatanganan RCEP adalah persaingan yang tinggi untuk memasuki pasar negara mitra, memasuki rantai pasok regional, dan meraih investasi.
Yudi mengakui ada sejumlah titik kelemahan dalam perumusan kebijakan nontarif Indonesia. ”Sudah banyak sebenarnya masukan dari pengusaha, kekhawatiran atas membanjirnya impor kita. Namun, ini tidak mudah sehingga kita dinilai tidak patuh terhadap kaidah dan malah dianggap menghambat perdagangan,” katanya.
Untuk itu, dibutuhkan dukungan dari berbagai pemangku kepentingan, baik dari kementerian lain maupun pengusaha. ”Tugas pemerintah sekarang mengendalikan impor dengan cara legal, menemukan alasan berbasis kajian data dan sains, agar jika disengketakan, kita punya dasar argumen yang kuat untuk mempertahankan kebijakan kita,” katanya.