Aneka perjanjian internasional membuka pintu akses pasar. Namun, konsekuensi yang harus diterima Indonesia sangat menantang. Sinergi menangkap peluang dan merajut strategi pemerintah, BUMN, dan swasta dibutuhkan.
Oleh
hendriyo widi
·5 menit baca
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Aktivitas bongkar muat di pelabuhan peti kemas Jakarta International Container Terminal, Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (11/11/2019). Presiden Joko Widodo meminta menteri kabinet Indonesia Maju yang terkait untuk memperbaiki defisit neraca perdagangan dengan menggenjot kinerja ekspor melalui pencarian pasar nontradisional dan meningkatkan perjanjian perdagangan bebas dalam meningkatkan ekspor Indonesia.
Di tengah kemunculan gelombang kedua pandemi Covid-19 di sejumlah negara dan kembali meningkatnya kasus Covid-19 di Indonesia pasca-libur panjang akhir Oktober 2020, sejumlah kabar baik di bidang perdagangan mengemuka. Kabar itu bergema, antara lain, dari Amerika Serikat, Vietnam, dan Swiss.
Terpilihnya Joe Biden sebagai presiden ke-46 AS membawa angin segar bagi berakhirnya era proteksi perdagangan Donald Trump. Melalui visi dan misi di bidang ekonominya, ”Bidenomics”, Biden akan membawa AS kembali membuka diri kepada dunia. Biden juga berjanji mengembalikan peran AS dalam aliansi dunia. Banyak kalangan yakin Biden akan mengakhiri perang dagang AS-China.
Kabar baik juga tersiar dari Hanoi, Vietnam. Pada 15 November 2020, Indonesia bersama sembilan negara anggota ASEAN meneken Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (RCEP) dengan China, Australia, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru. Meski diperkirakan dampaknya baru terasa pada 2023, pakta ini bisa mendorong peningkatan perdagangan barang dan jasa, investasi, e-dagang, dan perkuatan usaha kecil menengah (UKM).
Dari Geneva, Swiss, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menyebutkan, indeks barometer perdagangan barang dunia per September 2020 sebesar 100,7 atau berada di zona kuning, yang mengindikasikan ada ekspansi yang sejalan dengan tren jangka menengah. Indeks yang dirilis pada 20 November 2020 itu meningkat drastis dari Juni 2020 yang sebesar 84,5 atau berada di zona merah (di bawah tren). Penopangnya adalah peningkatan ekspor, terutama bahan baku pangan.
WTO melihat barometer perdagangan itu selaras dengan proyeksi WTO tentang pertumbuhan volume perdagangan dunia pada 6 Oktober 2020. WTO memperkirakan pada tahun ini volume perdagangan dunia akan minus 9,2 persen.
Kendati mulai terlihat positif, kekuatan pemulihan perdagangan tetap dibayangi ketidakpastian karena gelombang kedua Covid-19 masih berpotensi terjadi. Artinya, pemulihan perdagangan global bergantung juga pada perkembangan pandemi dan upaya penanganan masing-masing negara.
Kendati mulai terlihat positif, kekuatan pemulihan perdagangan tetap dibayangi ketidakpastian karena gelombang kedua Covid-19 masih berpotensi terjadi. Artinya, pemulihan perdagangan global bergantung juga pada perkembangan pandemi dan upaya penanganan masing-masing negara.
Indonesia berupaya menangkap sejumlah peluang itu. Indonesia berkomitmen meningkatkan ekspor ke AS pasca-perpanjangan fasilitas pembebasan dan keringanan bea masuk atas barang-barang tertentu melalui sistem tarif preferensial (GSP). Hal ini dalam rangka merealisasikan komitmen Indonesia-AS untuk meningkatkan perdagangan kedua negara dari 27,11 miliar dollar AS menjadi dua kali lipatnya atau sekitar 60 miliar dollar AS dalam lima tahun ke depan.
Indonesia akan menerapkan strategi 5-7-5 untuk merealisasikan target itu. Strategi itu terdiri dari 5 produk utama, 7 produk potensial, dan 5 produk strategis. Lima produk utama Indonesia terdiri dari pakaian, karet, alas kaki, elektronik, dan furnitur.
Sementara tujuh produk potensial terdiri dari perlengkapan wisata, perhiasan, mainan dan peralatan olahraga, kertas dan papan, kayu, kimia, dan bulu mata imitasi. Adapun lima produk strategisnya adalah produk mesin, plastik, suku cadang kendaraan, kimia organik, serta peralatan optik dan medis.
Indonesia akan menerapkan strategi 5-7-5 untuk merealisasikan target itu. Strategi yang sebenarnya disiapkan untuk menghadapi perang dagang AS-China itu terdiri dari 5 produk utama, 7 produk potensial, dan 5 produk strategis.
Untuk meraih keuntungan dari RCEP, Indonesia tentu saja tak cukup sekadar membuka pintu bersama 14 negara lain yang turut menandatanganinya. China yang turut serta di dalamnya juga berpotensi memetik keuntungan besar dari RCEP dan tumbangnya Trump.
Kendati akan mendapatkan tantangan dari sisi geopolitik baik dari AS maupun sejumlah negara ASEAN dalam isu Laut China Selatan, China bakal semakin memperkuat sektor perdagangannya. Apalagi, saat ini China tengah membangun Jalan Sutra Baru darat dan maritim melalui Prakarsa Sabuk dan Jalan. Itu baru dengan China, belum lagi dengan Malaysia, Singapura, Thailand, Australia, Selandia Baru, Korea Selatan, dan Jepang yang daya saing globalnya di atas Indonesia.
Oleh karena itu, Indonesia benar-benar perlu memadukan program-program konkret lintas kementerian dan lembaga untuk menjawab tantangan membangun ekonomi komprehensif. Misalnya, strategi 5-7-5 ini perlu diperkuat dengan hilirisasi dan membangun industri intermedia berbasis investasi untuk substitusi impor. Apalagi, Kementerian Perindustrian telah menargetkan substitusi impor minimal tercapai 15 persen pada 2021 dan 35 persen pada 2022.
Gerakan-gerakan program UKM dan IKM siap ekspor, baik oleh pemerintah, lembaga, maupun perusahaan negara dan swasta, juga perlu terus digaungkan. Bank Indonesia, misalnya, tak hanya sekadar membina UKM, tetapi juga membukakan akses pasar ekspor produk-produk UKM. Melalui pameran Karya Kreatif Indonesia (KKI) 2020 Virtual Seri I pada 28-30 Agustus 2020, misalnya, produk-produk UKM binaan BI diminati pembeli dari Singapura, Italia, Korea Selatan, Jepang, China, dan Australia.
Sementara PT Pertamina (Persero) memperluas ekspansi bisnis ke Australia dengan memanfaatkan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA). Pada 16 November 2020, PT Pertamina Lubricants menandatangani nota kesepahaman dengan dua mitra bisnis di Australia dalam rangka peningkatan ekspor pelumas dan produk UKM binaan Pertamina.
Pembiayaan
Fasilitas transaksi bisnis, pembiayaan perdagangan, dan penggunaan mata uang lokal secara bilateral juga telah dilakukan pemerintah dan BI. BI telah memfasilitasi penggunaan mata uang lokal dalam penyelesaian perdagangan bilateral dan investasi langsung atau local currency settlement (LCS) dengan China, Thailand, Malaysia, dan Jepang.
Adapun pemerintah telah membentuk Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank (IEB) dan bekerja sama dengan bank-bank nasional yang memiliki cabang di luar negeri. LPEI mencatat, per Oktober 2020 telah menyalurkan pembiayaan ekspor senilai Rp 92 triliun yang salah satu sumber dananya berasal dari penyertaan modal negara (PMN) Rp 18,7 triliun. LPEI juga telah melakukan penjaminan ekspor senilai Rp 9,4 triliun.
Pembiayaan ekspor ini juga berkontribusi 14,6 persen terhadap ekspor barang Indonesia. LPEI juga telah mampu melahirkan 59 eksportir baru dan 2.200 UKM binaan yang siap ekspor.
Baru-baru ini, Kementerian Perdagangan juga berupaya memfasilitasi kemudahan bisnis dan investasi pelaku usaha Indonesia-AS melalui dua bank milik negara yang memiliki cabang di New York, yaitu PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.
Kerja sama itu diimplementasikan melalui penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) Los Angeles dan BRI serta antara ITPC Chicago dan BNI pada 19 November 2020. Kerja sama itu mencakup pemberian dukungan layanan perbankan terkait perdagangan, seperti pembiayaan dan transaksi pembayaran atau investasi.
Aneka perjanjian internasional memang membuka pintu akses pasar. Namun, konsekuensi yang harus diterima Indonesia sangat menantang. Sinergi membaca dan menangkap peluang serta merajut strategi benar-benar dibutuhkan, termasuk di dalamnya melindungi pasar domestik dan produsen-produsen nasional lintas kelas. Jika tidak, Indonesia bakal sekadar menjadi incaran negara lain yang juga membaca peluang emas itu.