Bauran energi terbarukan ditargetkan sebesar 23 persen pada 2025. Sampai 2020, capaiannya masih 11,5 persen. Permasalahan pengembangan di lapangan harus ada solusinya.
Oleh
ARIS PRASETYO
·5 menit baca
Kompas/Wawan H Prabowo
Deretan kincir angin pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) menghiasi puncak bukit di Desa Kamanggih, Kecamatan Kahaungu Eti, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Selasa (2/2/2021). PLTB yang mulai dibangun tahun 2013 tersebut saat ini tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan listrik masyarakat setempat. Meski masih bisa difungsikan, kerja baterainya tidak maksimal.
JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan energi terbarukan di Indonesia masih penuh tantangan. Berbagai kendala, seperti harga jual beli tenaga listrik dari energi terbarukan yang kurang menarik di mata pengembang, minimnya insentif fiskal, serta kebijakan yang mudah sekali berubah, membuat pengembangannya lamban. Di tingkat lokal, pengembangan energi terbarukan terkendala sumber daya.
Dalam rentang lima tahun, yakni pada 2015-2019, rata-rata pertumbuhan kapasitas terpasang pembangkit listrik energi terbarukan di Indonesia sebesar 400 megawatt (MW) per tahun. Sepanjang 2020, penambahan kapasitas terpasang lebih rendah, yaitu kurang dari 200 MW. Pandemi Covid-19 sejak Maret tahun lalu menyebabkan sejumlah proyek pengembangan pembangkit listrik energi terbarukan tersendat.
Pada kurun 2018-2019, penambahan kapasitas terpasang terbesar ada di pembangkit listrik tenaga air, yakni (PLTA) 233,9 MW. Berikutnya adalah pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) bertambah 182,4 MW dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) bertambah 68,8 MW. Adapun penambahan kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) pada kurun yang sama sebesar 10,8 MW. Dengan kapasitas terpasang 10.467 MW sampai 2020, PLTA masih berperan terbesar dengan jumlah 6.121 MW.
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma berpendapat, salah satu batu sandungan dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia adalah tidak ada regulasi yang mengatur harga tenaga listrik dari energi terbarukan. Aturan yang pernah diterbitkan pun kerap berubah.
Ia menekankan pentingnya ada undang-undang (UU) khusus yang mengatur energi terbarukan. Rancangan UU tentang Energi Terbarukan ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021 yang diusulkan oleh DPR dan DPD.
”Apabila ada UU tentang energi terbarukan, pengembangannya akan punya landasan hukum yang lebih kuat dan lebih pasti. Di dalamnya nanti akan dimuat aspek pengusahaan, harga, atau pengelolaan,” kata Surya saat dihubungi, Senin (15/3/2021), di Jakarta.
Selain itu, harga listrik dari sumber energi terbarukan masih dipertentangkan dengan harga dari sumber energi fosil yang disubsidi negara. Hal itu dialami oleh pelaku usaha pengembang PLTP di Indonesia. Dukungan lembaga keuangan pada masa eksplorasi panas bumi juga minim.
”Belum lagi masalah transparansi dan jangka waktu penerbitan perizinan yang dapat memengaruhi keekonomian proyek panas bumi. Selain itu, kami juga dihadapkan masalah sosial di area proyek, seperti penolakan dari kelompok masyarakat tertentu,” ucap Direktur Utama PT Geo Dipa Energi (Persero) Riki F Ibrahim.
Di satu sisi, sejumlah warga di sekitar lokasi proyek PLTP Geo Dipa Energi di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, menginginkan informasi yang utuh terkait dengan pelaksanaan proyek. Sejumlah warga Desa Karangtengah, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, menilai sosialisasi terhadap warga sekitar masih minim. Pelatihan mitigasi bencana belum pernah dilakukan terhadap warga setempat untuk menekan risiko bencana dari eksplorasi energi panas bumi.
”Untuk sosialisasi dibutuhkan terutama untuk warga usia lanjut. Biasanya, jika ada ledakan, mereka itu jantungan. Di Dusun Pawuan itu ada 3 well pad (tapak sumur pengeboran) yang dekat dengan permukiman dengan jarak sekitar 500 meter,” kata Kata Kepala Dusun Pawuhan, Desa Karangtengah, Goris, Rabu (24/2).
Sumber daya
Di tingkat lokal, sejumlah pengembangan energi terbarukan mengalami kendala. Selain masalah sumber daya manusia, pengembangan energi terbarukan kerap kekurangan modal untuk pemeliharaan mesin pembangkit dan suku cadang. Bahkan, honor untuk operator minim bahkan tidak dianggarkan.
Salah satu pengembangan PLTB yang terhenti ada di Desa Kamanggih, Kecamatan Kahaungu Eti, Kabupaten Sumba Timur, NTT. Di salah satu puncak bukit di Kamanggih dibangun 20 tiang kincir angin dengan kapasitas masing-masing 500 watt peak (Wp) dan 20 panel surya dengan masing-masing kapasitas 50 Wp.
Kompas/Wawan H Prabowo
Umbu Hinggu Panjanji mengecek pintu air Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) Mbakuhau di Desa Kamanggih, Kecamatan Kahaungu Eti, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Selasa (2/2/2021). Listrik yang dihasilkan oleh PLTMH tersebut disalurkan ke masyarakat melalui Koperasi Jasa Peduli Kasih.
Pembangunan PLTB dan panel surya tersebut dibiayai oleh dana pertanggungjawaban sosial perusahaan PT Pertamina (Persero) pada 2013. Lantaran tiada biaya pemeliharaan, PLTB tersebut tak beroperasi.
”Selain hampir separuh tiang kincir roboh atau rusak, beberapa komponen, seperti baterai untuk menyimpan arus listrik, inverter (alat pengubah arus), dan controller (alat pengatur pengisian daya pada baterai), rusak berat sehingga tak lagi bisa lagi mengalirkan listrik ke rumah warga,” tutur Ketua Koperasi Serba Usaha Kamanggih Umbu Hinggu Panjanji (45) yang mengelola sumber daya energi terbarukan di Kamanggih.
Selain itu, harga listrik dari sumber energi terbarukan masih dipertentangkan dengan harga dari sumber energi fosil yang disubsidi negara.
Umbu menambahkan, awal mula beroperasinya PLTB dan panel surya tersebut, warga dipungut iuran Rp 20.000 per bulan. Sebanyak 23 rumah warga yang mendapat penerangan listrik dari PLTB dan panel surya tersebut. Belakangan, pembayaran iuran macet dan terhenti total. Kerusakan alat kincir angin maupun komponen lainnya tidak bisa diperbaiki atau diganti dengan suku cadang yang baru.
”Bagi sebagian warga kami, uang Rp 20.000 itu bukan uang kecil. Sangat berarti untuk biaya hidup sehari-hari,” ucap Umbu.
Kompas
Produksi Listrik dari Energi Baru Terbarukan Dunia
Hal yang sama terjadi di Desa Lantan, Kecamatan Batukliang Utara, Kabupaten Lombok Tengah, NTB. Di desa tersebut dibangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) dengan kapasitas 25 kilovolt ampere (kVA) pada 2007 dengan dana pemerintah provinsi. Kapasitas pembangkit diperbesar hingga menjadi 100 kVA. Namun, sejak mesin pembangkit rusak diterjang banjir pada 2013, PLTMH tersebut berhenti beroperasi.
”Mesin turbin rusak berat dan tidak ada dana untuk perbaikan. Sampai sekarang terbengkalai. Apalagi sejak ada jaringan PLN masuk ke kampung kami, nasib PLTMH tersebut sudah tinggal cerita,” kata Ketua Unit Listrik pada Koperasi Mele Maju Muhajir (33). Koperasi Mele Maju adalah pengelola PLTMH saat masih beroperasi.
Muhajir menceritakan, listrik dari PLTMH tersebut mampu menerangi sekitar 700 rumah warga desa. Setiap bulan, warga hanya dipungut iuran Rp 15.000. Setiap bulan, koperasi memperoleh Rp 8 juta sampai Rp 10 juta dari hasil iuran warga. Adapun biaya operasional per bulan hanya Rp 3 juta. Kini, sejak menggunakan listrik dari PLN, warga membayar sedikitnya Rp 50.000 per bulan.
Untuk mengoptimalkan sumber daya energi terbarukan di Indonesia, menurut Kepala Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarya, Deendarlianto, memang memerlukan perhatian penuh yang konsisten dari pemerintah untuk mencapai target bauran energi nasional. Kebijakan energi terbarukan yang top down dan niat politik yang rendah menyebabkan pengembangan berjalan lamban. Di samping itu, masih ada masalah operasi sistem kelistrikan yang belum mendukung sifat intermitensi energi terbarukan, seperti pada PLTS atau PLTB. (APO/ICH/RAZ/DKA)