Vaksinasi menjadi kebutuhan publik untuk mengatasi pandemi penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru tersebut. Karena itu, imunisasi Covid-19 mesti menjadi program khusus atau digratiskan.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya untuk mencapai kekebalan komunitas menggunakan vaksin Covid-19 membutuhkan cakupan yang luas dengan tenggang waktu cepat. Pemerintah seharusnya memilih mekanisme vaksin program khusus sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2017 dengan biaya ditanggung negara.
”Vaksin Covid-19 seharusnya dianggap sebagai kebutuhan publik yang menjadi tanggung jawab negara untuk mengadakannya,” kata Guru Besar yang juga Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam, di Jakarta, Minggu (13/12/2020).
Menurut Ari, vaksin Covid-19 ini harus diberikan gratis guna memenuhi target cakupan luas sehingga bisa mencapai kekebalan komunitas. ”Pemerintah harus dari awal meniatkan vaksin Covid-19 ini gratis. Kalau tidak terbentuk kekebalan komunitas, Covid-19 akan terus jadi wabah karena ada yang tertular,” tuturnya.
Epidemiolog Indonesia di Griffith University Dicky Budiman mengatakan, sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 12 Tahun 2017, vaksin Covid-19 seharusnya dimasukkan dalam kategori program khusus. Pasal 9 PMK ini menyebutkan, vaksinasi khusus dilaksanakan untuk melindungi seseorang dan masyarakat terhadap penyakit tertentu pada situasi tertentu.
”Situasi pandemi global yang diikuti dengan status bencana nasional merupakan kondisi khusus. Sesuai dengan PMK ini, vaksinasi program khusus diselenggarakan dan ditanggung pembiayaannya oleh negara," ujarnya.
Pemerintah berencana menyediakan vaksin Covid-19 dengan dua skema, yaitu melalui program sebanyak 32 juta orang dan skema mandiri 72 juta orang. Vaksin yang gratis hanya yang diberikan melalui program atau sekitar 11 persen populasi di Indonesia (Kompas, 11/12/2020).
Pemerintah harus dari awal meniatkan vaksin Covid-19 ini gratis. Kalau tidak terbentuk kekebalan komunitas, Covid-19 akan terus jadi wabah karena ada yang tertular.
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengatakan, penetapan jumlah penerima vaksin program sesuai dengan pertimbangan Menteri Keuangan yang memperkirakan 78 juta warga Indonesia mampu. Dengan target sasaran 107 juta penduduk dihitung dari 67 persen kelompok usia 18-59 tahun, jumlah penerima vaksin program pemerintah 32 juta penduduk.
Hal itu belum menghitung jumlah penerima vaksin dari kerja sama multilateral lewat Koalisi untuk Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi dan Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi dalam program Covax. Indonesia mendapat vaksin Covid-19 bagi 20 persen populasi atau 54 juta orang.
Akan tetapi, selain berbenturan dengan PMK Nomor 12 ini, menurut Dicky, rencana pemerintah menggunakan vaksinasi dengan program mandiri berisiko memicu komersialisasi sehingga bakal mengganggu pelaksanaannya.
”Sejumlah negara lain juga menggratiskan vaksin untuk masyarakatnya. Aneh kalau Indonesia justru meminta masyarakat membeli," katanya.
Sejumlah negara yang bakal menggratiskan vaksin untuk masyarakatnya di antaranya Australia, Selandia Baru, India, Brasil, dan Malaysia. ”Gratis saja tantangannya untuk memenuhi cakupan minimal 70 persen populasi tidak mudah, apalagi jika harus diperjualbelikan,” ujarnya.
Sementara itu, PT Bio Farma menegaskan belum ada aturan layanan pemesanan awal vaksinasi Covid-19 mandiri. Penyedia layanan kesehatan diimbau menanti pengumuman resmi terkait dengan petunjuk teknis pemesanan itu.
Imbauan ini menanggapi beredarnya promosi pemesanan awal vaksinasi Covid-19 oleh sejumlah pihak. Bio Farma mengembangkan sistem pemesanan vaksin jalur mandiri.
”Belum ada ketentuan dan pengaturan teknis dari pemerintah terkait hal itu. Yang terpenting, vaksinasinya menanti izin penggunaan dari Badan POM (Pengawas Obat dan Makanan),” kata juru bicara Bio Farma, Bambang Heriyanto.
Kemanjuran
Adapun Wakil Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Kementerian Riset dan Teknologi David Handojo Muljono menyoroti soal kemanjuran vaksin Covid-19 yang akan dipakai di Indonesia. Sebab, kemanjuran vaksin, selain cakupannya yang luas, menjadi syarat utama efektivitas vaksin membentuk kekebalan komunitas.
Sejauh ini vaksin Covid-19 buatan Sinovac Biotech yang didatangkan pemerintah belum ada bukti efikasinya. ”Masih harus menunggu hasil uji kliniknya. Sulit diterapkan kalau ternyata nanti efikasinya di bawah 50 persen,” tuturnya.
Pembelian vaksin Sinovac yang belum diketahui efikasinya dinilai berisiko. ”Kenapa dipesan dulu? Mungkin untuk menghindari keterlambatan dan harga lebih terjangkau. Selain itu, hanya ini yang kita ikut uji klinisnya,” katanya.
Vaksin-vaksin yang sudah melapaorkan efikasi cukup tinggi, seperti moderna, Pfizer-BioNTech, dan Astrazeneca, masih sulit didatangkan dalam waktu dekat. Hal ini karena produsen vaksin ini lebih mengutamakan negara-negara maju yang lebih dulu memesan dan yang terlibat uji klinik fase tiganya.
”Ada 60 vaksin yang terdaftar. 60 yang sedang uji klinis di 41 negara, tetapi Indonesia hanya turut menguji satu vaksin. India, misalnya, mengikuti uji klinik lebih banyak, kemungkinan akses terhadap vaksin akan lebih mudah," ungkapnya. (TAN/MTK/TAM/MEL)