Sejumlah Tantangan Masih Menghadang Industri Keuangan Syariah
Ada bermacam tantangan yang menghadang pengembangan industri keuangan syariah di Indonesia pada tahun ini. Salah satunya adalah literasi masyarakat yang masih rendah dengan skala yang masih kecil.
Oleh
dimas waraditya nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sektor keuangan syariah masih akan menghadapi sejumlah tantangan untuk meningkatkan kinerja dan menggenjot pangsa pasar sepanjang tahun ini. Untungnya, dalam beberapa tahun terakhir, perhatian pemerintah terhadap pengembangan ekosistem keuangan syariah sudah lebih baik, terutama dengan merger tiga bank syariah milik negara.
Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (Ideas) dan staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Yusuf Wibisono, Minggu (10/1/2021), mengatakan, tahun ini masih banyak tantangan yang harus dihadapi untuk mengoptimalkan pertumbuhan sektor keuangan syariah. Contohnya, kehadiran surat berharga syariah negara (SBSN) yang awalnya banyak membantu akselerasi industri perbankan dan keuangan syariah, kini justru mengambil ceruk investor ritel.
Masuknya investor ritel untuk membeli SBSN secara tidak langsung memberi tekanan ke perbankan syariah. ”Sukuk negara kini lebih banyak saling berhadapan dengan perbankan syariah dalam penghimpunan dana pihak ketiga (DPK), terutama melalui sukuk dana haji dan sukuk ritel. Hal ini tentu tidak diharapkan,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta.
Pada Mei 2020, pangsa SBSN terhadap pasar obligasi nasional berada di kisaran 19,4 persen. Posisi tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan pangsa perbankan syariah terhadap pasar perbankan nasional yang per Juni 2020 berada di angka 6,18 persen.
Sukuk negara kini lebih banyak saling berhadapan dengan perbankan syariah dalam penghimpunan dana pihak ketiga (DPK), terutama melalui sukuk dana haji dan sukuk ritel.
Kemudian, lanjut Yusuf, tantangan bagi pengembangan industri keuangan syariah di Indonesia adalah literasi masyarakat yang rendah dan skalanya yang masih kecil. Adapun tantangan lain adalah masih rendahnya kualitas sumber daya manusia di sektor keuangan syariah yang masih kerap dianggap sebagai bankir kelas dua.
Dari sisi permodalan, lembaga ekonomi dan keuangan syariah membutuhkan biaya yang tidak mini untuk terus melakukan perluasan, pembiayaan, maupun pendanaan bagi pelaku usaha. Selanjutnya, dibutuhkan juga percepatan untuk pengembangan inovasi pada produk-produk syariah.
”Produk-produk syariah perlu lebih variatif dan lebih market friendly untuk lebih bisa diterima oleh pasar. Di sisi lain perluasan layanan syariah dan penguatan teknologi serta informasi,” katanya.
Penggabungan usaha
Yusuf menilai, industri perbankan syariah cukup beruntung karena keberpihakan pemerintah dan otoritas terkait untuk mengembangkan ekonomi syariah beberapa tahun ini lebih baik dibanding sebelumnya. Hal ini ditandai dengan penggabungan usaha tiga bank syariah milik pemerintah, yakni PT Bank BRI Syariah Tbk, PT Bank BNI Syariah, dan PT Bank Syariah Mandiri yang ditargetkan rampung pada 1 Februari 2021.
“Kehadiran bank hasil merger yang bernama PT Bank Syariah Indonesia Tbk atau BSI, membuat Indonesia memiliki bank syariah bermodal dan beraset besar, yang dapat membawa efek bola salju pada perkembangan industri keuangan syariah,” kata Yusuf.
Dampak positif kehadiran Bank Syariah Indonesia terhadap perkembangan industri keuangan syariah akan tergantung dari keseriusan pemerintah memperbesar dan mengembangkan kapasitas bank ini.
Yusuf berharap agar pemerintah tetap menunjukkan mendukung keberadaan Bank Syariah Indonesia sehingga nantinya dapat masuk dalam kategori Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) IV atau kelompok bank-bank bermodal inti di atas Rp 30 triliun.
”Tanpa tambahan injeksi modal, modal BSI ada di kisaran Rp 20 triliun. Itu artinya belum bisa menjadi Bank BUKU IV. Tentu efek bola salju BSI terhadap ekosistem keuangan syariah akan lebih optimal jika modalnya bisa ditambah agar naik kelas menjadi Bank BUKU IV,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) Ventje Rahardjo Soedigno menegaskan, dengan jaringan dan produk yang lengkap BSI dapat memperkuat kapasitas industri keuangan syariah. Ia meyakini kehadiran BSI dapat membawa dampak positif bagi perkembangan ekosistem ekonomi syariah.
BSI mempunyai modal basis pelanggan, produk berkualitas, dan jaringan luas. Harapannya, BSI dapat menjadi penggerak utama dalam pengembangan ekosistem ekonomi keuangan syariah dengan meningkatkan pengembangan ekosistem halal yang sudah dirintis sebelumnya.
”Agar efek bola salju terhadap ekosistem syariah semakin optimal, BSI perlu memperkuat kapabilitas dan eksposur pembiayaan wholesale, meningkatkan layanan terhadap segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan skema rantai pasok, serta meningkatkan kapabilitas teknologi informasi,” tutur Ventje.
Ventje berharap BSI memiliki manajemen yang kuat agar bank hasil penggabungan ini dapat segera berkontribusi terhadap pengembangan ekonomi dan keuangan syariah. Keberadaan manajemen yang solid bisa memastikan terjaganya kualitas pelayanan terhadap nasabah, baik nasabah lama maupun baru.
“Untuk bisa segera ‘lepas landas’, BSI harus memiliki Project Management yang kuat, menjaga kualitas tingkat layanan kepada nasabah lama, secara paralel melakukan konsolidasi untuk membangun iklim inovasi untuk dapat terus kompetitif, efisien dan berkelanjutan,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan, kehadiran BSI bisa turut membantu program pemerintah meningkatkan literasi dan inklusi keuangan syariah. Saat ini, indeks literasi syariah nasional masih berada di angka 8,93 persen, jauh di bawah tingkat literasi masyarakat atas keuangan konvensional yakni 37,72 persen.
“Karena itu, kami berharap BSI bisa mengakses ke segmen UMKM di daerah dengan cepat dibantu teknologi untuk mendorong literasi syariah yang baru 8,93 persen, sangat rendah dibanding konvensional 37,72 persen,” ujarnya.