Daya tahan industri keuangan syariah telah teruji sepanjang 2020. Pada tahun ini, industri tersebut akan menjadi katalis pemulihan ekonomi bersama industri keuangan konvensional.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ekonomi syariah berpotensi menjadi katalis pemulihan dan pertumbuhan ekonomi pascapandemi Covid-19. Untuk memaksimalkan potensinya, kolaborasi dan kebijakan inovatif harus dilakukan oleh berbagai pihak dan pemangku kebijakan.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menuturkan, potensi ekonomi syariah sebagai motor pertumbuhan ekonomi nasional terlihat dari daya tahan industri keuangan syariah sepanjang pandemi pada tahun 2020.
”Industri keuangan syariah dapat tumbuh hingga melampaui capaian industri keuangan konvensional meski pandemi yang mengakibatkan stagnasi kegiatan ekonomi telah memicu kesulitan moneter sepanjang tahun lalu,” ujarnya dalam webinar ”Outlook Ekonomi Syariah Indonesia 2021”, Selasa (19/1/2021).
Industri keuangan syariah dapat tumbuh hingga melampaui capaian industri keuangan konvensional meski pandemi yang mengakibatkan stagnasi kegiatan ekonomi telah memicu kesulitan moneter sepanjang tahun lalu.
Berdasarkan data OJK, aset industri keuangan syariah hingga November 2020 sebesar Rp 1.770,32 triliun, naik 21,48 persen dari posisi akhir tahun 2019. Jumlah ini mencakup aset yang dimiliki industri perbankan syariah sebesar Rp 593,35 triliun, pasar modal syariah Rp 1.063,81 triliun, dan industri keuangan nonbank (IKNB) syariah Rp 113,16 triliun.
Pertumbuhan positif di sektor industri perbankan syariah juga terjadi sepanjang 2020. Hingga akhir tahun lalu, pembiayaan yang disalurkan kelompok bank umum syariah tumbuh 9,5 persen secara tahunan, jauh di atas pertumbuhan pembiayaan industri perbankan umum yang terkontraksi negatif 2,41 persen.
Kinerja positif dari perbankan syariah sepanjang tahun lalu, lanjut Wimboh, ditopang ketahanan rasio kecukupan modal (CAR) yang cukup baik dengan rasio sebesar 21,59 persen, rasio pembiayaan bermasalah (NPF) bruto sebesar 3,13 persen, serta rasio pembiayaan terhadap pendanaan (FDR) sebesar 76,35 persen.
”Indikator-indikator tersebut memberikan kepercayaan bahwa kita akan lebih bagus di 2021. Kami juga menyambut baik bahwa di Islamic Finance Development Report 2020, Indonesia menempati peringkat ke-2 negara dengan keuangan syariah yang paling berkembang,” katanya.
Menurut Wimboh, untuk meningkatkan capaian positif tahun lalu, pelaku industri keuangan syariah perlu meningkatkan kolaborasi agar pangsa pasar keuangan syariah bisa tumbuh hingga 20 persen. Pada Juli 2020, posisi pangsa pasar ekonomi syariah sebesar 9,68 persen.
Upaya menggenjot pangsa pasar itu juga harus diiringi dengan peningkatan inklusi dan literasi keuangan syariah. Kedua aspek ini dapat meningkat apabila industri keuangan syariah menghadirkan lebih banyak lagi produk berbasis syariah.
”Semua hal tersebut harus ditopang dengan penggunaan teknologi dan sumber daya manusia yang tangguh untuk menghadirkan akses layanan keuangan syariah yang masif, luas, murah dan akurat,” ujar Wimboh.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana menambahkan, dalam jangka pendek, OJK akan mendorong perbankan konvensional dan syariah memulihkan sektor rill untuk kembali berekspansi. OJK telah memiliki peta jalan Pengembangan Perbankan Indonesia 2020-2025 sebagai panduan pelaku perbankan untuk menjadi katalis pertumbuhan ekonomi.
”Melalui peta jalan itu, perbankan diarahkan untuk mempunyai daya tahan dan bisa menyerap cadangan sebagai dampak dari restrukturisasi kredit yang masih berlangsung,” ujarnya.
OJK akan mendorong perbankan konvensional dan syariah memulihkan sektor rill untuk kembali berekspansi.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) Ventje Rahardjo menyatakan, empat fokus pengembangan ekonomi syariah telah ada dalam Master Plan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024. Keempat fokus itu adalah pengembangan industri halal, keuangan, dana sosial, dan perluasan kegiatan usaha syariah.
Ketua Project Management Office (PMO) Integrasi dan Peningkatan Nilai Bank Syariah BUMN Hery Gunardi memastikan, proses penggabungan tiga bank syariah pelat merah, yakni PT Bank Syariah Mandiri (Persero), PT BNI Syariah (Persero), dan PT Bank BRI Syariah (Persero) Tbk, dalam payung PT Bank Syariah Indonesia masih berjalan sesuai target rampung pada 1 Februari 2021.
Merger ketiga bank ini akan membentuk modal inti sebesar Rp 20,4 triliun. Pada awal 2022, modal inti Bank Syariah Indonesia ditargetkan bisa mencapai Rp 30 triliun melalui laba ditahan dan penerbitan saham baru.
”Kami juga akan mendorong kapabilitas sistem teknologi karena kami sadar bahwa bank ini ke depan harus punya kemampuan digital yang lebih baik daripada sekarang,” ujar Hery.
Bank Syariah Indonesia, lanjut Hery, memiliki visi menjadi pemain global dan pemain utama industri perbankan syariah global dalam kurun 3-4 tahun mendatang. Pelayanannya akan fokus pada segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), ritel, dan konsumer, dipadu dengan kemampuan mengelola nasabah korporasi.
Peneliti senior Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Universitas Indonesia, Banjaran Surya Indrastomo, berharap Bank Syariah Indonesia nantinya bisa turut mempromosikan riset dan pengembangan keuangan syariah melalui investasi ke lembaga riset.
”Selain itu, tugas besar Bank Syariah Indonesia untuk bisa menarik likuiditas yang besar dari Timur Tengah dengan aksi korporasi seperti rencana pembukaan cabang di Dubai, Uni Emirat Arab, sehingga likuiditas tersebut dapat membantu mendorong perekonomian Indonesia,” ujarnya.