Pasar Baru Perlu Diiringi Pengembangan Eksportir Baru
Saat ini, ekspor Indonesia masih didominasi oleh eksportir besar. Pada 2019, contohnya, 85,6 persen produk dalam negeri yang diekspor dihasilkan perusahaan besar. Hanya 14,4 persen produk yang dihasilkan pelaku UMKM.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penjajakan pasar ekspor baru menjadi salah satu strategi pemerintah untuk meningkatkan kinerja ekspor tahun ini. Upaya tersebut harus diiringi dukungan dan fasilitas yang memadai untuk membantu usaha mikro, kecil, dan menengah, serta eksportir baru menembus pasar internasional.
Ekspor nonmigas Indonesia selama beberapa tahun terakhir ini terkonsentrasi pada negara-negara tujuan utama, seperti China, Amerika Serikat, dan Jepang. Sepanjang Januari-November 2020, ketiga negara itu tetap menjadi negara tujuan ekspor terbesar dengan peran ekspor nonmigas sebesar 39,43 persen. Pemerintah pun memutuskan akan lebih menggalakkan penjajakan pasar ekspor baru tahun ini.
Ketua Komite Tetap Bidang Ekspor Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Handito Joewono, Selasa (12/1/2021), menilai, strategi Kementerian Perdagangan untuk menjajaki pasar ekspor nontradisional di tengah kondisi perekonomian global yang sedang dinamis itu sudah benar.
Selain meminimalkan ketergantungan neraca perdagangan Indonesia pada negara tertentu, hal itu juga bisa memberi peluang bagi eksportir baru, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), untuk menembus pasar internasional.
”Saat ini, ekspor Indonesia masih didominasi oleh eksportir besar. Pada 2019, contohnya, 85,6 persen produk dalam negeri yang diekspor dihasilkan perusahaan besar. Hanya 14,4 persen produk yang dihasilkan pelaku UMKM,” kata Handito saat dihubungi di Jakarta.
Saat ini, ekspor Indonesia masih didominasi oleh eksportir besar. Pada 2019, contohnya, 85,6 persen produk dalam negeri yang diekspor dihasilkan perusahaan besar. Hanya 14,4 persen produk yang dihasilkan pelaku UMKM.
Menurut Handito, kompetisi yang biasanya tidak terlalu tinggi membuat pasar nontradisional lebih bersahabat untuk dijajaki eksportir baru atau eksportir berskala kecil-menengah. Oleh karena itu, strategi pemerintah masuk ke pasar nontradisional harus diiringi juga dengan pengembangan eksportir nontradisional.
Dukungan dan fasilitas yang memadai pun perlu disiapkan. Misalnya dengan mendirikan pusat distribusi regional di negara atau kawasan tujuan ekspor untuk mengatasi kekhawatiran eksportir baru akan mahalnya biaya logistik.
”Hal ini penting mengingat pasar ekspor nontradisional potensial yang saat ini sedang dijajaki pemerintah umumnya berjarak jauh, seperti kawasan Afrika dan Amerika Latin,” ujarnya.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno menambahkan, fasilitas lain yang dibutuhkan adalah intelijen pasar yang memadai untuk memetakan informasi mengenai potensi pasar baru. Hal itu mulai dari selera konsumen, kebutuhan komoditas atau produk, hambatan tarif, maupun nontarif, serta regulasi dan standardisasi di negara tujuan.
Hal ini akan membantu eksportir baru dan UMKM yang umumnya belum memiliki kemampuan untuk menggali informasi secara akurat dan mendalam. ”Kita harus lihat, apa yang kita miliki yang bisa diekspor ke sana. Apa kebutuhan orang-orang di sana, bagaimana kebijakan bea masuknya, seberapa ketat kita harus bersaing dengan negara lain, semua harus dipetakan dengan jelas,” kata Benny.
Lebih lanjut, Benny mengingatkan pentingnya menyelaraskan antara strategi perdagangan dan investasi di negara-negara calon mitra dagang baru. Ia menilai, selama ini perdagangan dan investasi masih cenderung terputus. Padahal, negosiasi perjanjian dagang berkaitan pula dengan penjajakan investasi, dan investasi yang masuk juga berhubungan dengan industrialisasi dan peluang ekspor.
Lepas dari penjajakan pasar baru, nilai ekspor Indonesia ke sejumlah negara mitra utama terus bertumbuh. Pada November 2020, ekspor ke China tumbuh 16,17 persen secara bulanan, ke Jepang tumbuh 11,67 persen, ke India tumbuh 10,04 persen, ke Australia tumbuh 16,56 persen, dan ke Korea Selatan tumbuh 7,12 persen. Kinerja ekspor ke beberapa negara di kawasan ASEAN dan Uni Eropa juga masih terus tumbuh.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, selain menjajaki pasar ekspor baru, ekspor ke negara tradisional juga tetap dijaga dan ditingkatkan. Secara jangka pendek, mengekspor ke pasar tradisional lebih menguntungkan karena perekonomian negara-negara maju saat ini lebih cepat pulih di tengah pandemi.
Selain menjajaki pasar ekspor baru, ekspor ke negara tradisional juga tetap dijaga dan ditingkatkan.
Meski demikian, secara jangka menengah dan panjang, penjajakan pasar nontradisional menjadi penting. ”Indonesia sedang bertransformasi dari negara penjual barang mentah dan setengah jadi menjadi penjual barang industri berteknologi tinggi. Maka, pada saat yang sama, pasar tradisional terus kita buka, tetapi pasar baru juga perlu kita dobrak. Kalau tidak hari ini, kapan?” katanya.
Pasar nontradisional yang sedang dilirik adalah kawasan Afrika dan Amerika Selatan. Lutfi mengakui, proses negosiasi dan penjajakan kerja sama akan cenderung lambat karena negara-negara tujuan ekspor baru itu perlu berkalkulasi matang-matang menghadapi Indonesia yang sedang mencari pasar.
”Mereka tahu kita sedang mencari pasar di sana. Ini sama juga dengan yang kita alami 5-6 tahun lalu. Kita sangat lamban merespons (tawaran kerja sama) karena kita tahu kita tidak bisa menjual apa-apa,” katanya.
Pemerintah, lanjut Lutfi, akan mendampingi UMKM untuk menjadi eksportir baru, baik ke pasar tradisional maupun nontradisional. Contoh produk ekspor Indonesia yang jumlahnya signifikan saat ini adalah produk kayu (3,44 miliar dollar AS) dan perhiasan (7,88 miliar dollar AS) yang didominasi industri padat karya.
”Banyak UMKM yang bisa digalakkan dari sektor-sektor ini. Kedua barang ini akan terus kita dorong untuk UMKM dan semoga bisa menciptakan banyak lapangan kerja,” ucap Lutfi.