Baleg DPR: Pembahasan RUU Cipta Kerja Rampung Awal September
Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas mengatakan jika tidak ada halangan, maka RUU Cipta Kerja diperkirakan selesai dibahas paling lambat awal September mendatang. Pengesahannya akan dilakukan segera setelah itu.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja diklaim sudah mencapai 85 persen. Sisa pembahasan ialah daftar inventarisasi masalah yang substansial dan masih menuai perdebatan, termasuk kluster ketenagakerjaan. RUU yang dibentuk dengan mekanisme omnibus law tersebut ditargetkan selesai pada awal September.
Ketua Badan Legislasi DPR yang juga Ketua Panitia Kerja RUU Cipta Kerja Supratman Andi Agtas saat dihubungi di Jakarta, Jumat (14/8/2020), mengatakan, DPR dan pemerintah tinggal menyelesaikan sekitar 1.700 daftar inventarisasi masalah (DIM) di RUU Cipta Kerja. Ia menyebut, berarti setidaknya pembahasan RUU tersebut sudah mencapai 85 persen.
"Yang kami selesaikan, yang banyak itu, kan, DIM yang sifatnya tetap dan perubahan redaksional doang. Itu yang banyak. Yang tersisa ini DIM yang substansial. Nah, itu yang pasti akan perdebatan-perdebatan muncul," ujar Supratman.
Supratman menyampaikan, jika tidak ada halangan, maka RUU Cipta Kerja diperkirakan selesai dibahas paling lambat pada awal September mendatang. Pengesahannya akan dilakukan segera setelah itu.
"Masalahnya, kan, tergantung sikap fraksi. Tetapi, kalau lihat perkembangan pembahasan, kelihatan alurnya, fraksi-fraksi sudah memahami konsep penyederhanaan perizinan ini memang begitu penting," ucap Supratman.
Menunggu pemerintah
Supratman mengatakan, DIM yang belum dibahas di antaranya adalah kluster ketenagakerjaan. Alasannya, pemerintah akan terlebih dahulu mereformulasi pasal-pasal terkait kluster tersebut dengan mengakomodasi tuntutan buruh.
"Kami minta pemerintah untuk merekonstruksi norma-norma apa yang menjadi tuntutan teman-teman pekerja. Secara lisan sebenarnya tuntutan mereka sudah disampaikan kepada kami tetapi itu, kan, masih menunggu perubahan norma batang tubuh dari pemerintah," tutur Supratman.
Supratman telah meminta kepada Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah agar segera memperbaiki norma-norma ketenagakerjaan itu. Selain soal ketenagakerjaan, lanjutnya, Baleg DPR juga meminta kepada pemerintah agar memperbaiki soal pemberian sanksi pidana.
"Di draf (RUU Cipta Kerja) awal, sebagian langsung menghapus semua sanksi pidana. Kami bilang, tidak boleh. Perizinan berusaha itu tindakan administratif. Tetapi kalau terkait keselamatan, kesehatan, sumber daya alam, dan perlindungan lingkungan, itu, sudah harus bicara pidana. Jadi, pemerintah juga kami minta merekonstruksi kembali terkait dengan sanksi itu," kata Supratman.
Sembari menunggu perbaikan norma-norma di klaster ketenagakerjaan, DPR akan berdialog dengan sejumlah serikat pekerja pada 18 Agustus 2020. Dalam pertemuan itu, tim kerja DPR bersama perwakilan serikat buruh akan mengkaji kembali pasal-pasal di RUU Cipta Kerja.
Janji transparan
Ketua DPR Puan Maharani, dalam pidatonya pada Rapat Paripurna Pembukaan Masa Sidang I Tahun 2020-2021, di Kompleks Senayan, Jakarta, Jumat, meyakinkan publik bahwa pembahasan RUU Cipta Kerja akan dilakukan secara cermat, hati-hati, dan transparan.
"Yang terpenting adalah mengutamakan kesinambungan kepentingan nasional, baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang. Hal ini dilakukan agar UU yang dihasilkan memiliki legitimasi yang kuat untuk menjaga kepentingan negara," ujar Puan.
Lebih lanjut, Puan menyebut DPR tetap bisa bekerja menjalankan fungsi legislasi meski dihadapkan pada kendala pandemi Covid-19. Dengan mempertimbangkan upaya pencegahan penyebaran Covid-19 dan kebutuhan melaksanakan tugas legislasi secara maksimal, DPR telah mengesahkan metode rapat virtual melalui Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pembentukan Undang-Undang.
DPR bersama pemerintah dan DPD telah mengevaluasi Program Legislasi Nasional Prioritas 2020 pada masa persidangan IV tahun 2019-2020. Berdasarkan evaluasi, daftar RUU dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2020 menjadi 37 RUU. Puan optimistis, DPR mampu menyelesaikan seluruh RUU yang ada dalam daftar Prolegnas Prioritas 2020 itu.
"Tentu dengan tetap memperhatikan skala prioritas, sehingga kebutuhan hukum bagi NKRI dapat dipenuhi," katanya.
Cacat prosedural
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika menyampaikan, DPR dan pemerintah seharusnya bekerja sungguh-sungguh untuk kepentingan rakyat agar bisa bangsa ini bisa keluar dari krisis berkepanjangan, bukan malah maraton menyelesaikan RUU Cipta Kerja yang sarat kepentingan investor dan kelompok bisnis. Atas dasar itu, Dewi menilai, DPR dan pemerintah sedang tidak bekerja untuk rakyat.
"Proses perumusannya cacat prosedural, tertutup, tergesa-gesa, tidak ada prinsip kehati-hatian, diskrimnatif karena lebih banyak melibatkan kelompok pengusaha. Mengabaikan kelompok kepentingan yang akan terdampak luas oleh RUU ini, seperti petani, buruh, dan masyarakat adat," tutur Dewi.
Dewi juga mengkritik RUU Cipta Kerja bukan hanya persoalan ketenagakerjaan dan perburuhan. Namun, RUU tersebut juga membuka pintu liberalisasi pertanahan dan monopoli tanah. Ia meyakini, jika RUU Cipta Kerja disahkan, maka konflik agraria dan penggusuran di desa-desa akan semakin subur.