Dialog Kluster Ketenagakerjaan ”Omnibus Law” Memecah Serikat Pekerja
Sikap serikat pekerja dan buruh terbelah dua. Selain KSPI, perwakilan buruh lain yang mundur adalah KSPSI pimpinan Andi Gani Nena Wea. Tetapi, enam serikat pekerja lainnya memutuskan tetap bertahan di tim pembahasan.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
Dialog antara pemerintah, pengusaha, dan perwakilan kelompok buruh kembali mengeruh setelah sejumlah serikat pekerja mengundurkan diri dari tim teknis pembahasan kluster ketenagakerjaan di Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Meski demikian, perwakilan buruh lainnya memutuskan tetap bertahan untuk memperjuangkan perbaikan isi draf omnibus law itu agar pro terhadap kesejahteraan buruh.
Tim teknis itu awalnya dibentuk untuk mendiskusikan ulang pasal-pasal ketenagakerjaan di Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Sebagaimana diketahui, meskipun pembahasan regulasi sapu jagat itu tengah bergulir di Senayan, pemerintah memutuskan menarik kluster ketenagakerjaan dari draf RUU. Pasal-pasal itu menurut rencana akan dibahas terpisah dulu oleh perwakilan pemerintah, pengusaha, dan perwakilan kelompok buruh.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, Rabu (15/7/2020), mengatakan, tim itu seharusnya melahirkan kesepahaman baru yang tidak merugikan kelompok pekerja/buruh. Namun, masukan buruh tidak didengarkan dalam forum.
Sejak rapat pertama, 8 Juli 2020, dokuman konsep RUU yang diusulkan pekerja dikembalikan oleh perwakilan pengusaha. Dalam pertemuan kedua, 10 Juli 2020, unsur pengusaha menilai tidak perlu ada keputusan dan kesepakatan dari pertemuan tim teknis karena sifatnya sekadar memberi masukan.
”Pendapat itu juga diamini unsur pemerintah yang hadir saat rapat. Rapat tim teknis itu disebut bukan perundingan dan tidak perlu ada kesepakatan atau keputusan apa pun,” kata Said ketika dihubungi di Jakarta.
Tim itu seharusnya melahirkan kesepahaman baru yang tidak merugikan kelompok pekerja/buruh. Namun, masukan buruh tidak didengarkan dalam forum.
Mempertanyakan posisi suara buruh dalam tim teknis itu, Said menuturkan, sejumlah serikat pekerja pun memutuskan mundur dari pembahasan. Alasannya, hal ini menyalahi prinsip pembahasan tripartit dan norma dalam dialog sosial yang seharusnya mengedepankan kesetaraan dan kebebasan berpendapat.
Ia mengacu pada hasil ratifikasi konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) Nomor 144 terkait Tripartit, yakni setiap kebijakan terkait perburuhan harus dikonsultasikan dan didiskusikan dulu secara tripartit.
”Artinya, harus ada mekanisme perundingan, kesepakatan, baru kemudian diambil keputusan untuk diserahkan rekomendasinya ke pemerintah dan dibahas bersama DPR, bukan sekadar ngobrol-ngobrol,” katanya.
Namun, sikap serikat pekerja dan buruh terbelah dua. Selain KSPI, perwakilan buruh lain yang mundur adalah Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) pimpinan Andi Gani Nena Wea. Tetapi, enam serikat pekerja lainnya memutuskan tetap bertahan di tim teknis tersebut.
Mereka adalah KSPSI pimpinan Yorrys Raweyai, Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) pimpinan Elly Rosita Silaban, Konfederasi Serikat Buruh Muslimin Indonesia (KSarbumusi), Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN), Federasi Serikat Pekerja Perkebunan, serta Federasi Serikat Pekerja Perkayuan dan Kehutanan Indonesia (FSP Kahutindo).
Presiden KSPN Ristadi mengatakan, keenam serikat pekerja itu memutuskan bertahan di tim teknis sebagai strategi perjuangan. Dengan berada di tim pembahas, banyak hal yang bisa dilakukan dalam perjuangan.
”Tidak hanya aksi unjuk rasa, tetapi juga bisa lewat publikasi, lobi politik, negosiasi, dan dialog sosial,” ujarnya.
Dengan berada di tim pembahas, banyak hal yang bisa dilakukan dalam perjuangan. Tidak hanya aksi unjuk rasa, tetapi juga bisa lewat publikasi, lobi politik, negosiasi, dan dialog sosial.
Presiden KSBSI Elly Rosita Silaban mengemukakan, forum tripartit itu akan digunakan untuk memperjuangkan agenda perlindungan buruh dalam RUU Cipta Kerja. KSBSI mendorong agar memperbanyak dialog sosial untuk memengaruhi kebijakan pemerintah dalam membahas RUU Cipta Kerja.
”Tidak ada istilah belum berjuang sudah mundur atau kalah sebelum berperang,” ucapnya.
Sejak awal, RUU Cipta Kerja memancing penolakan keras buruh karena substansi kluster ketenagakerjaan yang merugikan pekerja. Hal itu antara lain pengurangan nilai pesangon, pelonggaran penggunaan buruh kontrak dan buruh alih daya (outsourcing), reduksi jaminan sosial, mekanisme pemutusan hubungan kerja tanpa izin pengadilan, serta hilangnya sejumlah sanksi pidana untuk pengusaha.
Bukan bertukar konsep
Terkait proses pembahasan di forum teknis tripartit itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, dalam undangan resmi pemerintah, tidak terdapat agenda untuk saling bertukar dokumen konsep, tetapi pertemuan lanjut untuk membahas pasal demi pasal yang ada dalam draf RUU Cipta Kerja kluster ketenagakerjaan.
Setelah dikonfirmasi, dokumen yang diserahkan KSPI dalam pertemuan tripartit itu pun belum mewakili semua serikat pekerja dan buruh yang hadir. ”Kami mendukung pertemuan ini sebagai forum pembahasan di mana kedua pihak (pengusaha dan buruh) memberi pandangan dan argumentasi secara konstruktif ke pemerintah untuk menyempurnakan draf itu,” kata Hariyadi.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Willy Aditya menyayangkan keluarnya kelompok buruh dari tim teknis RUU Cipta Kerja. Menurut dia, jika titik temu tidak bisa dicapai antara kelompok buruh dan pengusaha, kluster ketenagakerjaan sebaiknya dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja.
Adapun perwakilan pemerintah dari Kementerian Ketenagakerjaan belum bersedia memberikan keterangan terkait proses pembahasan di forum tripartit.