Vaksin Rawan Dikomersialisasikan
Vaksin Covid-19 rawan dikomersialisasikan di tengah krisis kesehatan saat ini. Hal itu berpotensi menghambat upaya vaksinasi untuk mengatasi pandemi penyakit yang disebabkan virus SARS-CoV-2 ini.
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah mengadakan program vaksinasi mandiri membuat vaksin rentan dijadikan komoditas. Di tengah krisis kesehatan seperti ini, vaksin seharusnya menjadi barang publik yang bisa diakses semua lapisan masyarakat. Program vaksinasi yang inklusif dan teruji efektif diyakini bisa lebih cepat memulihkan kondisi perekonomian.
Pemerintah menyiapkan dua program vaksinasi, yakni vaksin bantuan pemerintah yang dilakukan secara gratis serta vaksin mandiri secara berbayar. Sejauh ini, dari target 107 orang yang akan divaksin, 30 persen di antaranya atau 32 juta orang diberikan vaksin gratis, sedangkan 70 persen atau 75 juta orang mengakses program mandiri atau vaksin berbayar.
Direktur Eksekutif Institute for Development on Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, Senin (14/12/2020), mengatakan, di tengah krisis kesehatan seperti sekarang ini serta buruknya kondisi pendataan di Indonesia, vaksin seharusnya diberikan secara gratis dan merata. Tujuannya agar tidak menimbulkan persoalan sosial-ekonomi yang baru.
Pandemi Covid-19 sejak awal telah memperparah kesenjangan sosial di masyarakat. Program vaksinasi berbayar hanya akan semakin memperlebar ketimpangan itu.
”Sekarang ini semua lapisan masyarakat itu senasib sepenanggungan. Jika tidak digratiskan, akan muncul kecemburuan sosial antara yang mampu dan tidak, serta pemulihan yang akhirnya lebih lama karena ada masyarakat yang terlewat divaksin,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta.
Sekarang ini semua lapisan masyarakat itu senasib sepenanggungan. Jika tidak digratiskan, akan muncul kecemburuan sosial antara yang mampu dan tidak, serta pemulihan yang akhirnya lebih lama karena ada masyarakat yang terlewat divaksin.
Menurut Tauhid, pengalaman selama sepuluh bulan terakhir menghadapi Covid-19 seharusnya cukup menjadi pelajaran keras. Persoalan klasik pendataan yang karut-marut membuat penyaluran berbagai program bantuan sosial kerap salah sasaran. Bantuan cenderung diberikan tanpa skala prioritas sehingga orang yang paling terdampak dan membutuhkan justru tidak tersentuh.
Di sisi lain, perputaran uang yang besar di program-program tersebut justru dimanfaatkan pejabat publik untuk korupsi. Jika vaksin dikomersialisasikan, Tauhid khawatir, persoalan yang sama akan kembali muncul dengan risiko lebih besar. Penyaluran vaksin gratis ke masyarakat tidak tepat sasaran, sementara pemburu rente merajalela dari proyek-proyek pembelian vaksin.
”Vaksin-vaksin palsu juga berpotensi muncul di pasar. Masyarakat tidak mampu yang tidak tersentuh bantuan pemerintah dan tidak bisa membeli vaksin secara mandiri bisa nekat mencari karena butuh cepat. Dampaknya bisa lebih berbahaya,” katanya.
Baca juga: Vaksin Program Khusus Solusi Ideal
Senada, Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menilai, vaksin seharusnya dijadikan barang publik. Apalagi, melihat sejauh ini hanya ada satu jenis yang tersedia, yakni vaksin dari Sinovac. Masyarakat tidak punya pilihan lain sehingga logika bisnis untuk mematok harga pada vaksin pun menjadi tidak masuk akal.
Pekan lalu, pemerintah menyatakan belum ada rencana untuk mengadakan vaksin dengan jenis lain di luar Sinovac. Vaksin Sinovac sebanyak 3 juta dosis jadi serta 45 juta dosis curah yang seluruhnya akan tiba di awal tahun depan akan sama-sama dipakai untuk program vaksin gratis dann vaksin mandiri.
”Seharusnya vaksin itu menjadi barang publik. Setidaknya, mayoritas itu harus gratis dan aksesnya tidak sulit bagi masyarakat. Di sisi lain, kalau memang yang mampu mau membayar, silakan saja, tetapi tidak bisa dimonopoli hanya oleh satu jenis vaksin,” kata Yose.
Kalau memang yang mampu mau membayar, silakan saja, tetapi tidak bisa dimonopoli hanya oleh satu jenis vaksin.
Baca juga: Perluas Target Penerima Vaksin Covid-19 pada Skema Pemerintah
Pemulihan ekonomi
Yose menilai, keputusan pemerintah membeli Sinovac sebelum ada hasil uji klinis fase ke-3 membuat kepercayaan masyarakat yang sudah rendah semakin menurun. Padahal, rasa percaya dan aman dari masyarakat terhadap pemerintah adalah modal penting untuk menggerakkan lagi roda perekonomian dan memulihkan kondisi ekonomi pascapandemi.
Pemulihan ekonomi diyakini lebih cepat tercapai jika akses terhadap vaksin diberikan secara merata dan efektivitasnya terbukti dibandingkan dengan mengadakan program vaksin berbayar yang hanya bisa diakses sebagian orang, dengan tingkat kemanjuran yang belum teruji.
”Efektivitas vaksin yang dibeli harus teruji karena, kalau tidak, akan lebih berbahaya. Masyarakat yang sudah tidak percaya bisa menolak divaksin karena efektivitasnya belum terbukti. Apalagi kalau harus membayar sendiri untuk vaksin yang belum tentu manjur,” katanya.
Tauhid menambahkan, kapasitas fiskal pemerintah seharusnya cukup untuk menggratiskan biaya vaksin untuk masyarakat jika pemerintah mau memberi prioritas. Anggaran penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional pada 2020 yang belum terserap dapat dialokasikan untuk pengadaan, distribusi, dan pelaksanaan vaksinasi.
Pada APBN 2021, pemerintah mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar Rp 169,7 triliun dengan Rp 60,5 triliun, di antaranya, khusus untuk pengadaan vaksin. Sebagai perbandingan, alokasi anggaran kesehatan lebih kecil daripada anggaran infrastruktur yang naik drastis 47,2 persen menjadi sebesar Rp 417,4 triliun.
Ia mengestimasi, dengan asumsi harga satu dosis vaksin Rp 450.000, dibutuhkan Rp 144 triliun untuk membeli 320 juta dosis vaksin (dua kali vaksinasi) untuk 160 juta orang. ”Jadi, sebenarnya kapasitas fiskal kita masih bisa menanggung vaksinasi gratis,” ujar Tauhid.
Permintaan agar program vaksinasi dilakukan secara gratis belakangan kian mengemuka. Petisi daring Change.org yang seminggu lalu digulirkan oleh Associate Professor dan Pakar Sosiologi Bencana dari Nanyang Technological University, Sulfikar Amir, per Senin (14/12/2020) pukul 19.44, telah ditandatangani 6.028 orang, melebihi target awal 5.000 tanda tangan. Kini, targetnya dinaikkan menjadi 7.500 tanda tangan.
Baca juga: Tunggu Hasil Pengujian, IDI Pastikan Dukung Proses Vaksinasi Covid-19
”Pre-order”
Kecenderungan vaksin menjadi komersil sudah tampak dari sekarang. Setelah 1,2 juta dosis vaksin Sinovac tiba pada pekan lalu, beberapa rumah sakit dan fasilitas kesehatan langsung membuka layanan pemesanan di muka (pre-order) vaksin Covid-19 mandiri. Informasi itu beredar di media sosial melalui akun resmi.
Salah satunya, RS Universitas Islam Indonesia (UII) di Bantul, DI Yogyakarta, yang menayangkan iklan vaksinasi Covid-19 di akun Instagramnya pada Jumat (11/12/2020) lalu. RS UII menjanjikan vaksin bisa datang dalam waktu 1-2 bulan dan diprioritaskan untuk masyarakat yang sudah memesan vaksin sejak awal. Pendaftaran itu resmi ditutup pada Senin (14/11/2020).
Corporate Secretary PT Bio Farma (Persero), yang juga juru bicara vaksinasi Covid-19, Bambang Heriyanto mengemukakan, pemerintah sampai saat ini masih menyelesaikan skema pelaksanaan vaksinasi, baik untuk program bantuan pemerintah maupun program mandiri.
PT Bio Farma selaku perusahaan yang ditugaskan untuk mengadakan vaksin belum membuka pemesanan di muka untuk vaksin Covid-19 jalur mandiri dalam bentuk apa pun, baik untuk keperluan fasilitas kesehatan maupun perorangan.
PT Bio Farma selaku perusahaan yang ditugaskan untuk mengadakan vaksin belum membuka pemesanan di muka untuk vaksin Covid-19 jalur mandiri dalam bentuk apa pun.
Oleh karena itu, kata Bambang, sejumlah pihak yang mulai membuka layanan pembelian vaksin di muka, baik rumah sakit maupun fasilitas kesehatan, harus menunggu izin penggunaan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta pengaturan teknis dari pemerintah terlebih dulu.
”Untuk jalur mandiri, kami masih melakukan proses pendaftaran dan verifikasi melalui asosiasi-asosiasi resmi. Kami paham ada inisiatif untuk menyiapkan dari awal, tetapi kami mengimbau kepada penyedia layanan kesehatan untuk menunggu pengumuman resmi pemerintah,” katanya.
Baca juga: Bio Farma: Belum Ada Aturan ”Pre-Order” Vaksinasi Jalur Mandiri
Didiskusikan
Terkait dengan munculnya aspirasi publik yang mendesak agar program vaksin dilakukan secara gratis, Bambang menuturkan, hal itu masih didiskusikan di internal pemerintah. ”Kita tunggu saja perkembangannya. Pemerintah tentu akan mengusahakan yang terbaik untuk masyarakatnya,” kata Bambang.
Sementara itu, pemerintah mengajak pelaku usaha untuk bekerja sama dalam pengadaan vaksin mandiri. Perusahaan diharapkan berperan aktif membeli vaksin dan melaksanakan vaksinasi kepada karyawannya. Bambang mengatakan, perusahaan akan diberi opsi untuk membeli vaksin mandiri dalam jumlah banyak. ”Sifatnya dibebaskan, perusahaan bisa pre-order secara kolektif,” katanya.
Sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan, pemerintah akan menetapkan batas harga penjualan untuk vaksin mandiri, yang disesuaikan dengan jenis merek vaksin bersangkutan mengingat setiap vaksin memakan biaya produksi dan nilai pengadaan yang berbeda-beda.
Vaksin dilakukan secara berbayar untuk mengajak masyarakat mampu bahu-membahu menggerakkan kembali perekonomian. ”Bukan maksud kami mau berbisnis, tetapi pemerintah sudah jelas akan mengeluarkan biaya lagi tahun depan untuk berbagai bantuan sosial. Tentu masyarakat yang mampu diharapkan bisa membantu juga dengan bergotong-royong jadi penggerak ekonomi,” ujarnya.