Pekerja juga punya andil dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Investasi yang masuk tanpa kepastian untuk pekerja tidak akan memberikan efek domino yang signifikan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi yang berlangsung selama delapan bulan terakhir membuat upah buruh tergerus. Dampak dari Covid-19 itu sulit untuk dihindari mengingat terpukulnya sejumlah sektor usaha. Namun, di tengah asa memulihkan kondisi perekonomian, pemerintah justru mendorong kebijakan dan regulasi untuk menerapkan politik upah murah secara permanen.
Survei Angkatan Kerja Nasional per Agustus 2020 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, akibat Covid-19, rata-rata upah buruh per Agustus 2020 sebesar Rp 2,76 juta per bulan, menurun 5,18 persen dari rata-rata upah buruh pada Agustus 2019, yaitu Rp 2,91 juta per bulan. Ada tujuh sektor di mana upah rata-rata buruhnya lebih rendah daripada rata-rata nasional.
Ketujuh sektor itu adalah jasa pendidikan (Rp 2,67 juta); industri pengolahan/manufaktur (Rp 2,64 juta); pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah, dan daur ulang (Rp 2,45 juta); perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor (Rp 2,36 juta); penyediaan akomodasi dan makan-minum (Rp 1,93 juta); pertanian, kehutanan, dan perikanan (Rp 1,91 juta); dan jasa lainnya (Rp 1,69 juta).
Mayoritas sektor itu, seperti pertanian, perdagangan, akomodasi dan makanan-minuman, serta industri pengolahan, adalah industri yang paling banyak menyerap tenaga kerja dari tahun ke tahun.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar, Kamis (9/11/2020), mengatakan, penurunan upah selama pandemi adalah konsekuensi logis dari terpukulnya sejumlah sektor usaha. Pemerintah seharusnya berupaya dengan berbagai cara untuk meningkatkan daya beli pekerja yang terpukul Covid-19 itu untuk kembali menggerakkan perekonomian pascapandemi.
Namun, kebijakan dan regulasi yang ditempuh pemerintah sejauh ini tidak menunjukkan itikad tersebut. Alih-alih, berbagai kebijakan dan regulasi seperti penetapan upah minimum 2021 serta berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, justru mendorong berlakunya upah murah untuk jangka panjang.
Beberapa indikator yang akan membawa rezim upah murah antara lain: upah minimum yang ke depan tidak lagi ditetapkan berdasarkan indikator kebutuhan hidup layak (KHL) pekerja, penetapan upah minimum yang hanya berdasarkan faktor pertumbuhan ekonomi atau inflasi—bukan dua-duanya, upah minimum kabupaten/kota (UMK) yang tidak diwajibkan, serta penghapusan upah minimum sektoral (UMSP/UMSK).
”Ditambah kondisi upah buruh yang sekarang dipotong di sana-sini dan fakta bahwa masih banyak buruh yang sebelum Covid-19 pun sudah dibayar di bawah standar upah minimum, semakin menjauhkan kita dari negara yang menyejahterakan masyarakat,” katanya.
Menurut Timboel, langkah mendorong upah murah itu dikhawatirkan akan mengganggu daya beli masyarakat sebagai motor penggerak laju konsumsi rumah tangga dan pertumbuhan ekonomi nasional. Politik upah murah yang tidak diiringi peningkatan kapasitas dan keterampilan angkatan kerja juga bisa kontraproduktif dengan cita-cita menarik lebih banyak investor masuk ke Indonesia.
”Pola pikir pemerintah, seperti rezim Orde Baru yang melihat buruh sebagai obyek dagangan dengan upah murah. Padahal, tren dunia sudah bergeser, investor dari negara maju semakin berperspektif hak asasi manusia (HAM). Pengusaha juga sudah tidak membutuhkan buruh murah, tetapi buruh terampil yang produktif,” ujar Timboel.
Politik upah murah yang tidak diiringi peningkatan kapasitas dan keterampilan angkatan kerja juga bisa kontraproduktif dengan cita-cita menarik lebih banyak investor masuk ke Indonesia.
Upskilling dan reskilling
Timboel berpendapat, ketika Indonesia hanya bisa menawarkan buruh murah, tetapi berpendidikan dan berketerampilan rendah, investor pun enggan masuk karena tidak ingin mempertaruhkan produktivitas dan kelancaran usahanya. Skenario terburuk, investasi tetap masuk, industri bergerak, tetapi tenaga kerja yang terserap adalah dari negara lain, bukan pekerja lokal yang relatif minim kapasitas.
Data BPS menunjukkan, per Agustus 2020, pekerja dengan tamatan sekolah dasar (SD) ke bawah masih mendominasi penduduk bekerja di Indonesia, yakni 38,89 persen dari total 203,97 juta orang penduduk bekerja. Jumlahnya hanya berkurang tipis selama setahun terakhir. Sebelumnya, per Agustus 2019, pekerja dengan tamatan SD ke bawah adalah 39,83 persen.
Alih-alih mendorong upah murah untuk menarik investasi, pemerintah seharusnya mendorong peningkatan keterampilan dan kapasitas tenaga kerja (upskilling dan reskilling). Program Kartu Prakerja yang saat ini belum maksimal harus digarap lebih matang. Pelatihan tatap muka digencarkan, anggaran ditambah, kurikulum dan silabus diperbaiki agar relevan untuk mengikuti perkembangan zaman—tidak sekadar pelatihan daring yang noninteraktif.
”Ini yang harus ditingkatkan, bukan justru menawarkan yang murah-murah terus. Murah tetapi tidak gapai dan produktif, pengusaha juga enggan,” katanya.
Peneliti Indef, Esther Sriastuti, mengatakan, pertumbuhan ekonomi tidak hanya bergantung pada modal, tetapi juga pekerja. Pekerja juga punya andil dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Investasi yang masuk tanpa kepastian untuk pekerja tidak akan memberikan efek domino yang signifikan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
”Oleh karena itu, posisi pekerja juga sama pentingnya. Pemerintah seharusnya bisa menyeimbangkan dan menjaga kepentingan pemodal dengan pekerja. Di negara-negara maju, posisi pekerja itu sangat diproteksi,” katanya.
Investasi yang masuk tanpa kepastian untuk pekerja tidak akan memberikan efek domino yang signifikan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Bukan ukuran
Peneliti Institute for Development on Economics and Finance, Dhenny Yuartha Junifta, mengemukakan, upah murah sudah bukan lagi ukuran. Data Mckinsey Global Institute dalam kajian The Future of Trade and Value Chains pada 2019 menunjukkan, sektor padat karya (labor intensive) yang mengandalkan upah murah terus menurun. Pada 2017, sektor padat karya yang mengandalkan upah murah menurun menjadi 43 persen dari tren sebelumnya pada 2005, yakni 55 persen.
”Yang meningkat adalah tuntutan sektor yang mengandalkan inovasi dan keterampilan tertinggi (knowledge intensive),” katanya.
Namun, nasi sudah menjadi bubur, UU Cipta Kerja sudah telanjur disahkan dan berlaku. Saat ini, menurut Dhenny, yang bisa dilakukan adalah mengawal peraturan turunan agar ketentuan upah murah tidak semakin menjadi-jadi. Pemerintah perlu didorong untuk fokus pada tantangan sebenarnya untuk membuat tenaga kerja Indonesia naik kelas.
”Seharusnya fokus UU Cipta Kerja adalah reformasi keterampilan dan kapasitas, bukan reformasi pengupahan,” ujar Dhenny.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengakui, ke depan, pemerintah memiliki pekerjaan rumah besar untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas pekerja. ”Kalau kita ini bisa betul-betul memfungsikan balai latihan kerja (BLK), kita akan memproduksi SDM yang siap bertempur dalam segala situasi, terutama untuk merespons pekerjaan di masa depan,” katanya.
Untuk menanggapi berbagai kritik dari publik terhadap kebijakan dan regulasi upah murah, ia mengatakan, pemerintah masih akan menerima masukan dari berbagai kalangan. Saat ini, sebanyak 19 kementerian/lembaga sedang menggarap 44 peraturan pelaksana UU Cipta Kerja yang terdiri atas 40 rancangan peraturan pemerintah (PP) dan empat rancangan peraturan presiden.
Wadah yang disiapkan pemerintah adalah portal resmi UU Cipta Kerja yang bisa diakses masyarakat di https://uu-ciptakerja.go.id. Ada sembilan draf RPP yang bisa diundur secara lengkap oleh masyarakat lewat portal resmi tersebut. Khusus draf RPP seputar kluster ketenagakerjaan belum diunggah karena belum rampung dibahas dalam forum tripartit (pemerintah, pengusaha, serikat buruh).
”Masih ada masukan-masukan lagi, artinya, kita juga belum memutuskan bulat 100 persen, kita cari formula yang betul-betul bisa menguntungkan berbagai pihak," ujar Anwar.