Pemberdayaan UMKM, termasuk lewat formalisasi usaha mikro, mesti tepat sasaran. Formalisasi usaha dapat memudahkan segmen mikro meningkatkan kapasitas usaha dan daya saing.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Formalisasi usaha mikro dinilai dapat membantu segmen tersebut agar mampu berkembang. Intervensi yang tepat sesuai kebutuhan akan menentukan keberhasilan pemberdayaan segmen usaha mikro tersebut.
Kepala Bidang Organisasi International Council for Small Business (ICSB) Samsul Hadi, Senin (22/2/2021), mengatakan, status informal usaha mikro berimplikasi pada sulitnya memberi sentuhan perlakuan, termasuk intervensi pembiayaan, bagi segmen tersebut. Di sisi lain ada tantangan memformalkan usaha mikro, yakni memilah antara segmen mikro subsisten dan segmen mikro yang potensial dikembangkan menjadi usaha kecil.
Kedua segmen dengan karakteristik berbeda tersebut memerlukan jenis intervensi berlainan. ”Mencoba mendorong semua usaha mikro secara sekaligus menjadi formal amat sulit. Soalnya, formalisasi usaha itu menyangkut mindset (pola pikir) bisnis,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta.
Samsul menuturkan, segmen mikro subsisten dihadapkan pada tuntutan kerja setiap hari untuk mencukupi kebutuhan harian. Bahkan, pemenuhan kebutuhan harian masih menjadi persoalan di segmen ini sehingga dukungan bersifat jaring pengaman dan mendasar akan lebih tepat guna.
Dukungan itu, misalnya, bisa berupa penyediaan air bersih gratis dan listrik di suatu kawasan yang diperuntukkan bagi banyak usaha mikro subsisten atau kaki lima. Pemerintah daerah berperan penting mengeksekusi bentuk dukungan tersebut.
”Dukungan konkret seperti ini akan sangat membantu. Jangan sampai, seperti kerap terjadi, pasokan air dan listrik itu preman-preman yang mengurus sehingga membebani. Apalagi ketika ada uang keamanan segala,” katanya.
Dukungan itu bisa berupa penyediaan air bersih gratis dan listrik di suatu kawasan yang diperuntukkan bagi banyak usaha mikro subsisten atau kaki lima.
Untuk usaha mikro yang berpotensi berkembang menjadi usaha kecil, kata Samsul, perlu difasilitasi agar lebih cepat berkembang menjadi formal. Dukungan bagi segmen ini, semisal, berupa perbaikan rencana bisnis dan aspek lain yang bersifat lebih strategis.
Demikian pula dukungan teknis mulai rantai pasok bahan baku hingga pasar. ”Usaha mikro harus dibuatkan ekosistem yang mendukung, pendampingan, dan jalinan kemitraan dengan usaha skala lebih besar dan lebih maju,” ujarnya.
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki mengatakan, pemerintah kini sedang memprioritaskan formalisasi usaha mikro yang sekarang mayoritas dinilai tidak layak dibiayai perbankan. Melalui formalisasi tersebut diharapkan terjadi transformasi dari usaha informal menjadi formal.
Usaha mikro yang tidak berbadan hukum atau tidak mempunyai izin usaha dibantu agar memilikinya, misalnya berupa nomor induk berusaha (NIB), perseroan terbatas, atau koperasi.
”Kualitas produknya juga perlu mendapat dukungan, misalnya melalui sertifikasi halal dan izin edar,” kata Teten.
Usaha mikro yang tidak berbadan hukum atau tidak mempunyai izin usaha dibantu agar memilikinya, misalnya berupa nomor induk berusaha.
Melalui transformasi menjadi usaha formal tersebut, kata Teten, mereka diharapkan dapat lebih mudah mengakses pembiayaan dan pendampingan berkelanjutan. ”Tahapan-tahapan yang sedang kami siapkan adalah regulasi dan anggaran pelaksanaan peraturan perintah turunan undang-undang. Termasuk pula koordinasi dan sinergi dengan kementerian dan lembaga terkait,” ujarnya.
Saat ini pemerintah telah menerbitkan 51 regulasi turunan UU Cipta Kerja, baik PP maupun peraturan presiden. Salah satunya PP No 7/2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun, dari sisi perizinan usaha, PP No 7/2021 tersebut memberi kemudahan bagi UMKM. Pasal 37 Ayat (2) PP tersebut mengatur, perizinan berusaha dalam bentuk NIB diberikan bagi usaha dengan risiko rendah.
NIB dan sertifikat standar untuk kegiatan usaha risiko menengah rendah dan menengah tinggi. Sementara itu, NIB dan izin diberikan untuk kegiatan usaha risiko tinggi.
”Perizinan berusaha untuk UMKM yang diberikan berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha tersebut cukup fair (adil) karena tiap usaha memiliki tingkat risiko masing-masing,” kata Ikhsan.