Dari Era Bungkus Plastik ”Slomot Geni" hingga Animasi
Kini plastik ”slomot geni” bertransformasi. Perekatan ujung terbuka pada plastik bisa menggunakan mesin berteknologi tinggi. Era teknologi semakin mewarnai perjalanan ekonomi RI, dan memperkuat ekonomi kreatif.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO/hendriyo widi
·5 menit baca
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengisahkan sentuhan kreativitas transformasi kemasan dalam pembukaan UKM Virtual Expo 2021 pada 16 Februari 2021. Pria kelahiran Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, ini membandingkan dua produk makanan ringan dengan kemasan berbeda.
Produk pertama dibungkus dengan plastik yang dislomoti atau dipanasi dengan api lilin. Ini merupakan cara tradisional mengemas makanan dengan plastik bening dengan cara merekatkan ujung terbuka kantong plastik menggunakan nyala api lilin. Sementara produk kedua dikemas secara lebih menarik dengan aneka prodak kemasan dari kertas atau plastik hasil cetakan digital.
Harga produk makanan yang dikemas secara sederhana tersebut hanya sekitar Rp 6.000 per bungkus, sedangkan yang dikemas lebih menarik harganya bisa berlipat mencapai Rp 15.000. ”Kemasan sangat memengaruhi harga jual suatu produk. Hal ini mendasari pembinaan bagi pelaku UMKM untuk memperhatikan aspek kemasan,” ujar Ganjar.
Sejak dahulu, Indonesia mengenal dan menggunakan bahan kemasan alami untuk mewadahi bahan pangan. Misalnya saja buluh bambu, daun-daunan, pelepah atau kulit pohon, kulit binatang, rongga batang pohon, batu, tanah liat, dan tulang. Beberapa wadah ini masih dipakai terutama untuk makanan-makanan yang tidak tahan lama.
Seiring dengan kelahiran kantong plastik pada 1959 oleh Sten Gustaf Thulin (1914-2006), rekayasawan asal Swedia, kantong plastik semakin marak digunakan, termasuk untuk membungkus makanan ringan dengan cara merekatkan bagian ujungnya yang terbuka menggunakan api lilin.
Kini plastik ”slomot” api juga bertransformasi. Perekatan ujung terbuka plastik itu bisa menggunakan mesin berteknologi tinggi. Bahkan, seiring dengan perkembangan desain, kemasan plastik ini mewujud dalam aneka rupa wadah yang lebih praktis dan menarik.
Seiring dengan kelahiran kantong plastik pada 1959 oleh Sten Gustaf Thulin (1914-2006), rekayasawan asal Swedia, kantong plastik semakin marak digunakan. Kini plastik ”slomot” api juga bertransformasi.
Berbicara tentang makanan tentu saja tidak hanya kemasan. Selain menyangkut ide kreatif yang dituangkan dalam tampilan dan keandalan kemasan, harga jual produk kuliner juga dipengaruhi pula kualitas dan kreativitas mengolah rasa. Serangkaian unsur tersebut pada akhirnya menciptakan nilai ekonomi produk kuliner.
Sektor kuliner yang dahulu an sich atau berdiri sendiri kini bertaut erat dengan sektor ekonomi kreatif. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno menyebutkan, subsektor kuliner merupakan satu dari tiga kontributor terbesar bagi produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Dua kontributor utama ekonomi kreatif lainnya adalah subsektor mode dan kriya.
”Sumbangan terhadap PDB dari subsektor kuliner mencapai 41,4 persen, mode 17,6 persen, dan kriya hampir 15 persen,” kata Sandiaga saat memberikan paparan pada Kuliah Perdana Universitas Padjajaran, Sabtu (13/2/2021), akhir pekan lalu.
Berdasarkan data OPUS Ekonomi Kreatif Tahun 2019 yang diterbitkan Badan Ekonomi Kreatif, Indonesia memiliki 17 subsektor ekonomi kreatif. Beberapa di antaranya adalah mode pakaian, kuliner, kriya, arsitektur, desain (interior, komunikasi visual, produk), film-animasi-video, fotografi periklanan, musik, aplikasi, gim, seni pertunjukan, dan seni rupa.
Pada 2019, kontribusi ekonomi kreatif terhadap PDB nasional sebesar Rp 1.211 triliun, meningkat dari 2017 dan 2018 yang masing-masing Rp 1.000 triliun dan Rp 1.105 triliun. Hal ini menempatkan Indonesia di posisi ketiga setelah Amerika Serikat dan Korea Selatan dalam jumlah kontribusi ekonomi kreatif terhadap PDB nasional. Pada 2019, sektor ini juga menyerap 17 juta tenaga kerja.
Sandiaga menambahkan, pandemi Covid-19 mendisrupsi ekonomi kreatif. Sebagian besar subsektor tertekan. Namun, beberapa di antaranya bukan hanya bertahan, melainkan bahkan menjadi pandemic winner, seperti subsektor aplikasi dan pengembang permainan.
Anggota Dewan Pengawas Asosiasi Industri Animasi Indonesia Ardian Elkana mengatakan, dampak pandemi Covid-19 terhadap pelaku industri animasi beragam. Produksi konten animasi untuk tayangan hiburan anak-anak, misalnya, terbilang tinggi ketika banyak aktivitas mereka tinggal di rumah selama pandemi.
”Demikian pula produksi konten animasi untuk kepentingan korporasi, seperti buat pelatihan atau e-learning, juga banyak seiring tingginya permintaan di saat harus mengurangi pertemuan tatap muka,” katanya.
Bahkan, lanjut Ardian, banyak pula permintaan konten animasi untuk mengisi waktu bagi peserta sebelum dimulainya pertemuan virtual lewat aplikasi Zoom. Kebutuhan animasi-animasi ringkas seperti itu memberi peluang bagi para animator, terutama yang masih baru.
TikTok yang booming, bahkan mencetak rekor sebagai aplikasi yang paling banyak diunduh pada tahun lalu, juga menciptakan kebutuhan animasi berdurasi pendek, yakni sekitar 30 detik. Apalagi banyak pengiklan dan jenama yang menggunakan sarana aplikasi ini.
”Di sisi lain kebutuhan animasi yang lebih serius, seperti di layar lebar, terhambat akibat banyak film yang ditunda dan bioskop yang terpaksa tutup di tengah pandemi,” katanya.
Menurut Ardian, persoalan industri animasi saat ini adalah di sisi pasokan sumber daya manusia (SDM). Apalagi, sepanjang tahun 2020, pelatihan industri animasi yang difasilitasi pemerintah banyak terhenti sehingga terjadi kekurangan pendatang baru.
Baru pada 1 Februari 2021 Kementerian Perindustrian melatih hampir 200 peserta secara simultan di lima kota, yaitu Jakarta, Solo, Malang, Yogyakarta, dan Tangerang. ”Kami senang karena berarti bakalan mendapat suplai SDM baru. Kami mendapatkan ’darah segar’ lagi,” ujarnya.
Di saat Tahun Internasional Ekonomi Kreatif 2021 bergulir, industri kreatif di Indonesia benar-benar terimbas pandemi Covid-19. Padahal atas prakarsa Indonesia, Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan tahun ini sebagai Tahun Internasional Ekonomi Kreatif yang didedikasikan untuk mengembangkan sektor ekonomi kreatif di sejumlah negara guna menopang agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Wakil Ketua Umum Bidang Ekonomi Kreatif Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Erik Hidayat mengatakan, merujuk hasil riset Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung pada 2020, sebanyak 98 persen pelaku industri kreatif terimbas pandemi.
Sebanyak 70 persen mengalami penundaan proyek, show (pertunjukan), atau pekerjaan. Sebanyak 67 persen pelaku industri kreatif mengalami penurunan penjualan atau pemasukan. Dan, sebanyak 59 persen mengalami pembatalan pekerjaan.
”Apabila kita belah berdasarkan subsektor, subsektor yang paling merasakan dampak adalah yang membutuhkan audiens (penonton langsung), antara lain pertunjukan dan film. Subsektor kuliner masih bertahan karena terkait kebutuhan dasar orang,” kata Erik.
Kepedulian warga untuk mencintai, bangga, dan membeli produk kreatif buatan dalam negeri juga menjadi harapan insan kreatif di Tanah Air.
Sama seperti sektor lain, lanjut Erik, sektor ekonomi kreatif ini juga membutuhkan dukungan yang benar-benar substantif dan mengena pada akarnya. Misalnya berupa relaksasi aturan perizinan usaha dan alokasi anggaran untuk subsidi pengiriman produk kreatif.
Selain itu, dukungan yang bisa diberikan berupa alokasi anggaran subsidi untuk menanggung diskon produktif kreatif demi menjaga tingkat konsumsi produktif di pasar. Pemerintah juga bisa menyerap produk-produk kreatif melalui program pembelian atau pengadaan setiap kementerian/lembaga.
”Hal penting lainnya adalah kemudahan akses permodalan untuk dana operasional beberapa bulan ke depan. Kepedulian warga untuk mencintai, bangga, dan membeli produk kreatif buatan dalam negeri juga menjadi harapan insan kreatif di Tanah Air,” ujarnya.