Kementerian LHK Selidiki 600 Kontainer Sampah Plastik di Batam
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyelidiki keberadaan 600 kontainer sampah plastik di Batam yang diduga tercampur limbah berbahaya dan sampah jenis lain.
Oleh
Pandu Wiyoga
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyelidiki keberadaan 600 kontainer sampah plastik di Batam yang diduga tercampur limbah berbahaya dan sampah jenis lain. Impor sampah plastik melonjak drastis diduga seiring dengan meningkatnya tensi perang dagang antara Amerika Serikat dan China.
Dihubungi dari Batam, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Rosa Vivien Ratnawati, Sabtu (7/9/2019), membenarkan hal tersebut. Hasil uji laboratorium akan diumumkan kepada publik pada tiga hari mendatang.
Dugaan pelanggaran impor sampah plastik untuk bahan baku industri daur ulang itu merupakan yang kedua kali di Batam. Sebelumnya, Juli 2019, sebanyak 49 kontainer sampah plastik di Pelabuhan Batu Ampar dinyatakan Kementerian LHK tercampur limbah berbahaya dan sampah jenis lain.
Aktivitas impor scrap plastik yang tidak homogen melanggar Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non-bahan Berbahaya dan Beracun, serta Konvensi Basel. Barang yang tercampur harus diekspor ulang ke negara asal paling lambat 90 hari sejak tiba di Indonesia.
Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe B Kota Batam Susila Brata mengatakan, impor sampah plastik itu dilengkapi izin dari Kementerian Perdagangan. Surat dari surveyor yang ditunjuk juga menyatakan jenis barang yang diimpor telah diperiksa dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
”Bea dan Cukai tugasnya memfasilitasi instansi terkait, baik Dinas Lingkungan Hidup maupun Kementerian LHK. Apa pun yang menjadi keputusan kementerian atau lembaga tersebut akan kami laksanakan,” kata Susila.
Hal ini sama dengan kasus sebelumnya. Waktu itu, kontainer sampah plastik yang bermasalah juga dibekali surat lengkap. Kode HS yang dicantumkan adalah scrap plastik dan scrap karet. Namun, setelah dibuka, sebagian besar isinya berupa berbagai jenis sampah yang mengeluarkan cairan dan bau tajam.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Yayasan Ecoton Prigi Arisandi mengatakan, pelanggaran impor sampah merupakan tindakan pidana. Selama ini, kasus kontainer bermasalah terus berulang karena sanksi yang dikenakan, sebatas kewajiban untuk reekspor, masih terlalu lunak.
”Bukan enggak ada hukumannya, tetapi enggak ada yang mau menghukum,” ujar Prigi.
Bukan enggak ada hukumannya, tetapi enggak ada yang mau menghukum.
Menurut dia, selain melanggar Permendag No 31/2016, aktivitas impor scrap plastik yang tidak homogen itu juga melanggar UU No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah. Pelaku seharusnya dikenai hukuman penjara paling lama 9 tahun jika terbukti memasukkan limbah berbahaya dari negara lain ke dalam negeri.
Perang dagang
Menurut Prigi, temuan kontainer sampah impor juga ada di Banten, Jakarta, dan Surabaya. Sejak 2018, perang dagang AS dan China diduga mengakibatkan migrasi industri daur ulang ke Asia Tenggara. Salah satu negara yang sudah menolak migrasi tempat pembuangan sampah dari negara maju itu adalah Malaysia.
”Malaysia menutup 150 industri daur ulang, sebagian mungkin pindah ke Batam,” kata Prigi.
Data importasi scrap plastik Bea dan Cukai menunjukkan, impor scrap plastik di Batam pada 2010-2016 berkisar 5.000 ton per tahun. Peningkatan mulai terjadi tahun 2017 saat impor scrap plastik mencapai 16.704 ton. Puncaknya, pada 2018, impor scrap plastik melonjak hingga 128.000 ton.
Dari data tersebut terlihat peningkatan impor scrap plastik di Batam berjalan seiring dengan meningkatnya tensi perang dagang antara AS dan China. Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup Kota Batam, pada Februari 2018, ada 40 pengajuan izin baru pendirian industri daur ulang plastik.
Prigi menyebutkan akan menyurati Presiden terkait impor sampah dari negara maju tersebut. ”Kami juga akan mengirim surat kepada kementerian terkait agar mengevaluasi dan memberikan sanksi tegas untuk pengimpor,” ujarnya.