JAKARTA, KOMPAS — Batas waktu kontrak bagi pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu diperpanjang menjadi lima tahun. Hal ini diputuskan dalam pembahasan forum tripartit yang melibatkan pemerintah serta perwakilan pengusaha dan buruh.
Forum tripartit membahas draf rancangan peraturan pemerintah (RPP) terkait kluster ketenagakerjaan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pembahasan itu nyaris selesai.
Sebelumnya, dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) hanya bisa dikontrak paling lama dua tahun. Setelah itu, hanya boleh diperpanjang satu kali, paling lama satu tahun. Dengan demikian, periode paling lama bagi pekerja PKWT adalah tiga tahun.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi, Jumat (13/11/2020), mengatakan, hasil pembahasan forum tripartit selama sekitar tiga pekan terakhir memutuskan masa kontrak untuk pekerja PKWT ditentukan berdasarkan selesainya pekerjaan dan berdasarkan waktu. Artinya, kontrak berhenti saat pekerjaan berakhir atau berdasarkan waktu tertentu.
UU Cipta Kerja tak mengatur batas waktu kontrak maksimal untuk PKWT. UU Cipta Kerja hanya menyebutkan, PKWT selesai dalam waktu tertentu yang tidak terlalu lama.
”Batas waktunya dirancang maksimal lima tahun. Akan tetapi, tetap ada perlindungan bagi pekerja berstatus PKWT lewat keharusan pengusaha membayar kompensasi,” kata Anwar saat dihubungi di Jakarta.
Kontrak berhenti saat pekerjaan berakhir atau berdasarkan waktu tertentu.
UU Cipta Kerja mengatur pengusaha wajib memberikan uang kompensasi kepada pekerja PKWT sesuai masa kerja di perusahaan.
Baca juga : Menteri Ketenagakerjaan: Pekerja Mendapat Jaminan Kehilangan Pekerjaan
Ia mengatakan, kompensasi dihitung per tahun. Dengan demikian, pekerja PKWT yang kontraknya berakhir setelah lima tahun akan mendapatkan kompensasi sebesar upah/gaji dikalikan lima tahun masa kerja.
”Kompensasinya dihitung per tahun. Kalau ada kelebihan, akan dihitung dengan persentase tertentu,” lanjutnya.
Ketua DPP Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Bibit Gunawan sebagai unsur buruh yang hadir dalam pembahasan tripartit mengatakan, keputusan PKWT selama lima tahun sebagai titik temu atau jalan tengah antara kepentingan pengusaha dan buruh.
”Yang penting ada batas waktunya, lima tahun itu cukup memadai. Selama ini, tiga tahun juga tidak memberikan kepastian hukum buat pekerja,” ucapnya.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban menilai, seharusnya batas waktu kontrak buruh PKWT tidak diperpanjang. KSBSI memilih tidak terlibat dalam forum tripartit penyusunan RPP Ketenagakerjaan.
”Ini tetap sesuai dengan kecurigaan bahwa pemerintah mengikuti usulan pengusaha menjadi lima tahun. Bahkan, kami khawatir dengan masa kontrak yang diperpanjang ini akan lebih buruk bagi pekerja kontrak. Kemarin saja, dengan waktu tiga tahun, sudah banyak pekerja PKWT yang hak dan perlindungannya terancam, apalagi sekarang lima tahun, semakin lama durasinya,” tutur Elly.
Baca juga : Buruh di Tengah Pusaran Politik Bangsa
Kajian oleh Yayasan Akatiga bersama lembaga Friedrich-Ebert Stiftung Indonesia dan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia pada 2010 menunjukkan, praktik hubungan kerja kontrak dan alih daya kerap membawa efek eksploitatif terhadap buruh.
Rata-rata upah total buruh kontrak lebih rendah 17 persen dari upah buruh tetap dan rata-rata upah total buruh alih daya lebih rendah 26 persen dari upah buruh tetap. Hanya segelintir pekerja kontrak dan alih daya yang menjadi anggota serikat pekerja sehingga posisi tawar mereka dalam pola hubungan industrial lebih lemah.
Praktik hubungan kerja kontrak dan alih daya kerap membawa efek eksploitatif terhadap buruh.
Menunggu masukan
Anwar Sanusi mengatakan, meskipun sudah nyaris rampung, beberapa RPP masih menunggu masukan dari berbagai pihak. Selain mempertimbangkan usulan dari pihak pengusaha dan buruh, juga kalangan akademisi dan masukan publik dari portal khusus UU Cipta Kerja yang dibuat pemerintah.
”Mudah-mudahan minggu depan draf RPP sudah rampung dan sudah bisa diunggah ke portal UU Cipta Kerja. Masih ada beberapa isu yang harus dibulatkan terlebih dahulu, kami harus mencermati setiap aspek,” ujar Anwar.
Salah satu isu yang masih membutuhkan pendalaman adalah upah berdasarkan satuan waktu atau upah per jam, yang sejak awal kemunculan UU Cipta Kerja sudah dikritik kelompok buruh. Dalam draf matriks RPP tentang Pengupahan, formula yang dirumuskan adalah UM/173 + (UM/173 x 40%).
Baca juga : Upah Bukan Faktor Penentu Investasi
Mengacu pada upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta sebesar Rp 4,27 juta sampai Rp 4,4 juta sebagai standar tertinggi, maka upah minimum per jam yang diterima buruh Jakarta adalah Rp 34.605 sampai dengan Rp 35.687 per jam.
Sementara jika mengacu pada UMP terendah, yakni Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar Rp 1,76 juta, upah minimum per jam yang diterima buruh adalah Rp 14.282 per jam. Formula untuk menghitung upah per jam ini masih diperdebatkan antara unsur pengusaha dan serikat buruh.
Menurut Bibit, isu ini masih alot dalam sejumlah aspek, mulai dari formula penghitungan upah per jam sampai batasan jenis pekerjaan yang bisa dibayar dengan satuan waktu.
”Pengusaha mau supaya dibuat fleksibel, tidak usah ada batasan. Akan tetapi, menurut kami, tetap harus ada batasan, termasuk juga perlindungan untuk pekerja yang dibayar per jam akan seperti apa kebijakannya,” kata Bibit.
Formula untuk menghitung upah per jam ini masih diperdebatkan antara unsur pengusaha dan serikat buruh.