Mendulang Laba dari Derita Berulang
Sindikat pemberangkatan pekerja migran mendapat lebih dari Rp 100 miliar per bulan. Selain omzet besar, tumpang-tindih peraturan ikut membuat pemberangkatan pekerja migran secara ilegal terus berlangsung.
JAKARTA, KOMPAS — Meski terjadi hingga ratusan kali setiap tahun, kasus terkait pekerja migran Indonesia di kapal ikan asing terus berulang. Sindikat pemberangkatan pekerja migran ilegal ditaksir mendapatkan lebih dari Rp 100 miliar per bulan dari kegiatan mereka. Selain laba sindikat, tumpang-tindih peraturan juga berkontribusi pada derita pekerja migran Indonesia atau PMI.
Kementerian Luar Negeri mencatat, kasus yang melibatkan 237 WNI di 45 kapal ikan milik 13 negara sepanjang 2020 saja. Sementara Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mencatat, 415 kasus terkait PMI sektor kelautan pada Januari 2018-Mei 2020. Laporan terbanyak datang dari Taiwan, diikuti Korea Selatan, Peru, dan China.
Baca juga: Pekerja Migran Di Sektor Kelautan Tidak Terlindungi
Kasus yang tidak terlapor dan terpantau dilaporkan dikhawatirkan lebih banyak banyak. Sebab, banyak PMI berstatus pekerja ilegal dan tidak pernah melapor atau dilaporkan keberadaannya di negara asing kepada perwakilan RI di luar negeri. Hal itu, antara lain, tecermin dari fakta BP2MI hanya punya data hingga 3,7 juta PMI di seluruh dunia. Sementara Bank Dunia, terutama mengacu pada data pengiriman uang gaji PMI di berbagai negara ke Indonesia, menaksir ada 9 juta PMI.
Kepala BP2MI Benny Rhamdani tidak menampik, selisih sebesar itu, antara lain, karena jaringan sindikat pemberangkatan PMI ilegal beroperasi sampai ke pelosok desa dan melibatkan orang di banyak negara. Jaringan operasi sebesar itu antara lain karena omzet bisnis pemberangkatan pekerja migran amat besar.
Omzet sindikat pemberangkatan PMI antara lain berasal dari komisi calo, selisih bunga kredit usaha rakyat (KUR) khusus PMI, dan pemotongan gaji kala PMI sudah bekerja. Hasil pemotongan gaji paling besar, mencapai belasan juta dollar AS atau ratusan miliar rupiah per bulan.”Banyak oknum mengatasnamakan lembaga non-perbankan dan koperasi untuk memberi pinjaman biaya keberangkatan. Bunganya sampai 25 persen,” ujar Benny.
Sindikat memanfaatkan ketidaktahuan dan kurangnya akses calon PMI pada perbankan untuk mengajukan kredit usaha rakyat (KUR) khusus PMI. Pemerintah memang pernah mendorong perbankan menyediakan KUR untuk membiayai keberangkatan PMI sebagai solusi pembiayaan.
Baca juga: Perlindungan Tidak Berhenti Karena Pandemi
Sayangnya, tetap saja sindikat pemberangkatan PMI menemukan celah dari kebijakan itu. Caranya, sindikat membantu menguruskan KUR untuk calon PMI dan mengenakan bunga lebih tinggi. Dari perbankan, bunga resmi hanya 6 persen. Sementara sindikat mengenakan bunga hingga 25 persen kepada PMI atau keluarga PMI.
Komisi calo
Ada pun Kepala Unit Pelayanan Teknis BP2MI Banda Aceh Jaka Prasetiyono mengatakan, calo bisa mendapat hingga Rp 20 juta untuk setiap calon PMI yang direkrutnya. Sebagian dari uang itu diberikan calo kepada keluarga PMI. Uang itu untuk meyakinkan keluarga PMI bahwa calo benar-benar bisa memberangkatkan PMI ke luar negeri.
Para calo juga berjanji mengurus semua dokumen untuk bekerja di luar negeri. Calon PMI yang tidak paham prosedur, serta merta terbujuk oleh iming-iming calo. Meski para calo menyatakan gratis, faktanya para PMI ilegal harus membayar setelah mereka bekerja.
Para PMI di kapal-kapal ikan mengaku gajinya dipotong paling kecil 50 dollar AS per bulan sebagai ganti aneka biaya untuk keberangkatan. Bahkan, otoritas Taiwan pernah menemukan pemotongan hingga 100 dollar AS per bulan pada sejumlah PMI yang bekerja di kapal-kapal ikan Taiwan.
Baca juga: Dua ABK Indonesia Dipulangkan
Jika merujuk data Kementerian Luar Negeri tentang jumlah PMI di kapal ikan di Taiwan dan Korea Selatan saja, yakni 249.447 orang, maka sindikat mendapat bisa mendapat 12,4 juta dollar AS atau Rp 174,6 miliar per bulan. Padahal, jumlah PMI di kapal-kapal ikan milik negara asing jauh lebih besar dari yang terdata.
Potongan bisa berlangsung berbulan-bulan, tergantung jumlah biaya yang dikeluarkan agen untuk memberangkatkan PMI. Keluarga dan PMI yang diberangkatkan tidak pernah tahu nilai yang dikeluarkan agen dan berapa bulan gaji dipotong.
Tumpang-tindih
Selain laba sindikat, tumpang-tindih peraturan juga berkontribusi pada derita PMI. Hasil evaluasi BP2MI menunjukkan perusahaan pengerah PMI berlindung di sedikitnya tiga izin. Mereka memanfaatkan Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK) dari Kementerian Perhubungan, Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI) dari Kementerian Tenaga kerja, dan Surat Izin Usaha Perusahaan (SIUP) dari Kementerian Perdagangan. ”Zaman jahiliyah ada bancakan kewenangan. karena kewenangan dipandang sebagai kue,” kata Benny.
Mayoritas perusahaan yang terlibat dalam kasus-kasus PMI, termasuk di sektor kelautan, hanya punya SIUP yang sebenarnya tidak boleh dipakai. Sebab, berdasarkan peraturan saat ini, agen pengerah PMI wajib punya SIP3MI dan SIUPPAK.
Baca juga: Indonesia-China Verifikasi Hak WNI Awak Long Xin
Khusus untuk PMI kelautan, menurut Benny, ada tumpang tindih kewenangan antara Kemenaker dan Kemenhub. ”Mereka hanya berurusan dengan mengeluarkan izin, akan tetapi ketika ada masalah, lepas tangan dan sebagai gantinya larinya ke BP2MI yang harus bertanggung jawab,” kata Benny.
Perebutan kewenangan itu tidak lepas dari perebutan anggaran. Meski tidak menyebut jumlah uang yang berputar dalam rangkaian proses penempatan ABK, Benny membenarkan, ada pihak-pihak yang tidak rela kewenangannya hilang, karena bagi mereka itu berarti kehilangan anggaran. ”Selama ini memang ada pola pikir yang salah bahwa ketika bicara kewenangan, itu berarti linear dengan anggaran. Ini cara berpikir primitif,” ujarnya.
Tumpang tindih kewenangan antara lain dipicu perbedaan penafsiran soal status PMI kelautan. BP2MI dan Kemenaker mengacu pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2018 tentang Perlindungan PMI yang menetapkan awak kapal ikan termasuk PMI.
Baca juga: Benahi Perlindungan ABK Indonesia Di Kapal Ikan Asing
Sebaliknya, Kemenhub menilai pelaut, termasuk awak kapal ikan yang terdaftar di negara asing, bukan pekerja migran. ”Dalam konvensi ILO C97 article 11 dinyatakan bahwa pelaut bukan pekerja migran,” ujar Direktur Perkapalan dan Kepelautan, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kemenhub Capt. Hermanta.
Minim sanksi
Kini, sedikitnya ada tiga peraturan pelaksana terkait pemberangkatan PMI kelautan. Regulasi itu adalah Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 9 Tahun 2019, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 42 Tahun 2016, dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 84 Tahun 2013.
Peraturan-peraturan itu menetapkan seperangkat persyaratan untuk pemberangkatan PMI. Kewajiban dalam aturan itu antara lain sertifikat kompetensi bagi calon PMI, pembuatan perjanjian kerja oleh pemberi kerja dan PMI, hingga pengesahan perjanjian kerja di perwakilan RI pada negara penempatan PMI.
Sayangnya, seluruh aturan itu hanya menetapkan sanksi berupa pencabutan izin. Tidak ada sanksi lebih menjerakan jika kewajiban dalam aturan-aturan itu tidak dijalankan. ”Banyak perusahaan tidak punya SIUPPAK bisa merekrut dan memberangkatan PMI,” kata peneliti migran internasional pada Pusat Kajian Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada, Ratih Pratiwi Anwar.
Baca juga: ABK Asal Bitung Meninggal Di Kapal China dan Taiwan
Sementara pendiri Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Mas Achmad Santosa mengatakan, ada tiga konvensi internasional untuk melindungi PMI di kapal-kapal ikan asing. Kini ada Cape Town Agreement of 2012 on the Implementation of the Provisions of the Torremolinos Protocol 1993 relating to the Torremolinos Interntional for the Safety of Fishing Vessel (Cape Town Agreement); The International Convention on Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnel 1995 (STCW-F); ILO Convention C-188 on Work in Fishing Convention.
Konvensi ILO C188 mengatur hak-hak fundamental ABK kapal ikan, antara lain: kewajiban tes kesehatan, batas umur minimal, standar Perjanjian Kerja Laut, standar makanan minuman dan akomodasi di kapal, serta kebebasan berserikat dan berorganisasi. Sayangnya, sampai sekarang baru 18 dari hingga 200 negara dan wilayah di bumi telah meratifikasi konvensi itu.
Sampai sekarang Indonesia baru meratifikasi STCW dan Konvensi Internasional tentang Pelindungan Hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan anggota keluarganya. Konvensi itu mencakup pelindungan awak kapal perikanan, tetapi terbatas pada sektor perikanan di perairan teritorial.
”Konvensi (STCW) ini sangat penting sebagai pondasi pelindungan awak kapal perikanan melalui pelatihan yang sesuai dengan standar internasional dan sertifikasi yang sesuai dengan persyaratan pengalaman berlayar, usia, kesehatan, dan kualifikasi yang diatur dalam konvensi,” kata Direktur Perlindungan WNI pada Kemenlu Judha Nugraha.
Baca juga: Perlindungan Pada ABK Kapal Ikan Asing Akan Ditingkatkan
Judha menyebut, pemerintah telah mengkaji proses ratifikasi Konvensi ILO C188. Kajian itu untuk memastikan proses pembentukan hukum di tingkat nasional tidak berhenti pada proses ratifikasi saja.
Ratifikasi juga menimbulkan konsekuensi pelaporan pemenuhan kewajiban atas mandat yang dituangkan dalam konvensi tersebut. Hal ini memerlukan kesiapan Kementerian dan Lembaga terkait di tingkat pusat maupun pemerintah daerah dalam menginternalisasikan ketentuan dalam konvensi ke dalam hukum nasional maupun peraturan daerah.
Ratih menyebut, celah peraturan di Indonesia dengan konvensi ILO C188 harus dibenahi sebelum meratifikasi konvensi itu. Pemerintah perlu mengamendemen, mengharmonisasi, hingga membuat aturan baru agar lebih konsisten dalam pemenuhan ketentuan konvensi tersebut.
Dalam penelitiannya, Ratih menemukan banyak ketidaksesuaian peraturan Indonesia dengan konvensi internasional. Selain itu, Indonesia belum melakukan berbagai kewajiban sebagai negara pelabuhan dan negara pendaftaran kapal atau negara bendera. Sebagai negara bendera, Indonesia belum punya aturan soal awak kapal perikanan yang harus diregulasi secara khusus. Sebab, karakter kerja awak kapal ikan berbeda dengan kapal-kapal lain.
Baca juga: Lorong Gelap Kejahatan Transnasional Di Sektor Perikanan
Selain itu, sebagai negara pelabuhan, Indonesia belum mempunyai regulasi tentang pengawasan kondisi kerja pekerja perikanan di kapal-kapal berbendera asing di pelabuhan-pelabuhan RI. Peraturan Menteri Perikanan dan Kelautan No 42/2016 tentang Perjanjian Kerja Laut (PKL) menegaskan keharusan memiliki PKL untuk semua pelaut berwarga Negara Indonesia di kapal berbendera apa pun. Sayangnya, peraturan itu tidak mencakup warga asing di kapal asing yang bersandar di Indonesia.
Sementara Kementerian Tenaga Kerja tidak punya kemampuan mengawasi kondisi kerja di kapal-kapal ikan baik di dalam mau pun di luar wilayah RI. Padahal, pengawasan itu wajib dilakukan.
Pemerintah tengah berusaha menyelesaikan persoalan itu dengan penerbitan rancangan peraturan pemerintah tentang Perlindungan PMI Kelautan. RPP, yang seharusnya terbit paling lambat pada September 2019, itu sedang dalam proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM. Kemenaker dan Kemenhub menyatakan sudah tidak ada masalah.
Namun, BP2MI dan Ratih masih menemukan sejumlah masalah. RPP itu memang menetapkan pemberangkatan PMI untuk semua sektor hanya dapat dilakukan pemilik SIP3MI dan SIUPPAK akan dihapus. Kemenhub mengusulkan masa transisi 2 tahun untuk menghapus SIUPPAK. Kemenaker dan BP2MI meminta paling lama 6 bulan. ”Kalau harus menunggu dua tahun, sama saja ada kekosongan regulasi lagi selama dua tahun dan semakin panjang daftar masalah ABK kita. Sudah saatnya derita awak kapal diakhiri,” kata Benny.
Baca juga: Perekrut Awak Kapal Tak Berizin Di Tegal
RPP itu juga dinilai bermasalah karena proses pembahasannya kurang melibatkan organisasi pelaut dan pekerja migran. ”Pembahasan kurang mempertimbangkan kebijakan di industri perikanan dan pekerja migran di negara penempatan,” kata Ratih.
Soal biaya keberangkatan, BP2MI berusaha mengatasinya lewat peraturan nomor 9 tahun 2020 tentang Pembebasan Biaya Penempatan PMI. PMI yang akan bekerja jadi awak kapal ikan termasuk yang tidak perlu membayar aneka biaya. Tidak ada biaya pergi-pulang ke dan dari negara penempatan, visa kerja, legalisasi perjanjian kerja, pelatihan kerja, sertifikat kompetensi kerja, jasa perusahaan, penggantian paspor, surat keterangan catatan kepolisian, jaminan sosial PMI, pemeriksaan kesehatan dan psikologi di dalam negeri.
”PMI juga tidak dikenakan biaya untuk pemeriksaan kesehatan tambahan jika negara tertentu mempersyaratkan, transportasi lokal dari dari daerah asal ke tempat keberangkatan di Indonesia dan akomodasi,” kata Benny. (AGE/AIN/CAS/ERK/FRN/IKI/JOG/NAD/NDU/RAZ/REN/XTI)