Saatnya Wujudkan Penguatan dan Perlindungan Perempuan Pekerja
Presidensi Indonesia dalam G20 membawa harapan besar bagi perempuan di Tanah Air. Harapannya forum-forum pembahasan G20 akan menyuarakan aspirasi perempuan di berbagai bidang, termasuk peran perempuan di bidang ekonomi.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
Krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 selama dua tahun lebih semakin meneguhkan peran perempuan dalam upaya pemulihan ekonomi nasional. Resiliensi perempuan memunculkan berbagai kreativitas dalam membangkitkan potensi perekonomian. Perempuan hadir menggerakkan usaha mikro, kecil, menengah hingga upaya menembus peluang-peluang ekonomi secara daring agar usahanya bertahan dan semakin kuat.
Kemampuan perempuan Indonesia selama pandemi diangkat Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati dalam Side Event Presidensi G20 bertema ”International Seminar on Digital Transformation for Financial Inclusion of Women, Youth, and MSMEs to Promote Inclusive Growth” yang diselenggarakan secara hybrid, pada Rabu (11/5/2022).
Melihat resiliensi perempuan yang kuat, Menteri PPPA menyerukan kepada semua pihak, termasuk dunia internasional, untuk mendukung potensi perempuan di bidang ekonomi dan usaha mikro, kecil, menengah (UMKM), dalam mencapai pemulihan ekonomi nasional. ”Sebagai negara presiden G20, kami memastikan bahwa perempuan dilibatkan secara aktif dalam pemulihan ekonomi global, baik perencanaan maupun implementasinya,” ujar Menteri PPPA.
Dukungan tersebut sangat penting, sebab dari data terakhir, terdapat sekitar 65,4 juta UMKM di Indonesia dan sekitar setengahnya dimiliki dan dikelola oleh perempuan. “Data ini menunjukkan bahwa sumber daya perempuan memiliki potensi yang luar biasa untuk berpartisipasi sebagai penggerak, tidak hanya dalam pemulihan ekonomi pascapandemi, tetapi juga sebagai pondasi bagi stabilitas ekonomi jangka panjang,” kata Bintang Darmawati.
Usaha berbasis daring atau internet menjadi peluang yang bisa mendorong perempuan mengembangkan usahanya. Hal ini tidak bisa dihindari perempuan, apalagi berada di tengah transisi usaha global ke ekonomi digital.
Kehadiran perempuan dalam dunia usaha daring yang berbasis internet adalah sebuah keniscayaan. Apalagi, menurut Bintang, ada sejumlah kajian dan datamenunjukkan bahwa 54 persen UMKM perempuan menggunakan internet, lebih besar dari laki-laki yang hanya sekitar 39 persen. Perempuan dinilai cenderung lebih proaktif dalam mengambil langkah untuk mengembangkan produk yang ditawarkan dan mengembangkannya secara sektor, lokasi, dan jenis barang.
Kendati demikian, penguatan kapasitas dan pendampingan perempuan dalam mengembangkan usaha berbasis daring, sangat penting.Maka, pelatihan kewirausahaan berperspektif jender adalah salah satu strategi utama Indonesia.
Selain literasi digital, penguatan kesadaran kritis perempuan, pemahaman kesetaraan jender, dan mewujudkan keuangan yang inklusi menjadi penting untuk memastikan akses perempuan terhadap produk finansial dasar.
Pada acara tersebut, Menteri PPPA hadir dalam diskusi yang membahas upaya konkret pemangku kebijakan dan regulator, lembaga internasional dan industri dari sejumlah negara. Hal itu terkait pemanfaatan digitalisasi untuk mengakselerasi inklusi keuangan bagi perempuan, kaum muda, dan UMKM untuk mendorong inklusi ekonomi.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawatyang juga hadir dalam acara tersebut mendorong semua pihak, untuk menaruh perhatian lebih pada kaum perempuan. Alasannya juga karena perempuan memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi.
Upaya meningkatkan akses perempuan terhadap layanan keuangan formal, tidak hanya akan memberikan keamanan pada kehidupan keluarga perempuan tersebut, tetapi juga akan memberdayakan diri mereka sendiri dengan terlibat dalam kegiatan bisnis, seperti UMKM.
Sri Mulyani juga mengingatkan dalam transisi teknologi digital dalam sistem keuangan, pemerintah dan pemangku kebijakan perlu situasi tersebut aman dan bermanfaat dalam bentuk inklusi. Namun, di saat yang sama juga tetap melindungi privasi, khususnya melindungi mereka yang rentan terlibat praktik penyalahgunaan teknologi ini.
Perempuan pekerja informal
Di Yogyakarta, dalam Side Event Employment Working Group G20 bertema ”Menuju Perluasan Kesempatan Kerja dan Pelindungan Tenaga Kerja yang Inklusif” pada Senin (9/5/2022) yang digelar Migrant Care bersama para mitra inklusi, yakni Aisyah, Institut KAPAL Perempuan, Pekka, serta Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB), isu perlindungan perempuan pekerja formal menjadi topik yang menarik.
Pada acara yang dibuka oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi, sejumlah pembicara maupun peserta merekomendasikan agar forum G20 menjadi ajang untuk menyuarakan aspirasi para perempuan pekerja di sektor informal, yang hingga kini berada dalam posisi marginal.
Sebagian besar perempuan seperti pekerja rumah tangga, pekerja rumahan, pekerja migran, bahkan perempuan nelayan dan petani, hingga kini masih jauh dari perlindungan. Bahkan mayoritas tidak tercakup dalam skema jaminan sosial ketenagakerjaan dan perlindungan sosial.
Situasi dan kondisi yang dihadapi perempuan pekerja di sektor informal seharusnya mendapat perhatian khusus dari Pemerintah Indonesia, menyusul posisi Indonesia sebagai tuan rumah G20 pada tahun 2022. Pemberian jaminan sosial ketenagakerjaan dan perlindungan sosial bagi perempuan pekerja sektor informal, baik di dalam maupun luar negeri, hendaknya menjadi bagian dari komitmen pemerintah.Bahkan, pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) disuarakan dalam forum tersebut.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menegaskan, kendati perempuan pekerja di sektor informal merupakan kelompok yang paling rentan terdampak pandemi, sebagian besar dari mereka tidak tercakup dalam skema jaminan sosial ketenagakerjaan dan perlindungan sosial.
Isu perempuan pekerja sektor informal dinilai penting sekali masuk dalam pembahasan agenda ketenagakerjaan di masa presidensi Indonesia G20 tahun 2022. Sebab, Forum Kepemimpinan Indonesia dalam G20, diharapkan akan mendorong adanya akses pada layanan, kesempatan kerja dan mata pencarian untuk kelompok masyarakat yang terpinggirkan, dan memastikan tidak boleh siapa pun tertinggal (no one left behind).
Maka, memperjuangkan aspirasi kepentingan negara miskin dan berkembang, serta kelompok-kelompok masyarakat yang terpinggirkan, seperti perempuan pekerja informal menjadi harapan selama masa Presidensi Indonesia di G20.
Meskipun waktunya hanya singkat (satu tahun), setidaknya ada warisan yang ditinggalkan saat Indonesia menjadi tuan rumah G20, salah satunya dalam upaya perlindungan dan pemberdayaan ekonomi bagi perempuan di Tanah Air.