Restitusi Wajib Dibayarkan Pelaku kepada Korban Kekerasan Seksual
Restitusi atau ganti rugi menjadi perhatian untuk diatur dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Ganti rugi merupakan hak yang mesti diberikan kepada korban.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat dan tim pemerintah nonstop membahas Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sejak awal pekan, Senin (28/4/2022). Satu per satu daftar inventarisasi masalah RUU ini dibahas hingga Kamis (31/4/2022).
Panitia Kerja RUU TPKS Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang dipimpin Willy Aditya, bersama tim pemerintah yang diwakili Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej, menyepakati sejumlah substansi dan substansi baru dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau RUU TPKS.
Dalam dua hari terakhir, pembahasan beberapa substansi cukup alot. Salah satunya, soal pembayaran ganti rugi atau restitusi kepada korban oleh pelaku TPKS. Pada RUU TPKS diusulkan diatur setiap pelaku tindak pidana kekerasan seksual wajib membayar restitusi pada korban. Namun, restitusi bukan sebagai pidana tambahan.
Karena bersifat wajib, hakim yang mengadili perkara kekerasan seksual wajib menetapkan besarnya restitusi terhadap tindak pidana kekerasan seksual. Konsep ini lebih maju daripada konsep sebelumnya di RUU diajukan sebagai pidana tambahan.
”Yang namanya pidana tambahan, (itu) suka-suka hakim. Mau menjatuhkan boleh. Tidak menjatuhkan boleh. Padahal, RUU ini tujuan utama adalah melindungi korban sehingga itu harus diwajibkan. Karena itu muncul Pasal 18, hakim pasti menjatuhkan restitusi dan menentukan jumlahl restitusi. Jadi kita mengubah yang tadinya sifat fakultatif menjadi imperatif dalam usulan pemerintah,” kata Eddy.
Menurut Eddy, orang yang djatuhi hukuman mati dan seumur hidup tidak boleh dijatuhi pidana tambahan, tapi restitusi tetap harus dibayar kepada korban oleh pelaku. Pembayaran restitusi semata-mata bertujuan untuk memenuhi hak korban.
Yang namanya pidana tambahan, (itu) suka-suka hakim. Mau menjatuhkan boleh. Tidak menjatuhkan boleh. Padahal RUU ini tujuan utama adalah melindungi korban sehingga itu harus diwajibkan.
Restitusi sebagaimana dimaksud pada Pasal 23 Ayat (1) RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) berupa ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan; ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis; dan ganti kerugian atas kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat tindak pidana.
Adapun yang dimaksud dengan ”kerugian lain” dalam ketentuan tersebut misalnya kehilangan harta milik; biaya transportasi dasar; biaya pengacara atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum; kehilangan penghasilan yang dijanjikan pelaku; atau kehilangan penghasilan akibat tindak pidana. Penyidik, penuntut umum, dan hakim wajib memberitahukan hak atas restitusi kepada korban dan LPSK.
Dari pembahasan daftar isian masalah, Rabu (30/4/2022), DPR dan pemerintah sepakat bahwa selain pidana penjara, pidana denda, atau pidana lainnya menurut ketentuan undang-undang, hakim wajib menetapkan besarnya restitusi terhadap tindak pidana kekerasan seksual yang diancam dengan pidana penjara 4 tahun atau lebih.
Restitusi dapat dititipkan terlebih dahulu di kepaniteraan pengadilan negeri tempat perkara diperiksa. Penyidik dapat melakukan penyitaan terhadap harta kekayaan pelaku TPKS sebagai jaminan restitusi dengan izin pengadilan negeri setempat.
Pada pembahasan lanjutan DIM RUU TPKS, Kamis (31/4/2022) juga disepakati bahwa restitusi diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak salinan putusan atau penetapan pengadilan diterima. Sebelumnya dalam draf RUU TPKS, pembayaran restitusi paling lambat 14 hari.
Restitusi dapat dititipkan terlebih dahulu di kepaniteraan pengadilan negeri tempat perkara diperiksa. Penyidik dapat melakukan penyitaan terhadap harta kekayaan pelaku TPKS sebagai jaminan restitusi dengan izin pengadilan negeri setempat.
Selain itu, juga disepakati hakim dalam putusan memerintahkan jaksa untuk melelang sita jaminan restitusi sepanjang tidak dilakukan pembayaran restitusi dalam jangka 30 hari setelah putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Penghitungan dilakukan LPSK.
Jika harta kekayaan terpidana yang disita tidak mencukupi biaya restitusi, terpidana dikenai pidana penjara pengganti tidak melebihi ancaman pidana pokoknya. Dalam hal pelaku tidak mampu dan tidak ada pihak ketiga yang membayar restitusi kepada korban, negara memberikan kompensasi sesuai dengan putusan pengadilan.
Sita resitusi
Perdebatan sempat terjadi soal sita restitusi. Beberapa anggota DPR menilai sita restitusi atas harta pelaku harus berhati-hati, sebab bisa saja karena asetnya disita lalu jika pelaku seorang suami yang memiliki istri dan anak, hal itu kan menimbulkan masalah baru.
DPR ataupun pemerintah memberikan catatan penyitaan aset pelaku dilakukan dengan memperhatikan hak pihak ketiga yang beritikad baik, hak dari suami, istri, dan/atau anak. Pembahasan soal restitusi menjadi topik menarik, apalagi ada usulan agar diakomodasi soal sistem dana bantuan korban atau victim trust fund.
Restitusi hanyalah salah satu bagian penting yang diatur dalam RUU TPKS. Dalam pembahasan DIM RUU TPKS ada banyak substansi dan substansi baru ditetapkan DPR dan tim pemerintah. Pembahasan DIM diperkirakan berlanjut hingga akhir pekan, atau bisa jadi sampai pekan depan.