Daya beli pekerja berdampak pada konsumsi masyarakat di Tanah Air. Jika pendapatan pekerja terus tertekan, konsumsi semakin merosot. Padahal, 56-60 persen produk domestik bruto Indonesia ditopang konsumsi rumah tangga.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga, lalu tercebur got. Seperti itu nasib sebagian buruh di masa pandemi Covid-19. Ada bantuan sosial bagi pekerja yang dikucurkan tahun lalu, ada yang dihapus pada tahun ini, tetapi ada juga kebijakan serta regulasi yang berpotensi menggerus upah dan kesejahteraan pekerja.
Hasil survei Angkatan Kerja Nasional per Agustus 2020 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), akibat pandemi Covid-19, rata-rata upah buruh turun 5,18 persen menjadi Rp 2,76 juta per bulan. Pada Agustus 2019, rata-rata upah buruh Rp 2,91 juta per bulan.
Upah buruh di tujuh sektor lebih rendah daripada rata-rata nasional. Tujuh sektor itu adalah jasa pendidikan (Rp 2,67 juta); industri pengolahan/manufaktur (Rp 2,64 juta); pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah, dan daur ulang (Rp 2,45 juta); perdagangan besar dan eceran serta reparasi mobil dan sepeda motor (Rp 2,36 juta). Begitu juga penyediaan akomodasi dan makan-minum (Rp 1,93 juta); pertanian, kehutanan, dan perikanan (Rp 1,91 juta); serta jasa lainnya (Rp 1,69 juta). Padahal, sektor pertanian, perdagangan, akomodasi dan makanan-minuman, serta industri pengolahan menyerap banyak tenaga kerja.
Dari survei yang sama, dari 29,12 juta pekerja yang mengalami dampak pandemi, pendapatan 24,03 juta orang berkurang. Tantangan lebih berat dialami buruh perempuan, yang rata-rata upahnya di bawah rata-rata upah buruh laki-laki dan upah buruh pada umumnya, baik sebelum maupun setelah pandemi.
Rata-rata upah buruh perempuan per Agustus 2020 adalah Rp 2,35 juta per bulan, lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata upah buruh laki-laki yang sebesar Rp 2,98 juta. Selisih upah terbesar terjadi pada buruh berpendidikan universitas.
Dari 29,12 juta pekerja yang mengalami dampak pandemi, pendapatan 24,03 juta orang berkurang.
Fenomena ini tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara lain. Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam laporan ”Prioritize Pay Equity in Covid-19 Recovery”, September 2020, menyoroti upah buruh perempuan yang tidak setimpal dengan peran mereka yang krusial selama pandemi. Sekitar 70 persen tenaga kesehatan dan pekerja esensial dunia adalah perempuan.
Di tengah kondisi itu, pemerintah seharusnya hadir untuk menjaga daya beli dan konsumsi pekerja yang terpukul pandemi. Selain menahan kontraksi ekonomi, langkah itu juga bisa menjamin buruh tetap hidup layak.
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan turunannya justru mengubah rumus pengupahan, yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian dan menahan kenaikan upah minimum tahunan buruh. Indikator ketidakpastian, antara lain, penghapusan komponen kebutuhan hidup layak dari formula penetapan upah minimum dan penghapusan upah minimum sektoral. Bahkan, penetapan upah minimum hanya berdasarkan faktor pertumbuhan ekonomi atau inflasi, tidak lagi memadukan dua faktor tersebut seperti sebelumnya.
Menyusul pemberlakuan UU Cipta Kerja, Kementerian Ketenagakerjaan memutuskan tidak ada kenaikan upah minimum tahun 2021 berdasarkan pertimbangan dampak ekonomi pandemi Covid-19. Namun, ada sejumlah provinsi yang meningkatkan upah minimum.
Pemerintah juga menerbitkan kebijakan baru lewat Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pengupahan pada Industri Padat Karya Tertentu dalam Masa Pandemi Covid-19 yang memungkinkan perusahaan padat karya memangkas upah pekerja.
Tanpa menafikan kondisi perusahaan yang terpukul pandemi, peraturan yang terlalu longgar dan tidak mendetail itu berpotensi disalahgunakan perusahaan untuk memotong upah pekerja, mengatasnamakan pandemi. Mekanisme pengurangan upah yang bergantung pada perundingan bipartit perusahaan dan pekerja juga mengabaikan fakta, negosiasi antara pengusaha dan buruh tidak seimbang. Apalagi, masih banyak buruh Indonesia yang belum berserikat sehingga kesetaraan dalam perundingan upah sulit tercapai.
Peraturan yang terlalu longgar dan tidak mendetail itu berpotensi disalahgunakan perusahaan untuk memotong upah pekerja, mengatasnamakan pandemi.
Di tengah kebijakan dan regulasi yang berpotensi menekan upah buruh, perlindungan bantalan sosial dari pemerintah seharusnya diperkuat. Namun, pada 2021, pemerintah justru menghentikan bantuan subsidi upah Rp 600.000 per bulan bagi buruh yang penghasilan bersihnya kurang dari Rp 5 juta per bulan.
Pemulihan ekonomi
Padahal, pemerintah menggaungkan upaya menggenjot konsumsi masyarakat untuk memulihkan ekonomi. Namun, berbagai kebijakan dan regulasi yang diterbitkan justru tidak berpihak pada kesejahteraan buruh. Bagaimana bisa semakin banyak berbelanja jika pendapatan semakin terbatas?
Dalam lima tahun terakhir, konsumsi rumah tangga berkontribusi hingga 56-60 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Pada 2020, konsumsi rumah tangga yang tumbuh negatif 2,63 persen memicu pertumbuhan ekonomi anjlok menjadi minus 2,07 persen.
Dalam berbagai kesempatan, pemerintah berharap kebijakan upah yang lebih bersahabat bagi pengusaha dapat membantu menggenjot investasi dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Namun, upah buruh yang murah bukan penentu utama. Mckinsey Global Institute dalam The Future of Trade and Value Chains pada 2019 merilis, sektor padat karya yang mengandalkan upah murah terus menurun.
Sektor padat karya yang pada 2005 sekitar 55 persen turun menjadi 43 persen pada 2017. Sektor yang mengandalkan inovasi dan keterampilan pekerja yang tinggi meningkat dan terus berkembang pascapandemi yang mengakselerasi digitalisasi dan otomasi industri.
Survei Forum Ekonomi Dunia (WEF) pada 2017-2018 menempatkan korupsi, birokrasi pemerintahan yang inefisien, akses pembiayaan, infrastruktur yang tidak memadai, dan instabilitas kebijakan merupakan faktor utama penghambat investasi di Indonesia. Sementara faktor ketenagakerjaan bukan faktor utama yang menghalau investor.
Sektor yang mengandalkan inovasi dan keterampilan pekerja yang tinggi meningkat dan terus berkembang pascapandemi yang mengakselerasi digitalisasi dan otomasi industri.
Tanpa daya beli pekerja yang memadai, permintaan atau konsumsi tidak terjadi, usaha terpukul, dan perekonomian akan jalan di tempat. Menjamin upah yang layak bagi pekerja, didorong peningkatan kapasitas dan keahlian pekerja, bukan hanya meningkatkan kesejahteraan buruh, tetapi juga mendorong pemulihan perekonomian di tengah pandemi.