Jangan Ada Pasal di RUU TPKS yang Diskriminasi Penyandang Disabilitas
Penyandang disabilitas merupakan kelompok rentan yang perlu perhatian dalam RUU TPKS. Pengaturan pasal-pasal terkait penyandang disabilitas diharapkanmenjadi perhatian DPR dan pemerintah saat membahas RUU TPKS.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Menjelang rapat pleno pengambilan keputusan tingkat I atas hasil pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Rabu (5/4/2022) siang, Koalisi Nasional Kelompok Kerja Implementasi Undang-Undang Penyandang Disabilitas meminta Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah menunda agenda sidang tersebut. Alasannya, masih ada pasal terkait penyandang disabilitas yang belum terkomodasi dalam rancangan undang-undang tersebut.
”Kami minta untuk mendengarkan dulu penjelasan dari koalisi organisasi penyandang disabilitas sebagai representasi kelompok penyandang disabilitas, untuk kemudian mencari solusi rumusan pasal yang tepat dalam mengakomodasi peran pelindungan negara terhadap saksi/korban penyandang disabilitas,” ujar Maulani Rotinsulu, Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI).
Maulani bersama Yeni Rosa Damayanti, Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS); Aria Indrawati, Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni); dan Fajri Nursyamsi, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK); mengatakan, dari draf RUU TPKS yang dibahas DPR dan pemerintah, masih ada ketentuan yang menimbulkan masalah, khususnya terkait dengan penilaian atas kekuatan pembuktian dari keterangan saksi/korban penyandang disabilitas, yang tercantum dalam Pasal 25 Ayat (4), (5), dan (6). Koalisi Nasional Kelompok Kerja (Pokja) Implementasi Undang-Undang Penyandang Disabilitas meminta DPR dan pemerintah membuka kembali pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) terkait pasal tersebut.
Pasal 25 Ayat (4) mengatur, ”Penilaian atas kekuatan pembuktian dari keterangan saksi dan/atau korban penyandang disabilitas dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana setelah mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nurani dan kesesuaian dengan alat bukti lainnya dengan memperhatikan kebutuhan khusus penyandang disabilitas”.
”Pasal ini tidak mencerminkan bentuk pelindungan, tapi justru menjatuhkan nilai keterangan dari saksi/korban penyandang disabilitas,” ujar Fajri.
Pencantuman kalimat, ”dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana setelah mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nurani dan kesesuaian dengan alat bukti...” dalam Pasal 25 Ayat (4) dinilai berlebihan karena sebenarnya tidak perlu dituliskan pun hakim wajib melakukannya terhadap keterangan dari saksi/korban mana pun, baik disabilitas maupun nondisabilitas.
Dengan masih adanya pasal yang diskriminatif terhadap saksi/korban penyandang disabilitas dalam RUU TPKS, sudah seharusnya pembahasan RUU ini belum masuk dalam tahap pengambilan keputusan dalam rapat kerja Baleg DPR.
”Pencantumannya dalam pasal tersebut justru menunjukkan pembentuk RUU TPKS memandang rendah nilai keterangan dari saksi/korban penyandang disabilitas dan hal itu merupakan bentuk dari tindakan diskriminasi, “ tambah Fajri.
Pemeriksaan kesehatan jiwa
Selain itu, Pasal 25 Ayat (5) mengatur bahwa, ”Dalam hal saksi dan/atau korban merupakan penyandang disabilitas mental dan/atau intelektual, hakim wajib mempertimbangkan hasil pemeriksaan kesehatan jiwa atas kecakapan mental dan/atau intelektual saksi dan/atau korban untuk menjalani proses peradilan pidana dalam menilai kekuatan pembuktian dari keterangan saksi dan/atau korban tersebut”.
Menurut Koalisi Nasional Kelompok Kerja (Pokja) Implementasi UUPenyandang Disabilitas, pasal tersebut menunjukkan pembentuk RUU TPKS keliru memahami dan menempatkan hasil pemeriksaan kesehatan jiwa sebagai bentuk dari penilaian personal. Padahal, seharusnya hasil pemeriksaan tersebut dijadikan oleh hakim sebagai dasar menyediakan aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi saksi/korban penyandang disabilitas, baik itu ragam disabilitas mental, intelektual, fisik, maupun sensorik.
Sebab, tujuan penyediaan aksesibilitas dan akomodasi yang layak adalah untuk mendukung penyandang disabilitas untuk menghilangkan hambatan yang dihadapinya dalam memberikan keterangan sebenar-benarnya dengan mandiri. ”Dengan begitu, tidak akan ada nilai kekuatan pembuktian dari keterangan saksi/korban penyandang disabilitas yang dilemahkan atau dihilangkan karena hasil suatu pemeriksaan kesehatan jiwa,” kata Yeni Rosa.
Selain pada Ayat (4) dan (5), DPR dan pemerintah juga dinilai keliru dalam memahami fungsi dari penilaian personal bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum, seperti yang diatur dalam Pasal 25 Ayat (6) RUU TPKS. Pasal 25 Ayat (6) mengatur bahwa, ”Keterangan saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud pada Ayat (4) dan Ayat (5) wajib didukung dengan penilaian personal sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai akomodasi yang layak untuk penyandang disabilitas dalam proses peradilan”.
”Penilaian personal seharusnya dimaknai sebagai dasar penyediaan aksesibilitas dan akomodasi yang layak, bukan alat untuk mengukur nilai keterangan saksi/korban,” tambah Fajri.
Dukung penyandang disabilitas
Koalisi Nasional Pokja Implementasi UUPenyandang Disabilitas, menyatakan RUU TPKS ini seharusnya mampu mendukung penyandang disabilitas untuk memberikan keterangan dalam kasus kekerasan seksual yang menimpanya, apa pun kondisinya. Aparat penegak hukum, termasuk kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, seharusnya menjadi pihak yang mampu mendukung upaya untuk menghilangkan segala hambatan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas dalam memberikan keterangan sebenar-benarnya dengan mandiri.
”Dengan masih adanya pasal yang diskriminatif terhadap saksi/korban penyandang disabilitas dalam RUU TPKS, sudah seharusnya pembahasan RUU ini belum masuk dalam tahap pengambilan keputusan dalam rapat kerja Baleg DPR,” ujar Maulani.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Panitia Kerja RUU TPKS Willy Aditya menegaskan, aspirasi koalisi disabilitas sudah diakomodasi. Hal yang sama juga disampaikan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Eddy OS Hiariej Sudah beres,” kata Eddy.