Penyusunan rancangan peraturan turunan ditargetkan rampung dalam satu bulan. Dibandingkan forum tripartit sebelumnya terkait RUU Cipta Kerja, baru kali ini mayoritas serikat pekerja/buruh kompak memiliki sikap serupa.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan peraturan turunan sejumlah isu krusial ketenagakerjaan di Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja mulai dibahas dan ditargetkan rampung dalam satu bulan. Serikat pekerja memutuskan menarik diri dari proses pembahasan dan memilih jalur lain untuk tetap menyuarakan penolakan atas RUU sapu jagat tersebut.
Proses pembahasan rancangan peraturan turunan kluster ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja dimulai lewat rapat perdana yang diadakan di Hotel Royal Kuningan, Jakarta, Selasa (20/10/2020) siang. Rapat bertajuk ”Kick off the Tripartite Meeting Pembahasan Peraturan Pelaksanaan Substansi Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja” itu mengundang 24 perwakilan konfederasi dan serikat pekerja/buruh.
Namun, mayoritas serikat pekerja/buruh menolak terlibat. Dari sembilan konfederasi dan serikat yang diundang, yang hadir adalah Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Yorrys Raweyai, Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi), Federasi Serikat Pekerja Perkebunan Nasional (FSP BUN), dan Federasi Serikat Pekerja Perkayuan dan Perhutanan Indonesia (FKahutindo).
Dibandingkan DENGAN forum tripartit sebelumnya terkait RUU Cipta Kerja, baru kali ini mayoritas serikat pekerja/buruh kompak memiliki sikap yang serupa.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban, Selasa (20/10/2020), mengatakan, buruh menolak terlibat karena berbagai konfederasi dan serikat sedang menyiapkan rencana uji formal dan materi ke Mahkamah Konstitusi. Hadir dalam pembahasan rancangan peraturan turunan sama halnya dengan mengakui keabsahan RUU tersebut.
Di sisi lain, buruh mengkhawatirkan proses pembahasan rancangan peraturan turunan itu tidak akan jauh berbeda dengan forum-forum tripartit sebelumnya. Sebelumnya, konfederasi yang dipimpin Elly sempat terlibat dalam forum tripartit yang digagas pemerintah untuk membahas substansi kluster ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja.
Namun, menurut dia, proses saat itu menjadi formalitas belaka. Tuntutan utama buruh, misalnya terkait kepastian kerja dan perlindungan bagi pekerja kontrak atau PKWT (perjanjian kerja untuk waktu tertentu) serta pekerja alih daya tetap tidak diakomodasi pemerintah.
”Memang benar, tidak semua yang kita perjuangkan itu diabaikan (pemerintah), tetapi justru yang inti dan penting itu yang hilang,” kata Elly.
Pihaknya siap dengan kemungkinan rancangan peraturan turunan nanti tetap tidak akan mengakomodasi aspirasi buruh. Oleh karena itu, pihaknya akan menempuh cara lain untuk tetap menolak RUU Cipta Kerja, yakni melalui MK dan unjuk rasa. ”Lagi pula, norma yang sudah ada di RUU tidak akan bisa jauh diubah di peraturan turunan, jadi lebih baik kami menempuh cara lain,” kata Elly.
Lagi pula, norma yang sudah ada di RUU tidak akan bisa jauh diubah di peraturan turunan, jadi lebih baik kami menempuh cara lain.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) Ristadi, yang sebelumnya kerap memilih berkompromi lewat forum tripartit, memutuskan tidak hadir dalam forum tripartit. Ia mengatakan, pihaknya saat ini sedang menyiapkan mengajukan uji materi ke MK.
”Selain itu, saya lebih mendorong memakai forum Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional (LKS Tripnas) untuk membahas RPP turunan RUU Cipta Kerja, bukan forum tripartit sementara seperti ini. Dari sisi legalitas pun, lebih kuat forum LKS Tripnas,” katanya.
Sampai Selasa, gelombang aksi unjuk rasa masih berlangsung di sejumlah daerah secara bergantian. Sejumlah konfederasi dan serikat buruh masih menyuarakan penolakan terhadap RUU Cipta Kerja dan mendesak DPR untuk melakukan legislative review.
Ada beberapa norma krusial yang mengambang di RUU Cipta Kerja untuk ditegaskan melalui peraturan pemerintah, antara lain ketentuan syarat, batas waktu, dan kompensasi untuk pekerja PKWT; batasan jenis pekerjaan dan perlindungan untuk pekerja alih daya; pemberian pesangon; kebijakan pengupahan; serta ketentuan waktu kerja, istirahat panjang, dan lembur buruh.
Selain itu, ketentuan mengenai batasan penggunaan tenaga kerja asing, penetapan upah berdasarkan satuan waktu dan satuan hasil, tata cara penetapan dan formula perhitungan upah minimum, ketentuan upah minimum bagi usaha mikro dan kecil, serta tata cara pemutusan hubungan kerja.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, agar proses penyusunan rancangan PP berlangsung secara terbuka, sebaiknya perwakilan unsur serikat pekerja dan buruh tetap terlibat dalam forum tripartit untuk menyusun rancangan PP. ”Kalau sudah dikasih kesempatan, tetapi tidak diambil, ya, tinggalkan. Negara harus tegas,” katanya.
Kalau sudah dikasih kesempatan, tetapi tidak diambil, ya, tinggalkan. Negara harus tegas.
Hariyadi mengatakan, tidak hanya buruh, pihak pengusaha juga sebenarnya mendapat beban baru lewat RUU Cipta Kerja. Ia mencontohkan, ketentuan baru membayar kompensasi bagi pekerja PKWT yang sudah habis masa kontrak. Di Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pengusaha tidak wajib membayar kompensasi untuk pekerja kontrak.
Keharusan membayar sejenis uang pisah itu sebelumnya hanya ada di pekerja tetap melalui pesangon dan komponen lainnya. ”Di sektor saya (hotel dan restoran) sudah terasa sekali dampak bebannya karena di tempat kami banyak yang berstatus kontrak. Tetapi, kita ini, kan, harus sama-sama take and give,” katanya.
Satu bulan
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, pembahasan rancangan peraturan turunan ditargetkan rampung pada November 2020 sesuai target tenggat satu bulan dari Presiden Joko Widodo. Ada empat rancangan peraturan pemerintah (PP) yang terkait dengan kluster ketenagakerjaan.
Pembahasan rancangan peraturan turunan ditargetkan rampung pada November 2020 sesuai target tenggat satu bulan dari Presiden Joko Widodo.
Pertama, Rancangan PP mengenai Tenaga Kerja Asing. Kedua, Rancangan PP tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan. Ketiga, Rancangan PP tentang Pengupahan. Keempat. Rancangan PP tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
Menurut Anwar, proses penyusunan rancangan PP tetap dilanjutkan meskipun mayoritas serikat pekerja/buruh yang diundang menolak untuk hadir. ”Prinsip kami, mengundang semua pihak utnuk memberi masukan. Jika ada yang tidak mengirimkan utusan, itu hak mereka. Kami hanya ingin forum tripartit ini menjadi wadah untuk memberi masukan dalam penyusunan PP,” kata Anwar.