Penyimpangan bahasa dapat diterima pengguna bahasa karena berbagai faktor, seperti terjadi pada predator seks. Idiom yang identik dengan binatang buas itu disematkan pada manusia yang perilakunya seperti binatang.
Oleh
Nur Hadi
·3 menit baca
Belakangan, idiom predator seks ramai diperbincangkan. Ada nuansa hiperbolis dalam idiom tersebut. Nuansa berlebih-lebihan itulah yang tampaknya memengaruhi pemakaian kata predator ketimbang, misalnya, penyimpangan, kelainan, atau malah paedofilia, lantaran seperti yang kita tahu bahwa kata tersebut identik dengan binatang buas bertipe pemangsa selain istilah karnivor.
Dapat kita lihat ada penyimpangan dalam idiom tersebut. Namun, nuansa sarkasme menjadikannya bisa dimaklumi. Pemakaian kata yang lazimnya disematkan pada binatang seharusnya juga tersemat pada binatang, tetapi dalam dinamika pemakaiannya kemudian berkembang sedemikian rupa.
Kata itu pun disematkan pula pada makhluk yang kelakuannya seperti binatang. Kitab suci memperkuat argumen pemakaian idiom ini: bahwa manusia yang tak memakai akalnya menjadi turun derajat lebih buruk daripada binatang.
Penyimpangan semacam itu banyak dilakukan bukan saja lantaran keterbatasan cakupan makna daftar inventaris kamus kita. Cobalah cek makna kata predator dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang hanya menerakan definisi binatang. Bagaimana jika dalam kenyataannya, ada pula makhluk pemangsa sesama yang justru lebih buas ketimbang hewan?
Memerkosa belasan santriwati yang seharusnya mengaji di bawah bimbingannya, dapatkah kita menerimanya sebagai kelakuan manusia berakal? Ada upaya untuk memperlihatkan makna lain dalam pemakaian predator seks. Seolah ada pengakuan diam-diam bahwa manusia hanyalah hewan berakal belaka.
Deviasi atau penyimpangan bahasa adalah penggunaan kata, idiom, frasa, atau bahkan kalimat yang menyimpang dari kaidah kebahasaan. Penyimpangan bahasa tersebut bisa dikelompokkan dalam tiga jenis: penyimpangan yang bermula dari struktur bahasanya, penyimpangan yang muncul dari maknanya, dan penyimpangan yang bermula dari struktur kemudian menyimpang dalam maknanya pula.
Namun, penyimpangan itu kemudian diterima pengguna bahasa lantaran berbagai faktor. Sebagai contoh, ya, predator seks, dengan motif hiperbolis dan sarkastis. Motif serupa dapat ditemui dalam idiom tikus berdasi, buaya darat, yang makna konotatifnya menunjuk ke subyek manusia yang berkelakuan negatif. Penyimbolan tersebut takkan pernah bisa didapati maknanya secara denotatif. Secara struktur, ia menyimpang.
Kita juga akan menemukan penyimpangan dalam pembentukan idiom virus cinta. Dapatkah para patolog menemukan dari kelompok mana jenis virus tersebut? Ditengarai, pembentukan idiom tersebut didasarkan pada sifat-sifat cinta yang tatkala menjangkiti manusia, mirip sekali dengan virus.
Kita kemudian menerima dan menggunakannya untuk mengungkapkan perihal penyebab muda-mudi atau bahkan mereka yang mengalami puber kedua melakukan hal-hal aneh dan memperlihatkan kelakuan khas saat terkena virus tersebut. Kemiripan sifat menjadi motif pembentuk idiom, betapapun maknanya melenceng jauh.
Contoh menarik lagi adalah dalam frasa pemikirannya sangat dalam, cintanya sangat dalam, perkataannya sangat dalam. Kita tidak bisa menaksir seberapa dalam kedalaman yang dimaksud. Pemakaian kata dalam justru digunakan dengan motif kesukaran dalam menentukan maksud, atau penjelasannya yang sukar dipahami, serta bisa juga nada kekaguman. Seolah kata dalam dapat dan memang layak menampungnya.
Penyimpangan bahasa juga dapat kita endus dalam penamaan idiom orang pintar. Idiom tersebut sering disematkan pada orang yang justru memiliki kemampuan yang berkebalikan dengan makna kata yang disandangnya; penipuan, pelecehan seksual, dan pemalsuan. Disandangi kata pintar lantaran pandai mengelabui korbannya.
Kata pintar jelas mengalami penyimpangan makna. Di kampung-kampung, mereka yang memiliki ”kemampuan supranatural, kemampuan membaca primbon, atau kewaskitaan tertentu” juga sering dipanggil dengan sebutan ini. Pemaknaan pintar meluas dan cenderung lepas dari makna leksikalnya.
Dalam karya sastra, juga perfilman, sering kita jumpai kalimat yang kadang sukar dinalar lantaran merupakan bentuk penyimbolan. Bahasa sastra yang memang cenderung dinamis dan mendapatkan tuntutan untuk melahirkan daya ungkap orisinal dan baru seolah menjadi pelegal. Bahkan, lahirnya idiom-idiom yang segar dan unik tersebut—meski menyimpang—sebagian besar bermula dari ranah ini.