UU Cipta Kerja Dianggap Abaikan Prinsip Keberlanjutan
Selain mengabaikan prinsip keberlanjutan, khususnya di sektor kelautan perikanan, Undang-Undang Cipta Kerja dinilai membuka peluang penyalahgunaan wewengan. Penarikan kewenangan dinilai bakal membebani pemerintah pusat.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Cipta Kerja dinilai berorientasi pertumbuhan ekonomi, tetapi mengabaikan prinsip keberlanjutan sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945. Namun, pemerintah menganggap prinsip perlindungan, keselamatan, keamanan, dan kesehatan lingkungan justru menjadi perhatian utama dalam kluster sumber daya alam.
Chief Executive Officer Indonesian Ocean Justice Initiative (IOJI) Mas Achmad Santosa menilai, salah satu prinsip pembangunan berkelanjutan adalah prinsip pencegahan. Akan tetapi, UU Cipta Kerja mengurangi esensi prinsip pencegahan serta tidak mengatur mekanisme koordinasi di antara pemegang kewenangan izin yang bertanggung jawab langsung ke Presiden, seperti Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan kewenangan pengelolaan yang dipegang menteri.
Salah satu prinsip pencegahan yang dihilangkan adalah izin lingkungan. Selama ini, izin lingkungan mencantumkan persyaratan pencegahan pencemaran dan atau kerusakan untuk ditaati pemegang izin sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
”Tanpa adanya instrumen pencegahan yang ketat, ekosistem pesisir dan kehidupan masyarakat pesisir dapat terdampak,” katanya, Senin (5/10/2020).
RUU Cipta Kerja juga memangkas proses perizinan yang menghambat pertumbuhan ekonomi. Namun, izin yang lebih sederhana itu dikhawatirkan mendorong ekspansi usaha besar-besaran di daerah pesisir dan ruang laut tanpa mempertimbangkan daya dukung ekosistem. Padahal, ekonomi kelautan yang berkelanjutan mensyaratkan pemanfaatan sumber daya yang berkelanjutan.
”Kondisi laut Indonesia saat ini menghadapi tantangan besar dalam menjaga keberlanjutan ekosistem dan sumber daya kelautan. Pemulihan perlu dilakukan agar pemanfaatan sumber daya alam dapat dilakukan secara berkelanjutan. Jika tidak, pemanfaatan hanya dapat dilakukan untuk jangka pendek saja,” katanya.
Penyalahgunaan
Mas Achmad menambahkan, sejumlah perubahan dalam RUU Cipta Kerja akan menjadi bumerang yang memperburuk masalah apabila pemerintah dan kelembagaan belum siap. Di antaranya, penarikan kewenangan ke pemerintah pusat yang menyebabkan beban tanggung jawab pemerintah pusat menjadi sangat besar.
Selain itu, muncul potensi penyalahgunaan kewenangan (abuse of power). Guna mencegah penyalahgunaan kewenangan, pemerintah pusat perlu menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
”Persoalannya, tata kelola pemerintahan yang baik belum sepenuhnya menjadi budaya birokrasi di Indonesia. Tanpa good governance, sentralisasi kewenangan dapat menyebabkan buruknya pelayanan publik dan berimplikasi pada stagnasi pemerintahan,” kata Mas Achmad.
Salah satu dampak yang timbul akibat sentralisasi kewenangan perizinan adalah menurunnya aksesibilitas pelaku usaha yang sebelumnya mengurus izin di daerah masing- masing. Pemerintah harus memastikan sistem perizinan dapat terjangkau bagi seluruh kalangan masyarakat dan kesetaraan kesempatan bagi masyarakat untuk memenuhi persyaratan-persyaratan berusaha.
Ia juga menyoroti penarikan kewenangan ke pemerintah pusat akan menempatkan pemerintah daerah hanya sebagai pelaksana kewenangan pemerintah pusat (dekonsentrasi) sehingga memicu pelemahan otonomi daerah. UU Cipta Kerja dinilai rentan untuk menghadapi peninjauan kembali (judicial review) di Mahmakah Konstitusi karena bertentangan dengan Pasal 18 UUD 1945 yang berkaitan dengan otonomi nyata, luas, dan bertanggung jawab, serta melemahkan asas desentralisasi dan tugas pembantuan.
Penyusunan RUU Cipta Kerja dinilai telah memperkecil ruang partisipasi publik. Padahal, masyarakat akan terkena dampak kebijakan. Salah satu bentuk merosotnya partisipasi publik adalah penghapusan Komisi Penilai Analisis Masalah Dampak Lingkungan (Amdal). Hal ini memunculkan keraguan terkait pihak yang akan menilai Amdal.
Hal senada dikemukakan Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Muhammad Abdi Suhufan. Penyusunan RUU Cipta Kerja minim partsipasi publik. Penyederhanaan perizinan menunjukkan rezim pemerintahan yang sangat proinvestor. Di sektor perikanan, pengelolaan perikanan membutuhkan manajemen dan kontrol, meliputi kuota, data produksi, dan jumlah armada. ”Perangkat kontrol sudah tidak dipertimbangkan sehingga dikhawatirkan akan terjadi eksploitasi sumber daya ikan tak terkendali,” katanya.
Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan menilai UU Cipta Kerja menciptakan kekeliruan besar dengan menghilangkan definisi nelayan kecil berdasarkan bobot kapal sebagaimana diatur dalam UU No 45/2009 tentang Perikanan dan UU No 7/2016 tentang Perlindungan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Perubahan krusial itu menunjukkan hilangnya pengakuan dan perlindungan negara terhadap populasi nelayan kecil yang mendominasi usaha perikanan tangkap di Indonesia.
”Perubahan ini akan mengaburkan aspek perlindungan nelayan kecil dan tradisional serta mendorong konflik di laut meluas antara nelayan kecil/tradisional dan nelayan besar atau kapal dan alat tangkap yang merusak,” katanya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, saat menyampaikan pendapat akhir pemerintah untuk pengambilan keputusan terhadap UU Cipta Kerja di Sidang Paripurna DPR RI, Senin (5/10/2020) sore menyatakan, Indonesia memiliki potensi untuk keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah dengan memanfaatkan bonus demografi. Tantangannya adalah bagaimana menyediakan lapangan kerja dengan banyaknya aturan dan regulasi atau hiperregulasi.
”Kita butuh penyederhanaan, sinkronisasi, dan pemangkasan regulasi. Oleh karena itu diperlukan UU Cipta Kerja yang mengubah atau merevisi beberapa UU yang menghambat pencapaian tujuan tersebut,” ujarnya.
Airlangga menyatakan, terkait konsepsi kewenangan pusat dan daerah, menurut pemerintah, hal ini sesuai Pasal 4 dan Pasal 18 UUD 1945. Selain itu, konsepsi perlindungan, keselamatan, keamanan, dan kesehatan lingkungan juga menjadi perhatian utama dalam kluster sumber daya alam di UU Cipta Kerja.