Ketergantungan Indonesia pada migas masih tinggi. Optimalisasi energi terbarukan tak boleh mengabaikan peningkatan produksi migas di dalam negeri yang terus menunjukkan tren menurun.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Anjungan Central Plant Pertamina Hulu Energy Offshore North West Java (PHE ONWJ) di lepas pantai Karawang-Indramayu di Laut Jawa. Anjungan ini, selain mampu memproduksi 40.300 barel minyak per hari (BOPD), juga memasok gas bumi sebesar 120 MMSCFD untuk pembangkit listrik milik PLN. Pasokan minyak yang melimpah serta penurunan permintaan dari China dan negara Asia lain memangkas harga minyak dalam setahun belakangan ini.
JAKARTA, KOMPAS — Kendati pemerintah sedang memacu pemanfaatan energi terbarukan, pengembangan sumber energi fosil, seperti minyak dan gas bumi, tak boleh diabaikan. Ketergantungan Indonesia pada dua jenis sumber energi tersebut masih tinggi. Padahal, konsumsi minyak dan gas bumi di Indonesia terus meningkat di tengah produksi yang terus menurun.
”Minyak dan gas bumi yang kita anggap sebagai obat mujarab bagi ketahanan energi nasional, sekarang dianggap sebagai masa lalu. Padahal, hingga saat ini, minyak dan gas bumi masih menjadi sumber energi utama dalam bauran energi nasional,” kata Ketua Bimasena Subroto dalam webinar bertajuk ”Migas: Panasea Ketahanan Energi Nasional”, Sabtu (29/8/2020).
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Ego Syahrial, Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto, Direktur Utama PT Pertamina Hulu Energi Budiman Parhusip, Direktur Utama PT Triangle Pase Indonesia Tumbur Parlindungan, dan ekonom senior Faisal Basri menjadi narasumber dalam webinar tersebut.
Faisal mengingatkan bahwa kendati kebijakan energi nasional mendorong pemanfaatan energi terbarukan dan mengurangi pemakaian minyak, secara volume justru ada kenaikan konsumsi minyak di dalam negeri. Ia mencontohkan pada 2016 konsumsi minyak di Indonesia mencapai 56,8 juta ton dalam bauran energi nasional. Pada 2025, di saat porsi minyak dikurangi menjadi 25 persen dalam bauran energi nasional, secara volume diperkirakan sebanyak 103 juta ton atau naik hampir dua kali lipat.
Kendati kebijakan energi nasional mendorong pemanfaatan energi terbarukan dan mengurangi pemakaian minyak, secara volume justru ada kenaikan konsumsi minyak di dalam negeri.
”Konsumsi minyak terus naik, sementara kemampuan produksi di dalam negeri terus turun. Kita tak boleh berleha-leha meski kaya akan sumber daya energi terbarukan. Sebab, di masa mendatang, kebutuhan minyak kita terus meninggi,” ujar Faisal.
SUMBER: SKK MIGAS
Grafis produksi dan lifting migas periode triwulan I-2020.
Ego membenarkan bahwa meski persentase minyak dalam bauran energi di Indonesia menurun, secara volume justru membesar. Pada 2019, konsumi minyak di Indonesia mencapai 525,5 juta barel dan akan naik menjadi 710,9 juta barel di 2025. Padahal, persentase minyak dalam bauran energi nasional di 2019 sebesar 33,5 persen dan ditargetkan turun menjadi 25 persen di 2025.
Mengenai produksi minyak yang terus turun dalam beberapa tahun terakhir, menurut Ego, pemerintah tak tinggal diam. Eksplorasi terus dilakukan dan kontraktor migas saat ini diwajibkan menginvestasikan sebagian dananya untuk eksplorasi. Apalagi, masih ada 78 cekungan hidrokarbon yang sama sekali belum diteliti potensi kandungan migasnya di Indonesia.
”Eksplorasi bukan perkara mudah meski gampang sekali mengucapkannya. Hasil eksplorasi bisa gas, minyak, atau bahkan kering (tidak mengandung apa pun). Temuannya juga bisa besar atau kecil. Dalam 10 tahun terakhir, temuan di Indonesia memang kecil atau di bawah 100 juta barel. Padahal, kita membutuhkan temuan yang hitungannya itu miliaran barel,” kata Ego.
Begitu banyaknya aturan dan mudahnya aturan berganti-ganti adalah menjadi alasan kenapa situasi tersebut kurang bagus bagi investasi.
Mengenai eksplorasi yang dikerjakan Pertamina, menurut Budiman, pihaknya telah menuntaskan survei seismik dua dimensi yang menempuh jarak 31.140 kilometer dari perairan di sekitar Pulau Bangka, Bangka Belitung, hingga perairan di sekitar Pulau Seram, Maluku. Survei dimulai sejak 12 November 2019 dan berakhir pada 3 Agustus 2020. Hasil survei sedang diproses dan ia berharap dapat memberikan hasil yang signifikan terhadap upaya peningkatan cadangan migas di Indonesia.
Iklim investasi
Dari sisi investor, Tumbur berpendapat bahwa ada kecenderungan investasi hulu migas di Indonesia kurang menarik di mata investor. Begitu banyaknya aturan dan mudahnya aturan berganti-ganti menjadi alasan kenapa situasi tersebut kurang bagus bagi investasi. Hal ini bisa mengurangi kepercayaan investor terhadap Indonesia.
SUMBER: PERTAMINA
Kegiatan hulu migas PHE Offshore North West Java di laut lepas bagian utara Jawa Barat, Jumat (10/4/2020). Anak usaha PT Pertamina (Persero) ini memilih tetap beroperasi di tengah pandemi Covid-19 yang masih terus berlangsung.
”Begitu pula kesucian kontrak yang masih menjadi masalah di Indonesia. Contohnya, beberapa waktu lalu pemerintah mengubah harga gas. Kebijakan itu menyebabkan perubahan kontrak yang sudah disepakati,” kata Tumbur.
Sementara itu, Sugeng menyatakan bahwa DPR mendorong pemerintah menciptakan regulasi untuk mendukung iklim investasi berkelanjutan yang menawarkan kepastian hukum dan insentif fiskal yang menarik. Komisi VII DPR tengah menuntaskan dua undang-undang terkait energi, yaitu rancangan undang-undang tentang eneri baru dan terbarukan, serta penuntasan revisi UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.