Metafora ”tongkat kayu dan batu jadi tanaman” dalam lagu ”Kolam Susu” ciptaan Koes Plus sungguh merupakan pernyataan yang irasional. Lalu apa hubungannya dengan program ”food estate”-nya pemerintah?
Oleh
Nizar Machyuzaar
·3 menit baca
Masih ingatkah Anda dengan lagu berjudul ”Kolam Susu”? Lagu ini dirilis Koes Plus tahun 1973. Lagu yang hit pada zamannya ini ditayangkan beberapa stasiun radio dan TVRI kala itu.
Bagaimana kita dapat membentuk imaji tentang kolam susu pada larik bukan lautan hanya kolam susu? Lalu, larik kail dan jala cukup menghidupimu seolah menegaskan bahwa sumber daya alam Indonesia ini begitu melimpah—terberi dari alam sebagai anugerah Tuhan.
Hal tersebut ditegaskan pada larik berikutnya, orang bilang tanah kita tanah surga. Hanya saja kita menjadi bingung untuk memaknai larik tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Metafora tongkat kayu dan batu jadi tanaman sungguh merupakan pernyataan yang irasional.
Syahdan, pada 2016 sebuah tribute digelar. Acara diadakan untuk mengenang perjalanan Koes Plus. Dengan bersusah payah menghadirkan masa lalu, yang empunya hajat, satu yang tersisa, Yon Koeswoyo, membuka tabir metafora: tongkat kayu dimaksud batang pohon dan batu dimaksud singkong.
Namun, sebagai generasi sekarang kita pun memiliki hak yang sama untuk menafsir ulang lagu tersebut. Meski telah berusia sekira 49 tahun lalu, siapa, kapan, dan di mana pun kita dapat memaknai ulang isinya, baik sesuai penulis maupun terbarukan. Terkhusus, imaji kolam susu yang menyertakan metafora tongkat kayu dan batu.
Bagi saya yang terlintasi zaman hingga saat ini, imaji kolam susu mengikat tematik lagu dalam subyektivitas saya sebagai manusia Indonesia kini. Sebuah ungkapan yang melampaui makna subyektif pembuat lagunya. Sebuah imaji futuristik bahwa tongkat kayu dan batu jadi tanaman menegasikan kekhawatiran atas krisis pangan.
Metafora tongkat kayu dan batu dapat dianggap sebagai gambaran hiperbolis untuk menyadarkan kita bahwa orientasi pembangunan Indonesia berwawasan agraris. Sementara itu, metafora kail dan jala menyadarkan kita bahwa orientasi pembangunan Indonesia pun berwawasan maritim. Perekayasaan di bidang pertanian, perkebunan, dan peternakan serta di bidang kemaritiman terdukung dengan pemanfaatan sains dan teknologi.
Ada kesejajaran yang kukuh diteguhkan dalam pikiran saya bahwa kolam susu (baca: Tanah Air Indonesia) memang sejajar dengan ungkapan gemah ripah loh jinawi atau zamrud khatulistiwa. Sebuah konsekuensi paralogis bahwa imaji kolam susu sebagai sumber air (baca: kehidupan) sejak zaman baheula diperebutkan bangsa lain.
Dengan demikian, metafora tongkat kayu, batu, kail, dan jala dapat dimaknai dalam konteks membangun sumber daya alam dan sumber daya manusia Indonesia. Bedanya, dalam lagu tersebut, kekayaan alam yang digambarkan terberi sebagai anugerah Tuhan sudah berubah, bahkan mengalami kerusakan, sebab pembangunan yang dilaksanakan cenderung abai terhadap kelestarian alam.
Karena itu, bukan sebuah ironi bahwa krisis ketahanan pangan terjadi di negeri kolam susu? Saya pun teringat istilah food estate. Program Strategis Nasional (PSN) yang digagas sejak tahun 2019 ini bertujuan menciptakan ketahanan pangan nasional. Yang menarik, selain pemakaian nama PSN yang berdiksi asing, batasan istilah food estate juga belum dibakukan oleh lembaga pemarwah bahasa Indonesia.
Apa lacur. Meski lagu ini diaransemen dengan notasi riang dan ringan, disampaikan dengan nada tidak menggurui, disusun dengan kesejajaran rima dan ritme yang enak didengar dan mudah diingat, dan didengarkan dengan manggut-manggut penuh keceriaan, sebuah keniscayaan drama satire dirasa. Sudahkah imaji kolam susu ini benar-benar menjadi milik kita sebagai manusia Indonesia?
Nizar Machyuzaar, Mahasiswa Magister Ilmu Budaya FIB Unpad