Pegawai Honorer Kian Khawatir dengan Kesejahteraan Mereka
Kalangan pegawai honorer khawatir dengan aspek kesejahteraan yang makin terganggu seiring disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja. Keinginan untuk menggapai kesejahteraan hidup semakin sulit diwujudkan.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian pegawai honorer mengkhawatirkan kesejahteraan mereka bakal berkurang seiring dengan berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja. Kekhawatiran itu muncul karena tidak banyak penjelasan yang mereka terima tentang kesejahteraan mereka di ketentuan baru itu.
Adinda Ratna (25), pegawai perusahaan kemasan makanan di Jakarta Timur, hanya tahu sedikit tentang aturan baru itu lewat sejumlah unggahan media sosial. Beberapa poin tersebut, menurut dia, tidak menguntungkan kalangan pegawai perusahaan.
Dari unggahan media sosial, Adinda tahu tentang status pegawai honorer yang tidak mendapat jaminan untuk diangkat sebagai karyawan tetap. Selain itu, pegawai juga terancam kerja lembur tanpa upah sepadan. ”Kalau benar seperti itu, saya merasa rugi jadi pegawai. Buat apa kalau terus bekerja, tetapi enggak makin sejahtera?” katanya, Selasa (6/10/2020), kepada Kompas.
Respons Adinda itu menanggapi UU Cipta Kerja yang tidak spesifik mengatur ketentuan bagi pegawai honorer. Info yang diterimanya, tidak ada aturan batas jangka waktu kontrak bagi pekerja. Pada UU Ketenagakerjaan yang lama, pekerja hanya boleh dikontrak paling lama 3 tahun dengan aturan paling lama 2 tahun dan diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun.
UU Cipta Kerja hanya menyebut penyelesaian pekerjaan kontrak ditentukan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sementara ketentuan mengenai jangka waktu kontrak, batas waktu kontrak, serta jenis dan sifat pekerjaan yang bisa dikontrak diatur dalam rancangan peraturan pemerintah (PP).
UU Cipta Kerja juga makin memudahkan pengusaha dalam melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Syarat dan alasan perusahaan melakukan PHK terhadap pekerja lebih mengambang dibandingkan dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 161 UU Ketenagakerjaan yang mengatur keharusan pengusaha memberikan surat peringatan sebanyak tiga kali sebelum mem-PHK pekerja dihapus dalam UU Cipta Kerja.
Dalam UU Ketenagakerjaan, alasan perusahaan melakukan PHK beserta syarat dan kompensasinya ditentukan secara detail pada Pasal 161 sampai 169. UU Cipta Kerja yang telah disahkan tidak memuat detail tersebut.
Respons kekhawatiran tentang PHK diungkapkan Harris Saut (25). Pegawai honorer restoran di Menteng, Jakarta Pusat, ini takut kabar PHK datang secara mendadak. Di tengah pandemi Covid-19, dia hanya menggantungkan nafkah pada satu pekerjaan tersebut. ”Kalau tiba-tiba PHK, siapa yang tidak kaget? Lagi situasi pandemi, cari duit dari mana kalau tidak bekerja? Ekonomi keluarga saya juga sedang sulit di masa begini,” tuturnya.
Kekhawatiran serupa disampaikan Sahbani (34), pegawai honorer Unit Pengelola Kebersihan Badan Air Jakarta Barat. Dia cemas apabila terkena PHK mendadak seperti yang ditentukan UU Cipta Kerja. Dia sendiri memiliki tanggungan hidup dua anak yang masih sekolah.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar menuturkan, UU Cipta Kerja memperburuk wajah hubungan industrial yang saat ini sudah banyak diwarnai konflik dan merugikan buruh. Saat pandemi Covid-19 yang serba tidak pasti, kehadiran UU Cipta Kerja makin mereduksi perlindungan dan kesejahteraan buruh.
Timboel mengatakan, sejumlah ketentuan dalam UU Cipta Kerja itu membuat buruh terancam tidak diangkat menjadi pekerja tetap. Buruh kontrak dan alih daya yang selama ini sudah dalam posisi rentan karena upah yang minim, tanpa ikatan, dan tanpa jaminan perlindungan sosial akan semakin terancam. ”Daya tawar buruh semakin rendah, penegakan dan perlindungan hukum untuk buruh juga rendah,” katanya, Senin (5/10/2020).
Terburu-buru
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal menilai pengesahan UU Cipta Kerja terburu-buru di tengah pandemi. Kondisi ini tidak akan efektif memulihkan ekonomi nasional yang terdampak pandemi.
Faisal khawatir kehadiran UU itu justru akan menjadi bumerang yang memancing resistensi publik. Saat ini, kelompok pekerja/buruh berpotensi untuk turun ke jalan menggelar unjuk rasa.
Dinamika terkait UU Cipta Kerja juga rentan memecah fokus penanganan Covid-19 serta pemulihan ekonomi. ”Tidak ada investasi yang mau masuk jika kasus Covid-19 masih tinggi. Kalaupun ada, belum tentu membawa dampak berganda. Ada banyak pihak yang berharap undang-undang ini segera disahkan, tetapi dampak jangka panjangnya harus diperhatikan agar tidak berbalik jadi bumerang,” kata Faisal.