Pembatasan aktivitas di perkantoran dan kebiasaan pekerja membawa bekal berimbas pada para pedagang makanan. Omzet mereka anjlok. Makanan yang sudah disiapkan juga kerap tidak habis meskipun jumlahnya sudah dikurangi.
Oleh
INSAN ALFAJRI / FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penjaja makanan masih menghadapi masa-masa sulit di tengah pandemi Covid-19. Merosotnya jumlah pembeli amat terasa pada pemasukan mereka. Porsi makanan yang sudah dikurangi pun kerap tidak habis terjual.
Pedagang bakso urat di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Wagiyem (45), duduk sendirian di warungnya, Jumat (7/8/2020) siang. Sebelum pandemi Covid-19 melanda Indonesia, siang hari merupakan jam sibuk di warung Wagiyem. Pembeli bisa mengantre hingga setengah jam demi semangkok bakso.
”Sekarang ini buka warung untuk menjaga pelanggan agar tak beralih saja. Kalau jualan, mah, nyungsep,” katanya.
Wagiyem biasanya merogoh kocek hingga Rp 1 juta untuk membeli daging sapi sebagai bahan baku bakso di masa sebelum Covid-19. Selain itu, butuh Rp 500.000 untuk modal sayur dan mi.
Berjualan dari pukul 08.00-15.00, semua dagangan biasanya sudah ludes. Kini, dia hanya memesan daging untuk bakso sebanyak 4 kilogram atau sekitar Rp 500.000. ”Itu pun masih bisa sisa separuh tiap hari,” katanya.
Penurunan omzet terlihat pula dari jumlah minuman dingin yang terjual. Sebelum pagebluk, dia bisa menjual tiga peti teh botol per hari. ”Kini setengah crate (peti) saja dua hari baru habis,” keluhnya.
Penurunan pendapatan memengaruhi hubungan Wagiyem dan pemilik kontrakan. Beberapa waktu lalu, pemilik kontrakan mengomeli Wagiyem karena terlambat membayar sewa Rp 600.000 per bulan. ”Yang punya rumah enggak mau tahu keadaan kami, pokoknya harus bayar,” katanya.
Di depan gerobak Wagiyem, pedagang warteg, Agus (30), menceritakan bahwa omzetnya baru sekitar 60 persen dibanding hari biasa. ”Yang beli, mah ada, saja. Tetapi, kualitas pesanan turun. Biasanya paket Rp 15.000. Kini, mereka bilang begini, ’Mang, ceban (Rp 10.000) dapat apa saja?’,” kata Agus.
Di hari biasa, Agus bisa mendapat Rp 2 juta setelah berdagang 24 jam. Dia bergantian menunggu warung bersama kakaknya.
Penurunan pendapatan memengaruhi hubungan Wagiyem dan pemilik kontrakan. Beberapa waktu lalu, pemilik kontrakan mengomeli Wagiyem karena terlambat membayar sewa Rp 600.000 per bulan.
Selama beberapa hari terakhir, Agus melihat ada kebiasaan baru beberapa karyawan yang sebelumnya membeli makanan di warteg. Kemarin, ada lima karyawan datang ke warungnya, tetapi hanya tiga orang yang memesan makanan. Sementara dua lainnya hanya memesan es teh manis dan mereka membawa bekal sendiri.
Santi (28), penjual makanan di Jalan Banjir Kanal, Kota Bambu Utara, Palmerah, Jakarta Barat, mengeluhkan sepinya pembeli selama pandemi Covid-19. Pembeli di warungnya kini hanya ramai pada siang hari. ”Biasanya jam berapa pun ada saja yang beli. Kalau sekarang kebanyakan siang doang,” katanya saat ditemui Jumat (7/8/2020) siang.
Santi menutup warungnya empat bulan akibat pandemi Covid-19. Ia kembali membuka lapaknya setelah Idul Fitri, tepatnya akhir Mei 2020. Jika dulu Santi bisa membawa pulang keuntungan Rp 120.000-Rp 150.000 dalam sehari, kini hanya Rp 60.000-Rp 80.000. Itu pun dengan catatan, anaknya tidak rewel minta dibelikan jajan.
Bahkan, sudah tiga pekan ini Santi mengurangi menu makanan. Sebelumnya ia bisa menyediakan 10-15 varian menu. Kini ia hanya menyediakan maksimal delapan varian. ”Biasanya untuk telur saja ada telur pedas, telur ceplok, dan telur dadar. Sekarang cuma telur pedas doang,” katanya.
Selain itu, ia juga hanya menanak 3 liter beras untuk persediaan sehari. Meski begitu, nasi tersebut masih sering tersisa saat ia menutup lapaknya. Sebelumnya ia biasa memasak 5 liter beras. ”Dulu, sih, 5 liter sering habis. Sekarang ngeri, 3 liter nasi saja masih sering sisa,” ujarnya.
Selama ini pembeli di warung Santi kebanyakan merupakan pelintas di Jalan Banjir Kanal. Kebanyakan dari kalangan karyawan. Sisanya adalah warga sekitar.
Bekal
Merosotnya omzet penjual makanan terjadi seiring dengan kebiasaan para konsumen yang memilih membawa bekal sendiri.
Etika Nur (28), karyawan swasta di Jakarta Pusat, selama pandemi Covid-19 ini memilih membawa bekal ketimbang membeli makanan di kantin kantornya. Terlebih, pihak kantornya kini membatasi mobilitas karyawannya selama di dalam kantor.
”Kantor melarang karyawan keluar-masuk gedung selain jam masuk dan pulang. Jadi, lebih sering bawa bekal,” katanya saat dihubungi.
Di satu sisi, Etika kini lebih sering bekerja dari rumah ketimbang bekerja dari kantor. Ia hanya bekerja di kantor selama dua kali dalam sepekan. ”Jadi, kantin di luar kantor memang sepi setiap hari. Karena divisi lain juga masih banyak yang bekerja dari rumah,” ujarnya.
Anita (32), pegawai pemerintah yang berkantor di Kuningan, Jakarta Selatan, memasak sendiri ketika Covid-19 melanda Indonesia. Ia tak lagi memesan makanan di kantin belakang kantornya.
Kini, seiring berlakunya masa adaptasi kebiasaan baru, disiplin untuk membawa makanan sendiri mulai kendur. Namun, ini bukan berarti ia beralih ke kantin ketika bekerja dari kantor. Ia justru memesan makanan lewat daring. ”Kebanyakan, sih, yang sudah tahu toko offline-nya. Jadi, ya, sedikit banyak tahu tentang kebersihannya,” kata Anita.