Indonesia termasuk 10 besar negara pengimpor plastik, termasuk limbah plastik, terbanyak di dunia. Impor ini perlu dikurangi dengan pembatasan impor dan memperkuat industri daur ulang.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Total nilai dan volume perdagangan plastik secara global pada 2018 lebih tinggi daripada dugaan awal. Maraknya bisnis plastik dunia itu membawa dampak signifikan penambahan limbah serta pencemaran lingkungan, termasuk di Indonesia sebagai salah satu importir sampah plastik terbesar dunia.
Awal Maret 2021, Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) dalam laporannya, ”Global Trade in Plastics: Insights from the First Life-Cycle Trade Database” menunjukkan, nilai perdagangan plastik global pada 2018 lebih tinggi 40 persen dan volumenya lebih tinggi 25 persen dari estimasi awal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Sebelumnya, pada 2020, mengacu pada kode klasifikasi barang (harmonized system/HS) bab 39 yang terbatas, WTO memprediksi, nilai perdagangan plastik pada 2018 adalah 631 miliar dollar AS.
Dalam kajian terbarunya, dengan ikut menghitung data di luar kode HS bab 39, UNCTAD mencatat, secara total pada 2018, bisnis plastik global sebenarnya mencapai setidaknya 1,008 triliun dollar AS, atau mencakup 5 persen dari total keseluruhan nilai perdagangan global saat itu.
UNCTAD menyoroti siklus bisnis plastik yang panjang, kompleks, dan melibatkan pelaku yang luas dari hulu ke hilir. Setiap tahap, dari produksi bahan mentah plastik sampai hasil akhir berupa limbah berkontribusi pada tingginya tingkat perdagangan plastik di seluruh dunia, yang berdampak pada tingginya polusi lingkungan akibat sampah plastik.
Pada 2018, plastik primer atau mentah (polimer) merupakan jenis plastik yang paling banyak diperdagangkan dengan nilai mencapai 348 miliar dollar AS dan volume mencapai 196 juta metrik ton. Sementara produk akhir plastik dalam bentuk limbah diperdagangkan secara global hingga mencapai 8 juta metrik ton senilai 3 miliar dollar AS.
Negara-negara aktor utama perdagangan dunia juga menjadi pemain utama dalam bisnis plastik global. Indonesia termasuk dalam 10 besar negara pengimpor plastik terbanyak, yaitu impor barang manufaktur plastik setengah jadi (peringkat ke-4), tekstil sintetis (peringkat ke-6), limbah plastik (peringkat ke-10), dan plastik aditif (peringkat ke-10).
Indonesia termasuk dalam 10 besar negara pengimpor plastik terbanyak, yaitu impor barang manufaktur plastik setengah jadi (peringkat ke-4), tekstil sintetis (peringkat ke-6), limbah plastik (peringkat ke-10), dan plastik aditif (peringkat ke-10).
Badan Pusat Statistik mencatat, volume impor sampah plastik Indonesia mencapai titik tertinggi pada 2018, yakni 320.452 ton atau senilai 102,4 juta dollar AS. Jumlah itu lebih dari dua kali lipat angka impor limbah plastik tahun 2017, yaitu 128.951 ton. Sementara total impor limbah plastik Indonesia pada Januari-Desember 2020 senilai 63 juta dollar AS dengan volume impor sebesar 181.718 ton.
Ekonom senior UNCTAD, Diana Barrowclough, mengatakan, hampir semua negara terlibat aktif dalam bisnis plastik. Meski sulit dihindari, hal itu dapat diantisipasi, salah satunya lewat membatasi volume perdagangan limbah plastik. Bagi negara yang belum memiliki sistem pengolahan sampah mumpuni, impor limbah mengancam kelestarian lingkungan dan kualitas hidup masyarakat.
Apalagi, mengingat mayoritas impor limbah plastik tidak didaur ulang secara selayaknya sehingga mengandung B3. Sampah yang tidak aman ini kebanyakan diimpor ke negara-negara yang tidak punya kapasitas mengelola sampah dengan baik.
”Isu ini semakin krusial mengingat tantangan kita ke depan adalah mewujudkan dekarbonisasi dan ekonomi hijau yang ramah lingkungan. Kajian yang lebih komprehensif ini diharapkan bisa mendorong terciptanya produksi, konsumsi, dan perdagangan plastik yang lebih berkelanjutan ke depan,” kata Barrowclough dalam keterangan pers pada 3 Maret 2021.
Industri daur ulang
Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Fajri Fadhillah, Senin (15/3/2021), mengatakan, Indonesia harus perlahan membatasi impor limbah plastik dan mengandalkan sampah plastik lokal untuk diolah oleh industri daur ulang dalam negeri menjadi bahan baku berbagai sektor industri.
”Tidak perlu lagi impor limbah dari negara lain. Sebenarnya limbah dari luar negeri pun banyak celahnya. Banyak sampah domestik dan scrap yang ujung-ujungnya pun tidak bisa digunakan juga. Banyak juga yang ternyata mengandung bahan beracun berbahaya atau B3. Daripada menambah beban pengawasan, lebih baik kita tingkatkan kualitas limbah dalam negeri,” ujarnya.
Indonesia harus perlahan membatasi impor limbah plastik dan mengandalkan sampah plastik lokal untuk diolah oleh industri daur ulang dalam negeri menjadi bahan baku berbagai sektor industri.
Akan tetapi, lanjut Fajri, untuk mendorong ekonomi sirkular dan industri daur ulang dalam negeri, pemerintah harus mengintervensi aturan produksi plastik di manufaktur. Kalau mau mewujudkan ekonomi sirkular, jenis plastik bermasalah harus dikeluarkan dulu dari pasaran.
”Gunakan jenis plastik tertentu yang tingkat daur ulangnya lebih tinggi, seperti plastik PP (polypropylene) atau PE (polyethylene terephthalate), itu masih bisa diterima. Kurangi penggunaan virgin plastic (plastik murni tanpa daur ulang),” katanya.
Sementara Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Didi Sumedi menuturkan, pemerintah sudah mulai menerapkan kebijakan pembatasan impor limbah plastik. Salah satunya, membuat daftar eksportir tertentu yang memungkinkan re-ekspor barang yang tidak diinginkan atau dibutuhkan.
Daftar itu sudah selesai disusun dan menjadi patokan dalam perdagangan plastik. ”Kita sudah cukup bijak dalam membatasi impor limbah plastik. Hanya eksportir limbah terdaftar yang mau menerima re-ekspor yang bisa mengekspor limbahnya ke Indonesia. Selain itu, kita juga melakukan verifikasi terhadap bahan baku limbah plastik itu, ada syarat-syaratnya,” katanya.
Seiring dengan itu, kebijakan impor juga diperketat. ”Istilahnya, kalau industri memilih mengimpor (limbah), itu akan jadi biaya tersendiri yang lebih besar dibandingkan kalau menggunakan bahan baku limbah dalam negeri,” kata Didi.
Ia juga menyatakan, meski volume impor limbah plastik pada 2018 tinggi, jumlah itu diyakini menurun selama pandemi Covid-19. Hal ini mungkin terjadi karena kondisi mayoritas industri yang lesu permintaan dan produksi.