Manfaatkan Celah dan Peluang Mengungkit Ekonomi
Indonesia harus siap menghadapi. Jangan sampai kita menolak menyatakan resesi, tapi secara riil di tengah masyarakat itu sudah terjadi. Masyarakat justru harus disiapkan dengan skenario terburuk itu.
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 membawa peluang pada sektor tertentu yang pertumbuhannya tetap positif sepanjang triwulan II tahun ini, seperti pertanian, informasi dan komunikasi, serta kesehatan. Strategi kebijakan pemerintah dinilai masih gagal menangkap peluang tersebut. Respons kebijakan yang teliti dibutuhkan jika ingin lolos dari ancaman resesi berkepanjangan.
Dari sisi sektoral, hampir semua sumber pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan yang signifikan sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia terkontraksi 5,32 persen secara tahunan pada triwulan II-2020. Sebanyak 10 dari 17 sektor usaha utama di Indonesia tumbuh negatif sepanjang April-Juni 2020.
Sektor transportasi dan pergudangan serta akomodasi dan makan minum terkontraksi paling dalam. Adapun empat dari lima sektor yang berkontribusi paling besar ke produk domestik bruto (PDB) pun ikut tumbuh negatif, seperti industri, perdagangan, dan konstruksi.
Ekonom senior Institute for Development on Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini, Kamis (6/8/2020), mengatakan, meski krisis kali ini lebih berat dibandingkan krisis sebelumnya, selalu ada peluang yang dapat dimanfaatkan. Peluang itu terlihat dari struktur sejumlah sektor usaha yang masih mengalami pertumbuhan positif selama enam bulan pertama tahun ini.
Kendati demikian, pemerintah luput merebut peluang tersebut lewat skenario kebijakan yang memadai. ”Yang harus dikritisi, peluangnya dibiarkan begitu saja dan tidak dikembangkan melalui respons kebijakan yang memadai dari pemerintah,” katanya dalam telekonferensi pers bertajuk ”Hadapi Resesi, Lindungi Rakyat: Respons Pertumbuhan Ekonomi Trwiulan II-2020” di Jakarta.
Yang harus dikritisi, peluangnya dibiarkan begitu saja dan tidak dikembangkan melalui respons kebijakan yang memadai dari pemerintah.
Sepanjang triwulan II-2020, ada beberapa sektor yang justru mengalami pertumbuhan positif, seperti sektor informasi dan komunikasi (infokom) yang tumbuh 10,88 persen, lebih tinggi daripada pertumbuhan pada triwulan II-2019 yakni 9,6 persen. Meskipun turun jika dibandingkan triwulan II-2019, sektor pertanian juga masih tumbuh 2,19 persen.
Pertumbuhan juga masih dialami sektor jasa kesehatan sebesar 3,71 persen, meskipun menurun dibandingkan triwulan II-2019 sebesar 9,13 persen.
Menurut Didik, pertumbuhan sektor infokom seharusnya lebih tinggi berhubung peluang sektor ini sangat besar saat pandemi. Keterbatasan transportasi dan mobilitas manusia mendorong lebih banyak orang beralih ke ranah digital dan memanfaatkan produk dan jasa sektor infokom.
Seharusnya perusahaan di bidang teknologi informasi bisa tumbuh hingga ratusan persen. Kenyataannya, pada triwulan II-2020, pertumbuhan itu hanya 10,8 persen, meski tercatat sebagai sektor dengan pertumbuhan tertinggi.
”Peluang seperti ini hilang karena kebijakan diam di tempat saja. Tidak ada ide-ide dan inovasi yang menangkap peluang besar ini,” katanya.
Baca juga: Pemerintah Janjikan Penguatan Konsumsi Rakyat
Didik berpendapat, di tengah pandemi, infrastruktur telekomunikasi seharusnya dimanfaatkan maksimal. Proyek Palapa Ring dapat dikembangkan untuk mengembangkan jaringan internet sampai ke pelosok.
Pemerintah dapat meminta perusahaan telekomunikasi memperluas jaringan kabel fiber optiknya melalui pemberian tiang listrik lewat subsidi pemerintah.
”Tiang listrik diberikan gratis atau subsidi agar seluruh negeri bisa dialiri internet. Sebaliknya, perusahaan telekomunikasi diwajibkan memberi harga internet yang murah kepada masyarakat,” kata Didik.
Perluasan infrastruktur dan sarana telekomunikasi ini secara jangka panjang bisa memberi dampak lanjutan pada sektor-sektor lainnya yang bisa menggerakkan perekonomian, seperti usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang kini mulai beralih berjualan secara daring tetapi kerap terkendala akses sinyal dan kuota internet.
Ekonom Indef Eko Listyanto mengatakan, ekonomi kerakyatan tetap menjadi penggerak perekonomian nasional. Dari berbagai macam krisis yang pernah terjadi di Indonesia, sektor UMKM merupakan sektor yang paling adaptif dan selalu menjadi pintu penyelamat dari resesi berkepanjangan.
Kali ini pun, berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah harus diarahkan untuk menyelamatkan dan memberdayakan UMKM. ”Kalau kebijakan di sektor UMKM atau yang bisa mendorong UMKM bisa lebih cepat, kemungkinan besar resesi ekonomi bisa cepat teratasi,” ujarnya.
Baca juga: Geliat Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Akan Perbaiki Perekonomian
Pangan
Ekonom Pangan dan Energi Indef Rusli Abdullah menambahkan, pertanian tampil sebagai salah satu sektor yang tidak terkontraksi bersama sejumlah sektor lain. ”Pertanian tetap tumbuh selama pandemi karena yang namanya kebutuhan primer selalu harus dipenuhi,” kata Rusli.
Hal itu membuat sektor pertanian penting diselamatkan, baik dari segi penanganan kesehatan maupun ekonomi. Jika pasokan pangan terganggu, itu akan berdampak pada tingkat inflasi, daya beli masyarakat, dan semakin memukul perekonomian nasional.
Meski memainkan peran strategis, kesejahteraan petani masih tergerus. Hal itu terlihat dari sejumlah indikator, seperti nilai tukar petani (NTP) yang secara umum terus turun. Pada Januari 2020, NTP berada pada level 104,21, kemudian turun lagi menjadi 100,09 pada Juli 2020. Adapun NTP adalah salah satu instrumen untuk mengukur tingkat kemampuan daya beli petani.
Sejalan dengan hal itu, harga yang diterima petani tanaman padi turun, tetapi kebutuhan rumah tangga petani pangan meningkat.
”Ini tidak adil, harga komoditas mereka turun, tapi kebutuhan meningkat. Padahal, inflasi sempat turun pada April-Juni 2020, tapi indeks konsumsi rumah tangga petani meningkat. Ini menunjukkan, penurunan inflasi hanya dinikmati segelintir kelas menengah-atas, bukan petani,” katanya.
Meski memainkan peran strategis, kesejahteraan petani masih tergerus. Ini tidak adil, harga komoditas mereka turun, tapi kebutuhan meningkat.
Baca juga: Daya Beli Masyarakat Makin Tergerus
Rusli mengingatkan potensi kenaikan harga beras pada akhir triwulan IV-2020 ini, yang harus disikapi pemerintah dengan kebijakan untuk mengontrol harga beras dan menjamin kelancaran pasokan beras dan komoditas pangan lain.
”Jika kondisi pandemi terus begini, pertumbuhan ekonomi tidak bergeliat, ditambah pertambahan harga beras, ini akan semakin menggerus daya beli masyarakat dan semakin mendorong ekonomi terperosok,” katanya.
Bersiap resesi
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengatakan, berhubung triwulan III-2020 tersisa dua bulan lagi, Indonesia harus bersiap untuk skenario terburuk memasuki resesi. Skenario kebijakan yang disiapkan pemerintah pun seharusnya dalam skema bersiap menghadapi resesi dan tidak lagi menyangkal ancaman resesi yang menurutnya tidak terhindarkan.
”Indonesia harus siap menghadapi. Jangan sampai kita menolak menyatakan resesi, tapi secara riil di tengah masyarakat itu sudah terjadi. Masyarakat justru harus disiapkan dengan skenario terburuk itu,” kata Tauhid.
Indonesia harus siap menghadapi. Jangan sampai kita menolak menyatakan resesi, tapi secara riil di tengah masyarakat itu sudah terjadi. Masyarakat justru harus disiapkan dengan skenario terburuk itu.
Didik mengatakan, selama pandemi Covid-19 tidak bisa diatasi, Indonesia tidak akan bisa lolos dari ancaman resesi. Indonesia telah salah melangkah ketika cenderung lebih memprioritaskan penanganan ekonomi dibandingkan kesehatan pada awal pandemi.
”Kesalahan kebijakan kita sudah fatal. Masih sakit, disuruh lari. Jika Covid-19 tidak bisa diatasi, jangan bermimpi bisa mengatasi resesi. Tidak ada pertumbuhan ekonomi tanpa mengatasi pandemi,” kata Didik.
Baca juga: Cegah Resesi, Daya Beli Ditingkatkan
Di tengah kontraksi perekonomian, sejumlah sektor usaha di pertanian dan industri pengolahan tetap menggeliat. Geliat ini menandakan masih adanya celah pertumbuhan yang menopang pemulihan ekonomi China.
Salah satu komoditas yang berpotensi menggeliat ialah karet. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Moenardji Soedargo menilai permintaan karet dari China mulai tumbuh kembali.
Namun, Moenardji menyebutkan, pelaku usaha mesti memantau perkembangan isu geopolitik yang melibatkan China, seperti perang dagang dengan Amerika Serikat ataupun ketegangan Laut China Selatan. ”Isu-isu geopolitik ini dapat berdampak pada melemahnya perekonomian China dan memengaruhi perdagangan,” katanya saat dihubungi di Jakarta, Kamis.
Dari sisi suplai, Moenardji mengatakan, produksi Thailand, salah satu negara penghasil karet terbesar, tidak begitu kuat lantaran faktor cuaca. Dampaknya, keseimbangan pasokan dan permintaan akan tercipta.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor karet alam sepanjang Januari-Juni 2020 mencapai 2,89 juta dollar AS. Angka ini lebih tinggi 6,17 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Selain karet, BPS mencatat, ekspor cengkih dan lada hitam juga meningkat pada periode yang sama. Nilai ekspor cengkih naik 16,35 persen menjadi 52,18 juta dollar AS, sedangkan nilai ekspor lada hitam meningkat 18,65 persen menjadi 17,1 juta dollar AS.
Baca juga: Hubungan Bisnis Jadi Senjata Ekspor Perkebunan di Tengah Kontraksi
Dari sisi ekspor industri pengolahan, BPS mendata, sejumlah sektor tumbuh sepanjang semester-I 2020 dibandingkan tahun sebelumnya, seperti makanan (10,17 persen); kulit, barang dari kulit, dan alas kaki (9,79 persen); farmasi, produk obat kimia, dan obat tradisional (15,2 persen); komputer, alat elektronik, dan optik (1,03 persen); serta furnitur (12,86 persen).
Di sisi lain, terdapat sektor industri yang nilai ekspornya turun, seperti tekstil (24,02 persen); pakaian jadi (16,44 persen); mesin dan perlengkapan (7,72 persen); kendaraan bermotor, trailer, dan semitrailer (24,13 persen); serta angkutan lainnya (23,82 persen).
Pergerakan nilai ekspor itu senada dengan kinerja industri pengolahan yang secara umum pada triwulan-II 2020 tumbuh negatif 6,19 persen dibandingkan tahun sebelumnya pada periode yang sama. Industri tekstil dan pakaian jadi tumbuh negatif 14,23 persen, mesin dan perlengkapan tumbuh negatif 13,42 persen, serta alat angkutan tumbuh negatif 34,29 persen.
Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani memperkirakan, pemulihan industri pengolahan memiliki prospek yang positif. Akan tetapi, hal ini membutuhkan perbaikan tingkat konsumsi dalam negeri.
”Artinya, stimulus dan belanja pemerintah yang mendongkrak konsumsi mesti segera digulirkan pada masyarakat,” katanya.
Shinta memperkirakan, pada triwulan III-2020, industri di sektor primer dapat pulih dan bertahan, seperti makanan-minuman, obat-obatan, dan pengemasan. Sektor lainnya kemungkinan pulih pada triwulan IV-2020 atau triwulan I-2021, tergantung dari realisasi stimulus dan situasi perekonomian dunia.