Pemerintah yakin target penerimaan pajak pada 2021 yang naik 2,6 persen dari 2020 bisa tercapai. Sejumlah strategi digulirkan di tengah banyak insentif pajak.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
KOMPAS/Lasti Kurnia
Suasana pelayanan pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama di Kembangam, Jakarta, Kamis (6/2/2020). Kementerian Keuangan berencana menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan dari 25 persen menjadi 20 persen yang akan dilaksanakan bertahan mulai tahun 2021 hingga 2023.
JAKARTA, KOMPAS — Kendati mengikis pendapatan negara, pelonggaran pajak diharapkan bisa melegakan likuiditas dunia usaha di tengah imbas pandemi Covid-19. Sebagai gantinya, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan berkomitmen mencari basis pajak baru guna mengompensasi potensi hilangnya penerimaan pajak tahun ini akibat gelontoran insentif itu.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga optimistis target penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 sebesar Rp 1.229,6 triliun bisa tercapai. Target ini naik 2,6 persen dari target tahun lalu sebesar Rp 1.198,8 triliun.
Adapun realisasi penerimaan pajak tahun lalu sebesar Rp 1.070 triliun, turun 19,7 persen dari periode yang sama 2019 sehingga kekurangan penerimaan pajak pada tahun lalu sebesar Rp 128,8 triliun.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Neilmaldrin Noor, Minggu (28/2/2021), mengatakan, perluasan basis pajak dilakukan terhadap sektor ekonomi yang sebelumnya masih belum maksimal dijangkau DJP dan sektor yang menikmati tambahan penghasilan pada masa pandemi.
”Strategi DJP untuk mengompensasi hilangnya penerimaan adalah intensifikasi, ekstensifikasi, dan penguatan penggunaan basis data. Dengan cara ini, kami yakin target penerimaan pajak bisa tercapai," ujarnya saat dihubungi di Jakarta.
Perluasan basis pajak dilakukan terhadap sektor ekonomi yang sebelumnya masih belum maksimal dijangkau DJP dan sektor yang menikmati tambahan penghasilan pada masa pandemi.
Meski menggerus potensi penerimaan pajak yang seharusnya diterima, Neilmaldrin menegaskan, insentif pajak tetap dilanjutkan pada 2021 guna menjaga likuiditas dunia usaha dan meningkatkan daya beli masyarakat. Kedua faktor ini diharapkan mampu mendongkrak kinerja perekonomian agar bisa segera pulih dari dampak pandemi.
”Berkaca pada pemberian insentif pajak pada 2020, laju perekonomian domestik berangsur pulih. Hal ini terlihat pada pertumbuhan ekonomi triwulan IV-2020 yang lebih baik bila dibandingkan triwulan-triwulan sebelumnya,” tuturnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekonomi nasional pada triwulan IV-2020 tumbuh minus 2,19 persen. Angka pertumbuhan ini membaik dibandingkan dengan triwulan II-2020 dan III-2020 yang masing-masing tumbuh minus 5,32 persen dan 3,49 persen.
Pemerintah memperpanjang beberapa insentif pajak yang berlaku sejak 2020 mengingat pandemi Covid-19 masih membayangi sektor kesehatan dan ekonomi. Perpanjangan pemberian insentif itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2021 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Covid-19.
Sejumlah insentif pajak yang masih akan dilanjutkan di antaranya adalah insentif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, pajak UMKM, insentif PPh Pasal 22 Impor, dan insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Adapun insentif yang baru tahun ini dijalankan pemerintah adalah insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Total insentif bagi dunia usaha dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pada 2020 sebesar Rp 56,12 triliun. Melalui program yang sama tahun ini, pemerintah menganggarkan insentif bagi dunia usaha sebesar Rp 53,9 triliun. Dana tersebut dialokasikan untuk insentif PPh 21 dengan skema ditanggung pemerintah Rp 5,78 triliun, PPh 22 Impor Rp 13,08 triliun, pengurangan angsuran PPh 25 Rp 19,71 triliun, PPnBM Rp 2,99 triliun, dan insentif lainnya Rp 12,3 triliun.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Mobil dipajang di salah satu dealer di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (13/2/2021). Pemerintah dan industri otomotif optimistis penurunan tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah atau PPnBM untuk kendaraan bermotor dengan kapasitas mesin di bawah 1.500 cc bakal mendorong pertumbuhan industri otomotif.
Sementara pengamat pajak Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, mengemukakan, berbagai insentif pajak akan mengurangi penerimaan negara akibat pelebaran kekurangan setoran pajak. Kemenkeu mencatat, kekurangan setoran pajak pada 2020 sebesar Rp 128,8 triliun sehingga penerimaan pajak hanya 89,3 persen dari target.
”Seretnya penerimaan negara akan berdampak pada berkurangnya kekuatan fiskal untuk membiayai program penanganan Covid-19 dan PEN," ujarnya.
Kebijakan gelontoran insentif pajak di sepanjang 2020 terbukti cukup mampu memberikan dukungan ke dunia usaha dan masyarakat untuk menahan guncangan ekonomi akibat pandemi.
Meski begitu, Nailul mengakui, kebijakan gelontoran insentif pajak di sepanjang 2020 terbukti cukup mampu memberikan dukungan ke dunia usaha dan masyarakat untuk menahan guncangan ekonomi akibat pandemi.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan, relaksasi PPnBM dapat menambah produksi industri otomotif. Ini akan menambah pemasukan negara Rp 1,4 triliun.
Adapun Bank Indonesia memperkirakan, relaksasi di sektor otomotif dan properti akan mendorong kira-kira lebih dari 0,5 persen pertumbuhan di sektor konsumsi.