Biaya Produksi Meningkat, Efisiensi Operasi Menjadi Tuntutan
Lapangan minyak berusia puluhan tahun membutuhkan biaya produksi yang lebih tinggi. Penggunaan teknologi digital bisa menjadi solusi untuk operasi yang lebih efisien di tengah kemerosotan harga minyak dunia.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Biaya produksi minyak dan gas bumi di Indonesia, khususnya di lapangan-lapangan tua berusia puluhan tahun, terus meningkat. Efisiensi operasi menjadi tuntutan di tengah melemahnya harga minyak mentah dunia. Pencapaian target pemerintah Indonesia memproduksi minyak 1 juta barel per hari pada 2030 menjadi kian menantang.
Kepala Divisi Perencanaan Anggaran pada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dyah Anjarwati mengatakan, efisiensi biaya operasional menjadi tanggung jawab SKK Migas. Pasalnya, efisiensi tersebut akan berdampak langsung terhadap penerimaan negara dari sektor hulu migas.
Efisiensi operasi, yang menjadi salah satu program strategis SKK Migas pada 2019, berhasil menghemat biaya hingga 2 miliar dollar AS atau setara Rp 28,2 triliun.
”Efisiensi operasi perlu mendapat dukungan dari penyedia teknologi agar eksplorasi menghasilkan data akurat dan proses bisa lebih cepat. Selain itu, teknologi juga dapat meningkatkan produktivitas sumur dan keekonomian lapangan,” kata Dyah dalam siaran pers, Minggu (6/12/2020).
General Manager PT Pertamina Hulu Mahakam, salah satu anak usaha PT Pertamina (Persero) yang mengelola Blok Mahakam di Kalimantan Timur, Agus Amperianto, menuturkan, Blok Mahakam dapat menjadi salah satu penerapan efisiensi operasi lapangan migas di Indonesia. Dengan lapangan yang sudah beroperasi selama 45 tahun, biaya produksi migas di Mahakam meningkat.
Pada 2018, biaya produksi per barel minyak 17,9 dollar AS dan naik menjadi 22,9 dollar AS pada 2019. Tahun ini, efisiensi pada biaya operasional mencapai 34 persen dan alokasi biaya operasional diperkirakan 750 juta dollar AS.
”Hasilnya, biaya produksi per barel minyak turun menjadi 17,9 dollar AS. Efisiensi ini diterapkan pada aspek pengeboran, konstruksi, rantai pasok, hingga digitalisasi,” kata Agus.
Dengan lapangan yang sudah beroperasi selama 45 tahun, biaya produksi migas di Mahakam meningkat. Pada 2018, biaya produksi per barel minyak 17,9 dollar AS dan naik menjadi 22,9 dollar AS pada 2019.
Menurut Direktur Marketing dan Strategi Schlumberger, perusahaan kontraktor migas asal Amerika Serikat, Fred Majkut, hal paling krusial dalam penerapan efisiensi operasi adalah penggunaan teknologi digital. Penggunaan teknologi digital dapat meminimalkan ketidakpastian dan risiko kegagalan.
Perampingan sumber daya dan evaluasi program kerja juga hal lazim yang dilakukan dalam efisiensi operasi. ”Selain itu, kolaborasi antara operator dan perusahaan jasa dalam mengerjakan model baru untuk mendorong produksi dengan biaya tambahan yang lebih rendah juga menjadi penting,” tuturnya.
Target 1 juta barel
Di tengah kondisi itu, SKK Migas optimistis target produksi minyak 1 juta barel per hari pada 2030 bisa tetap tercapai. Syaratnya, perlu kerja sama yang baik antarseluruh pemangku kepentingan dalam mewujudkan target tersebut. Selain target produksi 1 juta barel minyak per hari, pemerintah juga menargetkan produksi gas bumi 12 miliar kaki kubik per hari.
”Ada komitmen pemerintah untuk mewujudkan target produksi tersebut, seperti penyederhanaan dan efisiensi operasi lewat pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perizinan satu pintu, keterbukaan data migas, dan pemberian insentif,” kata Wakil Kepala SKK Migas Fatar Yani Abdurrahman.
Pemerintah telah memberikan beberapa insentif untuk menggairahkan industri hulu migas Indonesia. Beberapa di antaranya adalah pengurangan Pajak Penghasilan dari semula 25 persen menjadi 22 persen atau 20 persen dalam kurun dua tahun ke depan, serta pembebasan bea masuk bandara dan berbagai fasilitas lainnya di kawasan ekonomi khusus.
Selain itu, pemerintah juga memberikan kebebasan pilihan kontrak bagi hasil cost recovery (biaya operasi yang dapat dipulihkan) atau gross split (bagi hasil berdasarkan produksi bruto).
Industri hulu migas masih sangat penting bagi Pemerintah Indonesia. Sektor tersebut telah menyumbang penerimaan bagi negara Rp 180 triliun pada 2019. Selain itu, kontribusi sektor migas terhadap produk domestik bruto pada tahun yang sama sebesar Rp 773 triliun atau 4,9 persen.
Tahun ini, pemerintah menargetkan investasi hulu migas 13,8 miliar dollar AS. Namun, lantaran pandemi Covid-19, target tersebut diperkirakan tidak tercapai. Adapun realisasi investasi di 2019 adalah 12,5 miliar dollar AS dan di 2018 12,6 miliar dollar AS.