Guru Masih Kesulitan Kembangkan Proses Pembelajaran Berkualitas
Kecakapan literasi dan numerasi siswa di Indonesia masih rendah sejak jenjang sekolah dasar. Para guru pun masih minim mendapatkan pelatihan dan pendampingan yang fokus pada peningkatan kualitas mengajar.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
TAMBOLAKA, KOMPAS — Menghadirkan proses pembelajaran yang berpusat pada siswa secara umum masih jadi tantangan bagi banyak guru. Minimnya pendidikan dan pelatihan dari pemerintah yang memampukan guru untuk menjalani proses pembelajaran yang sesuai perkembangan dan kebutuhan anak berdampak pada capaian pembelajaran yang rendah, terutama soal literasi dan numerasi.
Para guru terus terjebak pada proses pembelajaran di kelas yang terpaku pada buku teks. Para siswa sejak dari sekolah dasar dipaksa untuk menjalani pembelajaran yang langsung melompat ke abstrak dan metode belajar yang pasif sehingga siswa sulit untuk memahami secara benar dan berpikir kritis.
Elisabeth L Ngongo, Kepala SD Negeri Waikelo di Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, di Tambolaka, Senin (30/5/2022), mengatakan, sebenarnya para guru gelisah dengan hasil capaian belajar siswa yang masih rendah, terutama di literasi dan numerasi. Kesempatan mendapatkan pendidikan dan pelatihan untuk memperbaiki proses belajar secara berkualitas yang dapat meningkatkan capaian belajar siswa masih kurang dan langka.
Saya sudah merasa menemukan metode yang baik untuk membantu siswa menikmati proses pembelajaran sehingga mereka pun semakin rajin ke sekolah. (Sesilia Kusriati)
”Jujur saja, kalau ada pendidikan dan pelatihan seringnya fokus pada masalah administrasi. Guru pun merasa tetap kebingungan dan frustrasi mengatasi pembelajaran dengan siswa yang beragam kemampuannya dan membangun kecakapan yang esensial,” kata Elisabeth.
Kualitas mengajar
Di SD Negeri Waikelo yang berlokasi di sekitar perkampungan nelayan, sempat menghadapi kondisi siswa yang sering bolos sekolah yang bisa mencapai 50 persen. Akibatnya, banyak siswa yang tidak bisa membaca dan menghitung. Pelajaran Matematika atau numerasi menjadi momok. Para guru mengajar dengan mengikuti buku teks secara penuh sehingga menjadi abstrak bagi siswa.
Bantuan untuk mengubah proses pembelajaran yang membuat siswa tak berminat belajar akhirnya datang dari program Kelas Lentera Kuark bersama William and Lily Foundation pada 2019-2021. Ketidakmampuan siswa untuk mengikuti proses pembelajaran sesuai tingkatan kelas secara umum akibat kondisi siswa rata-rata kurang dari ideal, tertinggal 2-3 tahun dari usia sebenarnya. Namun, para guru tidak memahami kondisi tersebut dan beranggapan para siswa lambat belajar.
Para guru kemudian didampingi untuk memahami proses belajar anak. Metode belajar konkret, gambar, dan abstrak (KGA) diterapkan. Termasuk pula metode belajar inkuiri ABCDE, yakni Amati, Bertanya, Cari, Diskusi, dan Evaluasi.
Guru kelas VA SDN Waikelo Sitti Jainab mengajak siswa ke kebun kangkung di halaman sekolah saat belajar Matematika untuk menghitung keliling persegi panjang. Secara konkret siswa menghitung panjang dan lebar bedeng kangkung. Bahkan, siswa belajar mengukur dengan satuan tidak baku (tali rafia) serta satuan baku (penggaris dan meteran). Mereka dibekali dengan lembar kerja yang sudah disiapkan guru.
Pembelajaran beralih di dalam kelas, siswa membuat gambar bedeng sesuai ukuran yang didapat di buku. Guru memastikan siswa dapat menguasai cara pengukuran yang benar dan penghitungannya. Setelah itu, tahapan masuk ke abstrak bagi siswa untuk menghitung keliling bedeng yang berbentuk segi panjang.
Siswa kelas I SD juga diajak untuk menghitung langsung jumlah daun kangkung pada tanaman. Lalu, siswa membuat gambar daun sesuai jumlah yang dihitung. Setelah itu siswa menulis simbol angka dan nama bilangan.
”Banyak kemajuan untuk memperkuat kemampuan literasi dan numerasi siswa kelas I SD setelah saya mendapatkan pendampingan memahami tahapan proses belajar untuk siswa. Hasilnya, siswa yang tidak lancar membaca terus berkurang. Ada empat siswa yang masih di tahapan mengenal huruf karena jarang masuk sekolah. Namun, saya sudah merasa menemukan metode yang baik untuk membantu siswa menikmati proses pembelajaran sehingga mereka pun semakin rajin ke sekolah,” kata Sesilia Kusriati, guru kelas I.
General Manager Kelas Lentera Kuark Saktiana Dwi Hastuti memaparkan dukungan serta penguatan pada guru, siswa, dan ekosistem sekolah diberikan untuk mengembangkan kualitas pembelajaran literasi dan numerasi. Hal ini karena kemampuan membaca, mengeja, menulis, dan memahami siswa masih tergolong rendah dan tidak sesuai dengan usianya. Kemampuan mengajar para guru masih memerlukan berbagai upaya peningkatan kapasitas.
Fokus pun dilakukan untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan guru dalam mengajarkan serta menumbuhkan kecakapan literasi dan numerasi dasar siswa. Pelatihan dan pendampingan diberikan untuk penguatan konsep dasar literasi dan numerasi, pengembangan perangkat ajar yang kontekstual, serta tahap simulasi dan penguatan strategi serta penilaian pembelajaran. Ada pula studi praktik literasi, numerasi, dan inkuiri; serta berbagi hasil studi praktik baik literasi, numerasi, maupun inkuiri di forum Kelompok Kerja Guru di Kecamatan Kota Tambolaka.
Berdasarkan data di Rapor Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), di jenjang SD kemampuan literasi dan numerasi siswa masih di bawah 50 persen yang memenuhi kompetensi minimum. Padahal, literasi dan numerasi ini penting untuk membangun kompetensi belajar sepanjang hayat.
Belum kuatnya kecakapan literasi dan numerasi di jenjang SD membuat banyak siswa pada jenjang sekolah menengah atas atau sederajat di NTT yang tidak lancar membaca teks. Ketua Komisi X DPRD Provinsi NTT Yunus Takandewa mengatakan, kondisi tersebut menunjukkan rendahnya kualitas pendidikan di NTT.
Ia mendorong perlunya evaluasi menyeluruh atas penyelenggaraan pembelajaran di sekolah. ”Selain guru di sekolah, orangtua di rumah juga perlu mengevaluasi diri. Juga pemerintah seperti apa regulasi yang mendukungnya,” kata Yunus.
Sebelumnya, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Linus Lusi mengakui masih banyak siswa SMA yang belum lancar membaca. Selain pembelajaran di sekolah, pemerintah juga mendorong gerakan literasi ke sejumlah perkampungan untuk menghidupkan minat baca.
Nisaaul Muthiah, peneliti The Indonesian Institute dalam laporan Melihat Perkembangan Capaian Programme for International Student Assesment (PISA) Indonesia dan Perbedaan Kebijakan Pendidikan Antara Indonesia dengan Beberapa Negara di Asia, mengatakan, kemajuan kualitas pendidikan siswa Indonesia stagnan, terutama di literasi dan numerasi. Belajar dari negara lain, yang perlu dilakukan antara lain peningkatan kualitas mengajar guru serta guru dan satuan pendidikan perlu memperkuat pendampingan pada siswa untuk meningkatkan kemampuan membaca. (FRN)