Sebulan Terakhir, Dua ABK Asal Bitung Meninggal di China dan Taiwan
Minimnya kesempatan ideal bekerja di dalam negeri membuat anak buah kapal asal Bitung, Sulawesi Utara, mempertaruhkan nyawa merantau ke luar negeri. Namun, tidak jarang mereka pulang tinggal nama.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
MANADO, KOMPAS — Dua warga Bitung, Sulawesi Utara, dilaporkan meninggal ketika bertugas sebagai anak buah kapal, masing-masing di kapal ikan China dan Taiwan, dalam sebulan terakhir. Namun, instansi pemerintah di Sulawesi Utara belum mengetahui kabar ini sehingga belum dapat mengoordinasikan pemulangan jenazah.
Dihubungi dari Manado, Senin (27/7/2020), Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia M Abdi Suhufan mengatakan, selama delapan bulan terakhir sejak November 2019, nyawa 13 anak buah kapal (ABK) asal Indonesia melayang di kapal ikan China. Sebelas orang meninggal dan dua orang lainnya hilang. Angka ini belum termasuk ABK yang meninggal di kapal Taiwan.
Laporan terakhir yang diterima DFW Indonesia adalah kematian Hendrik Bidori (50), ABK asal Kelurahan Sagerat, Matuari Bitung, yang bekerja di kapal ikan China, Lu Yan Tuan Yu 016. Dia meninggal di Peru. Hendrik dilaporkan mengalami kecelakaan kerja pada 10 Juli, kemudian meninggal pada 19 Juli di rumah sakit. Jenazahnya disebutkan masih berada di Peru.
Orangtua korban melapor ke Fisher Center Bitung keesokan harinya setelah perusahaan perekrut Hendrik, PT Lakemba Perkasa Bahari (LPB), mengabarkan kematian Hendrik. Kecelakaan itu juga disebut menyebabkan tiga ABK lain terluka dan kini tengah dirawat.
DFW Indonesia telah meneruskan laporan ini kepada Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Kementerian Ketenagakerjaan, dan Kementerian Luar Negeri, untuk memulangkan jenazah Hendrik. Namun, menurut Abdi, keluarga almarhum juga menuntut pemerintah menyelidiki penyebab kematian Hendrik.
”Keluarga minta sebab-sebab kematian harus dijelaskan secara detail, apakah karena kecelakan kerja atau yang lain. Dari foto yang dikirimkan seorang teman di kapal, ada lebam di wajah korban,” kata Abdi.
Koordinator Fisher Center Bitung, La Ode Hardiani, mengatakan, laporan itu telah diterima Kedutaan Besar RI di Lima, Peru. Namun, pemulangan jenazah masih terkendala penutupan akses penerbangan di Peru yang masih menerapkan lockdown akibat pandemi Covid-19.
Menurut Hardiani, keluarga juga menuntut perusahaan memenuhi hak-hak Hendrik yang telah bekerja selama 13 bulan di kapal Lu Yan Tuan Yu 016. Menurut perjanjian kerja laut (PKL), Hendrik akan bekerja selama 24 bulan dengan upah 350 dollar AS per bulan (Rp 5,1 juta). Sebanyak 50 dollar AS akan diberikan langsung di kapal, 100 dollar AS disimpan di perusahaan hingga akhir kontrak, dan 150 dollar AS dikirim ke keluarga.
Kendati demikian, selama Hendrik bekerja, keluarganya hanya menerima sekitar Rp 2 juta (150 dollar) sebanyak empat kali setiap dua atau tiga bulan. ”Tapi, perusahaan sudah mengirim Rp 23 juta (1.591 dollar AS) kepada keluarga. Katanya, itu mencakup 150 dollar AS yang harus dikirimkan kepada keluarga dan Rp 100 dollar AS yang disimpan di perusahaan,” kata Hardiani.
Jumlah itu hanya setengah dari nilai yang seharusnya diterima keluarga, yaitu 250 dollar per bulan. Jika Hendrik bekerja selama 13 bulan, keluarga seharusnya mendapat 3.250 dollar AS atau Rp 47,4 juta menurut kurs Rp 14.586 per dollar AS pada Senin. Keluarga korban sedang menunggu laporan dari PT LPB yang berpusat di Bekasi, Jawa Barat, jika Hendrik punya utang selama bekerja sehingga nominal harus dikurangi.
Hingga kini, DFW Indonesia dan Fisher Center Bitung belum menemukan indikasi perdagangan manusia ataupun eksploitasi tenaga kerja. Sebab, kata Abdi, pekerjaan Hendrik sesuai dengan PKL yang disetujuinya. Hendrik yang sempat berkomunikasi dengan keluarga sehari sebelum kecelakaan juga tidak pernah mengeluhkan keadaan kerjanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Sulut Erny Tumundo menyatakan belum menerima laporan tentang kematian Hendrik di Peru. Ia juga belum mendapat kabar dari pemerintah pusat.
Hal senada dikatakan Kepala Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Manado (BP3TKI) Manado Hard Marentek. ”Kalau ada info dari BP2MI, pasti kami akan tangani,” katanya.
Hardiani mengatakan, Fisher Center Bitung dan DFW Indonesia memang melaporkan kasus itu langsung ke pemerintah pusat. ”Karena skalanya internasional, kami rujuk ke pemerintah pusat. Kalau kasusnya di ranah lokal, kami akan laporkan ke Disnakertrans,” katanya.
Kasus kedua
Selama Juli 2020, Hendrik adalah ABK kedua asal Bitung yang meninggal saat bekerja di kapal ikan asing. Pada 7 Juli, Fisher Center Bitung menerima laporan kematian Seri Tindige (48), warga Kelurahan Ranowulu, Madidir, Bitung. Ia telah bekerja selama 24 bulan di kapal ikan Taiwan, Quans Hengfa.
Hardiani mengatakan, kematian Seri murni karena kecelakaan. Jenazahnya ditemukan mengapung di perairan dermaga setelah kapal ikan yang menjadi tempat kerjanya kembali ke Taiwan. ”Korban diduga berpesta dan mengonsumsi alkohol pada malam harinya. Jenazahnya sudah dipulangkan dan dikuburkan di Bitung,” ujarnya.
Seri direkrut PT Bintang Timur pada 2018 dengan upah 400 dollar AS per bulan. Selesai bekerja, ia berencana pulang ke Bitung, tetapi tertahan di Taiwan akibat pandemi. Perusahaan pun menawarinya kontrak selama enam bulan di kapal Wen Fa No 220 sembari menunggu pandemi reda. Seri telah menyepakatinya, tetapi meninggal sebelum berlayar.
Menurut Hardiani, perusahaan sempat menawarkan santunan Rp 50 juta kepada Paulina Lalao (50), istri Seri, jika ia mengizinkan jenazah suaminya dikubur di Taiwan. Paulina menolaknya dan jenazah Seri telah dipulangkan ke Bitung. ”Keluarga juga tidak pernah komplain soal hak-hak yang tidak terpenuhi,” kata Hardiani.
Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Sulut memiliki laut Zona Ekonomi Eksklusif seluas 190.000 kilometer persegi, perairan teritorial 161.540 km persegi, dengan panjang pantai 2.395,99 km. Kendati produk perikanan tangkap setiap tahun mencapai hampir 500.000 ton, ratusan warga tetap pergi menjadi ABK di luar negeri.
Hal ini disebabkan iming-iming upah dalam dollar yang jauh lebih besar nilainya daripada menjadi ABK atau nelayan di dalam negeri. Erny mengatakan, ABK di Bitung paling banyak hanya berpendapatan senilai upah minimum provinsi (UMP). Saat yang sama, banyak anggota sindikat penyalur pekerja yang memberangkatkan mereka secara ilegal tanpa melapor kepada pemerintah lebih dulu.
Hardiani menambahkan, para ABK di dalam negeri bahkan kerap hanya mendapatkan bagi hasil tangkapan. Jika tangkapan sedikit, mereka terancam tidak dapat apa-apa. Angka itu tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 42 Tahun 2020, yaitu dua kali UMP ditambah tunjangan, bonus, dan lembur.
Abdi menambahkan, keadaan ini menyebabkan ABK menjadi incaran agen-agen pencari pekerja bagi kapal-kapal China dan Taiwan, yang bahkan kerap menipu para calon ABK. ”Banyak yang disiksa di kapal dan dokumennya ditahan. Pemerintah harus bisa memberikan perlindungan kepada ABK sebelum, selama, dan sesudah bekerja sesuai UU,” kata Abdi.