Kesulitan mengubah atau menambah makna positif pada kata ”kampungan” membuat sebagian orang menabukan penggunaannya. Mengapa kata ”kampungan” selalu berkonotasi negatif di masyarakat?
Oleh
Tendy K Somantri
·3 menit baca
Seorang senior di grup Facebook Pustaka Sunda, Aki Aristono, mengungkapkan rasa kesal tentang penggunaan kata kampungan yang berkonotasi negatif di masyarakat. Aki menulis cukup panjang dalam bahasa Sunda yang pada intinya berkeberatan atas penggunaan kata kampungan. Seolah-olah, kata Aki, semua kebiasaan jelek masyarakat ditimpakan kepada orang kampung.
Mengapa kata kampungan berkonotasi negatif?
Saya cek KBBI. Yups! Kamus resmi keluaran Badan Bahasa itu merekam kata kampungan sebagai adjektiva kiasan yang berkaitan dengan kebiasaan di kampung; terbelakang (belum modern); kolot. Makna kedua lebih menyedihkan lagi: tidak tahu sopan santun; tidak terdidik; kurang ajar.
Lalu, saya mencoba mencari sinonim kampungan melalui mesin pencari dan muncullah memalukan, norak, vulgar, kuno, lama, ortodoks, tradisional, usang, dan udik. Sebenarnya masih ada kata lain yang bersinonim, yaitu ndeso (Jawa) yang juga berkonotasi negatif.
Kesulitan mengubah atau menambah makna positif pada kata kampungan membuat sebagian orang menabukan penggunaannya.
Kata kuno, lama, ortodoks, tradisional, dan udik sebenarnya bisa bermakna netral. Namun, kata-kata itu dianggap negatif saat bersinonim dengan kampungan karena digunakan sebagai ungkapan kekesalan atau pelecehan.
Penelusuran berikutnya membawa saya ke dua grup musik, Slank dan Kelompok Kampungan. Kedua grup tersebut mengangkat kata kampungan, tetapi tetap pada konotasi negatif. Slank menulis lagu ”Kampungan” dengan lirik pada salah satu baitnya sebagai berikut: Maafkan saja kalau tak sopan/Maklum kami memang kampungan.
Sementara itu, mengenai Kelompok Kampungan, penjelasan lebih jauh tentang kelompok itu di Wikipedia terasa menohok: istilah kampungan lahir dari orang-orang kota yang mengartikan kampungan sebagai ungkapan dari ketidaksiapan, naif, bodoh, atau kurang ajar.
Separah itukah gambaran karakter orang kampung? Benarkah orang-orang kampung itu naif, bodoh, kurang ajar, atau tak berpendidikan? Bukankah banyak pejabat, akademisi, atau kaum profesional yang berasal dari kampung? Apakah setelah mencapai keberhasilan, mereka bukan lagi orang kampung? Apakah tidak boleh sebutan kampungan disematkan pada orang yang modern, pintar, atau sopan?
Pada pelbagai referensi, masyarakat desa atau orang-orang kampung disebutkan memiliki karakter yang ramah, akrab, kekeluargaan, taat beragama, taat pada tradisi, dan lain-lain. Kalaupun ada yang dianggap berkonotasi negatif, hanya karakter kuno, kolot, atau konservatif sebagai akibat dari kesetiaan mereka terhadap agama atau tradisi.
Pertanyaannya, kini, mungkinkah kata kampungan memiliki makna positif seperti pada ekspresi, ”Paman itu kampungan, makanya ramah dan taat beragama.” Mungkin, tetapi sulit terwujud karena konotasi negatif kata kampungan sudah begitu melekat pada masyarakat. Biasanya kalimat yang digunakan untuk ekspresi itu adalah, ”Paman berasal dari kampung, makanya ramah dan taat beragama.”
Kesulitan mengubah atau menambah makna positif pada kata kampungan membuat sebagian orang menabukan penggunaannya. Itu terjadi pada Aki Aristono yang mengimbau anggota grup Pustaka Sunda tidak menggunakan kata kampungan. ”Lebih baik kehilangan satu kata daripada menyakiti hati orang-orang kampung,” katanya.