Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan Dinilai Kurang Inklusif
Seharusnya, setiap orang, entah bekerja di sektor formal maupun informal, punya hak dan kesempatan sama untuk terdaftar sebagai peserta program jaminan sosial ketenagakerjaan, sepanjang ia membayar iuran.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Syarat dan ketentuan menjadi peserta program Jaminan Kehilangan Pekerjaan dinilai terlalu sempit dan rumit sehingga bisa mengurangi kans bergabungnya pekerja dalam program jaminan perlindungan itu. Inklusivitas program dipertanyakan, pemerintah diminta untuk meninjau ulang ketentuan peraturan tersebut.
Direktur Trade Union Rights Centre (TURC) Andriko Otang, Kamis (25/2/2021), mengatakan, program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang digagas pemerintah lewat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebenarnya memiliki esensi yang bagus.
Pandemi Covid-19 selama hampir setahun terakhir yang memukul berbagai sektor menyadarkan, negara belum memiliki mekanisme perlindungan sosial yang dapat diakses pekerja ketika terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam skala besar.
”Oleh karena itu, program JKP ini pada dasarnya inisiatif baik yang sangat relevan dengan kebutuhan pekerja saat ini,” ujarnya dalam telekonferensi pers tentang kajian program JKP di Jakarta.
Kendati demikian, lanjut Andriko, ada beberapa kelemahan program JKP yang perlu segera diperbaiki. Hal ini demi implementasi program yang lebih efektif dan relevan dengan perkembangan dunia kerja yang kian fleksibel.
Salah satunya terkait cakupan kepesertaan program yang dinilai belum cukup inklusif untuk melindungi berbagai lapisan pekerja. ”Seharusnya, setiap orang, entah bekerja di sektor formal maupun informal, punya hak dan kesempatan sama untuk terdaftar sebagai peserta program jaminan sosial ketenagakerjaan, sepanjang ia membayar iuran,” katanya.
Seharusnya, setiap orang, entah bekerja di sektor formal maupun informal, punya hak dan kesempatan sama untuk terdaftar sebagai peserta program jaminan sosial ketenagakerjaan, sepanjang ia membayar iuran.
Namun, ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021 tentang JKP mengatur, peserta JKP adalah buruh yang mempunyai hubungan kerja dengan pengusaha dan telah terdaftar serta membayar iuran. Artinya, peserta yang dimaksud dalam program tersebut hanya pekerja formal, sementara pekerja informal tidak dikategorikan sebagai peserta.
Padahal, perkembangan dunia kerja pascapandemi menunjukkan, jumlah pekerja informal semakin jauh melampaui pekerja formal. Data Badan Pusat Statistik per Agustus 2020 menunjukkan, akibat pandemi, persentase pekerja informal meningkat menjadi 60,47 persen dari sebelumnya 55,88 persen pada Agustus 2019. Sebaliknya, pekerja formal turun 4,59 persen menjadi 39,53 persen.
Andriko menyatakan, bukan hanya antara pekerja formal dan informal, cakupan kepesertaan di sektor formal juga berpotensi bermasalah karena masih minimnya pekerja formal yang didaftarkan perusahaannya pada program jaminan sosial ketenagakerjaan.
Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, jumlah peserta BP Jamsostek pada 2020 adalah 51,75 juta orang. Sebagai perbandingan, total jumlah penduduk Indonesia yang bekerja per Agustus 2020 ialah 128,45 juta orang. Dengan demikian, kepesertaan BP Jamsostek saat ini baru mencakup sekitar 40 persen dari total penduduk bekerja.
”Proses pendaftaran pekerja untuk mendapat jaminan sosial masih merupakan hak prerogatif pemberi kerja, wewenang perusahaan sepenuhnya. Kalau perusahaan tidak mau mendaftarkan, pekerja bisa kehilangan haknya,” kata Andriko.
Hal lain yang disoroti adalah syarat peserta JKP yang dikecualikan bagi pekerja yang mengundurkan diri (resign), cacat total, pensiun, atau meninggal dunia. Menurut Andriko, pengecualian ini perlu ditinjau ulang, khususnya bagi pekerja yang cacat total dan mengundurkan diri. Pengecualian untuk pekerja cacat total ini bertentangan dengan hak asasi pekerja disabilitas.
”Skema JKP seharusnya dibuat untuk memudahkan dan merangkul sebanyak mungkin pekerja, termasuk pekerja difabel. Apalagi, pekerja difabel umumnya butuh biaya dan effort lebih besar untuk kembali mendapat kerja setelah di-PHK,” ujarnya.
Pengecualian untuk pekerja cacat total itu juga bertentangan dengan prinsip inklusivitas yang disusun dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). ”Bukankah salah satu target pemerintah adalah mendorong pekerja difabel kembali masuk ke pasar kerja?” kata Andriko.
Ia meminta agar pemerintah dapat meninjau kembali aturan dalam PP tentang JKP tersebut. Ia juga memaklumi pemerintah hanya memiliki waktu singkat untuk menyusun peraturan turunan, karena mandat UU Cipta Kerja yang hanya memberi waktu tiga bulan untuk menyusun peraturan pelaksana. Namun, revisi kembali masih dimungkinkan.
Pemerintah tidak perlu khawatir merevisi sebuah aturan yang baru dikeluarkan, jika hasilnya akan membawa keuntungan dan manfaat perlindungan yang lebih luas bagi pekerja.
”Yang paling penting, orientasi regulasi itu harus ada untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Kalau tidak bisa menjawab itu, regulasi kehilangan maknanya,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Ahmad Mustaqim yang ikut dalam forum tripartit untuk membahas penyusunan peraturan turunan UU Cipta Kerja mengatakan, cakupan persyaratan JKP yang lebih inklusif sebenarnya sudah berulang kali diperjuangkan. Khususnya, bagi pekerja yang mengundurkan diri dan mengalami cacat total.
”Masalah ini sudah berkali-kali sebenarnya diangkat. Harapan kami dari serikat pekerja saat itu besar, mengingat kasus PHK sedang tinggi dan pemerintah sebelumnya berjanji tidak usah khawatir dengan pesangon yang berkurang karena akan ditanggung di JKP. Tetapi, ternyata keputusannya tetap dikecualikan,” katanya.