Jika diseriusi, ke depan, imbal dagang ini tak hanya bisa menjaga keseimbangan ekspor dan impor di antara dua negara, tetapi juga meningkatkan teknologi dan sumber daya manusia Indonesia.
Oleh
hendriyo widi
·3 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Pesawat tempur Sukhoi Su-27 TNI AU ambil bagian dalam latihan puncak Angkasa Yudha 2013 di Pangkalan Udara Ranai, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Rabu (30/10/2013). Latihan tersebut melibatkan unsur TNI AU, baik unsur pesawat tempur, helikopter, maupun pasukan.
Imbal dagang, salah satu ragam cara perdagangan antarnegara, mencuat kembali tahun ini, setelah timbul dan tenggelam sepanjang 2009-2019. Hasilnya masih tak kunjung terealisasi. Dalam kurun waktu tersebut, Indonesia menerapkan skema ini terhadap tiga negara, yaitu Rusia, Korea Selatan, dan India.
Imbal dagang atau barter ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan neraca perdagangan dua negara yang saling bekerja sama. Dua skema imbal dagang yang kerap digunakan dalam perdagangan internasional adalah imbal beli (counter purchase) dan offseet.
Imbal beli adalah salah satu jenis imbal dagang yang merupakan instrumen untuk mengatasi hambatan dan kendala ekspor di luar negeri, memperluas pasar ekspor, dan menjaga keseimbangan neraca perdagangan. Offset merupakan mekanisme pembayaran eksportir luar negeri melalui persetujuan investasi kerja sama produksi dan alih teknologi ke dalam negeri pembeli.
Skema tersebut biasanya dipakai dalam kesepakatan pembelian produk alat utama sistem persenjataan (alutsista) dan produk-produk lain yang berteknologi tinggi. Pada 2017, Indonesia-Rusia menyepakati pembelian 11 pesawat Sukhoi seri Su-35 dari Rusia senilai 1,14 miliar dollar AS pada 2017.
Sebagai barternya, Rusia diminta membeli sejumlah produk andalan yang ditawarkan Indonesia, seperti karet, minyak kelapa sawit mentah (CPO), kakao, furnitur, ikan olahan, dan tekstil senilai total 570 juta dollar AS atau 50 persen dari total harga 11 pesawat Sukhoi.
Dengan Korea Selatan (Korsel), Indonesia akan mengembangkan pesawat tempur bernama Korean Fighter (KF)-X/Indonesian Fighter (IF)-X. Harapannya, kerja sama yang ditandatangani kedua negara sejak 9 Maret 2009 ini menghasilkan prototipe pesawat pada 2021.
Model pesawat tempur KF-X ini ditampilkan di bagian depan perusahaan penerbangan Korea Aerospace Industries (KAI) di Sacheon, Korea Selatan, 13 April 2016. Riset untuk pembuatan prototipe pesawat tempur generasi 4,5 ini masih berlangsung sampai 2021. Proyek dijadwalkan rampung pada 2026, dengan produksi 250 pesawat tempur untuk Korea dan Indonesia.
Total pembiayaan proyek sampai 2026 direncanakan sekitar 8 miliar dollar AS dan dibagi antara Korsel (80 persen) dan Indonesia (20 persen). Indonesia juga berharap Korsel membeli batubara, produk turunan CPO, karet, dan kertas.
Baik dengan Rusia maupun dengan Korsel, Indonesia juga meminta ada transfer teknologi atau skema offset. Khusus dengan Rusia, nilainya sebesar 35 persen atau 399 juta dollar AS. Tujuannya agar teknologi alutsista dan sumber daya manusia (SDM) Indonesia juga turut berkembang.
Sementara itu, baru-baru ini, Kementerian Pertahanan dan Kementerian Perdagangan membahas rencana kerja sama perdagangan dengan India melalui skema imbal dagang. Sejak 2016, India menawarkan sistem advanced cruise missile atau peluru kendali/rudal jelajah ke sejumlah negara.
Produk yang ditawarkan itu berupa misil supersonik BrahMos. Indonesia termasuk salah satu negara yang tertarik membeli barang tersebut dan meminta India untuk meningkatkan pembelian CPO dan karet.
Namun, hingga sekarang, skema imbal dagang itu belum berjalan baik. Pembelian 11 pesawat Sukhoi masih terkendala kemungkinan Indonesia akan mendapatkan sanksi dari Amerika Serikat dan belum terpenuhinya pembelian komoditas Indonesia. Adapun kerja sama pembuatan pesawat tempur Indonesia-Korsel tersendat karena ada renegosiasi. Indonesia meminta pengurangan porsi pembiayaan dari 20 persen menjadi 15 persen.
Sebenarnya, skema imbal dagang bukanlah hal baru bagi Indonesia karena sudah diterapkan sejak 1982. Namun, pemerintah tidak intensif mengembangkan skema itu. Padahal, hasilnya cukup baik meningkatkan ekspor.
Pada 1997, misalnya, Badan Pusat Statistik mencatat, realisasi perdagangan imbal dagang Indonesia sebesar 302 juta dollar AS. Skema tersebut menyumbang 1,72 persen total ekspor nonmigas pada tahun itu.
Pemerintah mulai jarang menerapkan skema tersebut setelah krisis moneter 1998. Hal itu berlangsung hingga pertengahan 2003. Baru pada Agustus 2003, Indonesia berhasil menandatangani kesepakatan imbal dagang dengan Libya. Indonesia membeli minyak mentah Libya, sedangkan Libya membeli 16 produk nonmigas Indonesia.
Jika diseriusi, ke depan, imbal dagang ini tak hanya bisa menjaga keseimbangan ekspor dan impor di antara dua negara, tetapi juga meningkatkan teknologi dan SDM Nusantara.
Di tengah agenda pemulihan ekonomi nasional yang terimbas pandemi Covid-19, Indonesia sebenarnya bisa memanfaatkan skema ini. Tentu saja skema ini menjadi salah satu alternatif lain dari berbagai upaya mendorong peningkatan ekspor melalui perjanjian-perjanjian perdagangan dan kerja sama ekonomi komprehensif.
Jika diseriusi, ke depan, imbal dagang ini tak hanya bisa menjaga keseimbangan ekspor dan impor di antara dua negara, tetapi juga meningkatkan teknologi dan SDM Nusantara.