Terlontar sebuah asa mengubah struktur piramida kategori UMKM menjadi lebih ideal, yakni dengan mendukung usaha di tiap lapis, terutama segmen mikro, agar "naik kelas".
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
Selama ini, piramida yang terdiri dari empat lapis kerap dipakai menggambarkan secara visual struktur dan komposisi usaha di Indonesia. Lapis terbesar di bagian dasar piramida adalah usaha mikro yang jumlahnya pada 2018 sebanyak 63,3 juta unit.
Lapis di atasnya diisi usaha kecil yang berjumlah 783.132 unit dan disusul usaha menengah sebanyak 60.702 unit. Lapis termungil di puncak piramida adalah usaha besar yang sejumlah 5.500 unit.
Terlontar sebuah asa mengubah struktur tersebut menjadi lebih ideal, yakni dengan mendukung usaha di tiap lapis, terutama segmen mikro, agar "naik kelas". Usaha mikro diharapkan banyak yang berkembang menjadi usaha kecil. Demikian pula usaha kecil didorong menjadi menengah. Sejumlah usaha menengah juga diharapkan bertumbuh sebagai usaha besar.
Apabila hal itu terealisasi, struktur usaha yang selama ini berbentuk piramida akan berubah. Struktur usaha dengan komposisi segmen kecil dan menengah yang lebih mendominasi ini diharapkan berperan semakin signifikan bagi perekonomian.
Namun upaya "menaikkelaskan" usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tak semudah membalik telapak tangan. Salah satu aspek yang dinilai menyulitkan UMKM "naik kelas" agar lebih mumpuni mengembangkan usaha dan daya saing adalah menyangkut akses pembiayaan. Porsi kredit perbankan untuk UMKM di Indonesia, misalnya, terbilang rendah dibanding beberapa negara lain di Asia.
Apabila hal itu terealisasi, struktur usaha yang selama ini berbentuk piramida akan berubah. Struktur usaha dengan komposisi segmen kecil dan menengah yang lebih mendominasi ini diharapkan berperan semakin signifikan bagi perekonomian.
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) mencatat, porsi kredit perbankan untuk UMKM baru 20 persen. Sementara itu, porsi kredit perbankan untuk UMKM di Singapura sekitar 39 persen, Thailand 50 persen, Malaysia 51 persen, Jepang 66 persen, dan Korea Selatan 81 persen.
Ikhtiar membantu pelaku usaha mikro agar "naik kelas" kian berat ketika pandemi Covid-19 melanda. UMKM menjadi salah satu sektor yang terdampak parah akibat pandemi. Struktur terbawah piramida, yakni usaha mikro, tertindih tekanan di sisi pasokan maupun permintaan sebagai imbas pandemi Covid-19. Tekanan serupa juga dialami segmen usaha kecil, menengah, bahkan besar. Pemerintah memberikan bantalan “kehidupan” bagi para pelaku usaha baik melalui bantuan hibah, subisidi bunga, pemasaran, hingga restrukturisasi kredit.
Program Bantuan Presiden Produktif Usaha Mikro (BPUM) misalnya. Pada 2020, bantuan hibah yang diberikan bagi 12 juta pelaku usaha mikro itu sebesar Rp 28,8 triliun. Setiap pelaku usaha mikro mendapatkan dana Rp 2,4 juta agar mereka mampu bertahan dan berkembang di tengah pandemi. Kemenkop UKM mencatat, penyaluran BPUM itu pada tahun lalu terealisasi 100 persen.
Ragam peruntukkan hibah tersebut tergambar dari hasil survei Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) bersama Kemenkop UKM pada Desember 2020. Sebanyak 88,5 persen yang sudah mencairkan BPUM menggunakannya untuk membeli bahan baku. BPUM juga digunakan untuk membeli alat produksi (23,4 persen), konsumsi (22,8 persen), menabung (10,3 persen), membayar hutang (6,8 persen), biaya sekolah anak serta biaya pengobatan keluarga yang sakit (3,4 persen), dan membayar pegawai (2,1 persen).
Lembaga Demografi-Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia pada Desember 2020 juga menyurvei dampak program pemulihan ekonomi nasional terhadap UMKM. Mayoritas responden menggunakan dana yang diperoleh dari bantuan program bantuan pemerintah untuk pembelian bahan baku (34 persen), pembelian barang modal (33 persen), dan pemenuhan kebutuhan pribadi (13 persen).
Menimbang manfaat dan banyak pelaku usaha yang membutuhkan dukungan di tengah pandemi, Asosiasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia (Akumindo) berharap BPUM berlanjut tahun ini. Harapan sama juga disampaikan Himpunan Pengusaha Mikro dan Kecil Indonesia. Tahun ini,
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian berencana melanjutkan program BPUM itu. Namun, nilai bantuan tidak akan sebesar tahun lalu. Rencananya, dana yang akan digulirkan bagi 12 juta pelaku usaha mikro itu senilai total Rp 14,4 triliun. Setiap pelaku usaha mikro akan mendapatkan hibah Rp 1,2 juta.
Pemerintah diharapkan tidak ragu memenuhi harapan para pelaku UMKM sama halnya dengan bantuan dana jumbo bagi perusahaan-perusahaan milik negaramelalui penyertaan modal negara dan investasi pemerintah.
Pemerintah diharapkan tidak ragu memenuhi harapan para pelaku UMKM sama halnya dengan bantuan dana jumbo bagi perusahaan-perusahaan milik negara melalui penyertaan modal negara dan investasi pemerintah. Patut diingat, pelaku UMKM berpotensi ikut memulihkan perekonomian. Selama ini, mereka berupaya mandiri mencari rezeki dengan segenap keterbatasan.
Kini mereka sedang tertimpa tekanan berat akibat pandemi, bahkan teranam tidak "naik kelas". Teman sejati selalu hadir di saat paling dibutuhkan. Kini mereka menantikan dukungan agar mampu bertahan melintasi masa berat ini. Di tengah keterbatasan anggaran, prioritas bantuan mesti diberikan bagi yang paling membutuhkan.