Stimulus kebijakan kredit/pembiayaan di sektor otomotif dan properti guna menggugah konsumsi kelas menengah atas digulirkan. Di tengah lesunya geliat belanja, kemanjuran bauran kebijakan ini diuji.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
Di sela-sela pengumuman penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia ke level 3,5 persen pekan lalu, bank sentral turut menggulirkan penerapan kebijakan uang muka atau DP 0 persen untuk kredit kendaraan bermotor. Kebijakan ini berlaku pada 1 Maret-31 Desember 2021.
Pelonggaran kebijakan ini berlaku untuk semua jenis kendaraan, mulai dari roda dua hingga roda tiga atau lebih, baik kendaraan produktif maupun nonproduktif, serta kendaraan berwawasan lingkungan ataupun tidak berwawasan lingkungan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melengkapinya dengan menurunkan bobot risiko pembiayaan (ATMR) bagi perbankan dan perusahaan pembiayaan berdasarkan profil risikonya. Penurunan ATMR itu dari 100 persen menjadi 50 persen hingga 0 persen.
Kedua kebijakan BI dan OJK terkait kendaraan bermotor ini melengkapi kebijakan pemerintah yang mengumumkan insentif Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). Insentif penurunan PPnBM secara bertahap selama 9 bulan ini berlaku untuk segmen kendaraan di bawah 1.500 cc, yaitu untuk kategori sedan dan 4x2. Hal ini dilakukan karena pemerintah ingin meningkatkan pertumbuhan industri otomotif di atas 70 persen.
Tak hanya sektor otomotif, BI dan OJK juga melonggarkan kebijakan di sektor properti. BI melonggarkan rasio kredit atau pembiayaan terhadap nilai (LTV/FTV) menjadi 100 persen dan menghapus ketentuan inden. Relaksasi ini berlaku untuk semua jenis properti, mulai dari rumah tapak, rumah susun, ruko dan rukan bagi bank yang memenuhi kriteria rasio kredit bermasalah (NPL) tertentu.
Sementara OJK mengeluarkan pelonggaran ATMR bagi perbankan dan perusahaan pembiayaan agar dapat lebih leluasa menyalurkan kredit atau pembiayaan kepemilikan rumah, bahkan dengan DP hingga 0 persen.
Bauran insentif ini diharapkan dapat mendorong konsumsi masyarakat berpenghasilan menengah atas, meningkatkan utilisasi industri otomotif, mendongkrak bisnis properti, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi. BI memperkirakan, relaksasi-relaksasi tersebut akan mendorong kira-kira lebih dari 0,5 persen pertumbuhan di sektor konsumsi, khususnya sektor properti dan otomotif.
Wajar kiranya jika pemerintah mendorong konsumsi kelas menengah atas. Dengan penghasilan rata-rata 10-50 dollar AS (sekitar Rp 140.000-Rp 700.000) per orang per hari versi Bank Dunia, kelas ini digadang-gadang bisa turut mengungkit ekonomi yang terimbas pandemi. Di Indonesia, kelas menengah ini berjumlah sekitar 52 juta orang atau 19 persen dari total penduduk.
Bauran insentif ini diharapkan dapat mendorong konsumsi masyarakat berpenghasilan menengah atas, meningkatkan utilisasi industri otomotif, mendongkrak bisnis properti, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi.
Alih-alih berbelanja, kelompok tersebut justru menunda belanja berlebihan dan lebih memilih menempatkan dananya di bank. Indikasi ini terlihat sangat jelas dari angka pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) di perbankan yang tercatat meningkat. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat, simpanan masyarakat pada 109 bank umum per Desember 2020 tumbuh 10,86 persen dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya, menjadi Rp 6.737 triliun.
Mujarab atau tidaknya bauran kebijakan tersebut rasanya memang akan langsung terlihat, tak lama berselang setelah bauran kebijakan diimplementasikan. Jika benar-benar direspons pasar dan konsumen, tentu ada peningkatan penjualan secara signifikan, setidaknya untuk sektor otomotif.
Sekadar untuk catatan saja, berdasarkan data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil secara nasional dari pabrikan ke dealer (wholesales) di pasar domestik mencapai angka 532.027 unit, sementara penjualan dari dealer ke konsumennya (penjualan ritel) mencapai 578.327 unit.
Jika dibandingkan dengan realisasi wholesales 2019 yang mencapai 1.030.126 unit, realisasi wholesales di tahun 2020 turun 48,35 persen. Adapun penjualan ritel nasional di tahun 2020 turun 44,55 persen dari realisasi 2019 yang sebesar 1.043.017 unit.
Sejujurnya, banyak kalangan yang masih menyangsikan kemanjuran bauran stimulus ini untuk mendongkrak konsumsi rumah tangga. Alasannya jelas karena perilaku masyarakat menunda belanja, menunggu pandemi mereda. Angka kasus positif Covid-19 yang masih tinggi membuat masyarakat belum yakin terhadap kondisi ekonomi. Ketika keyakinan itu luruh, masyarakat mungkin akan tetap memilih untuk menahan belanja.
Namun, di balik kesangsian itu, ada secercah asa tergeraknya gairah belanja masyarakat, terutama kelas menengah atas. Kemanjuran rangsangan stimulus ini akan teruji seiring dengan berjalannya waktu di tengah selimut pandemi.