Argumen bahwa lazimnya orang melafalkan ”cluster” dengan /klʌstɚ/ sehingga diindonesiakan menjadi ”klaster” tentu saja mengingkari ketentuan penyerapan.
Oleh
Ibnu Wahyudi
·3 menit baca
Penulisan kata klaster dalam bahasa Indonesia agaknya berbasis pada pengucapan yang menurut The Britannica Dictionary adalah /klʌstɚ/. Padahal, ketentuan pengindonesian kata asing sebagaimana tertera dalam buku Pengindonesiaan Kata dan Ungkapan Asing (Pusat Bahasa, edisi kedua, 2005: 10) jelas menyatakan bahwa penyerapan dilakukan melalui penyesuaian ejaan dengan mengutamakan bentuk tulisnya dan dilafalkan secara Indonesia. Dicontohkan dalam buku ini kata bungalow yang diindonesiakan menjadi bungalo meskipun ucapan aslinya adalah /bʌŋgə loʊ/.
Jika bungalow disarankan menjadi bungalo kendati ada unsur pengucapan asli dengan /bʌ/, mengapa cluster dicantumkan sebagai klaster dalam KBBI V dan bukan kluster?
Argumen bahwa lazimnya orang melafalkan cluster dengan /klʌstɚ/ sehingga diindonesiakan menjadi klaster tentu saja mengingkari ketentuan seperti telah disebutkan. Buktinya, kata club yang dituliskan sebagai klub lambat laun menjadi biasa diucapkan sebagai /klub/ dan bukan /klʌb/.
Dalam praksis kebahasaan tampak tidak mudah mengindonesiakan setiap kata asing yang diserap oleh bahasa Indonesia. Memang banyak pula kata asing harus menjadi bagian keseharian orang Indonesia dan tidak menimbulkan masalah dalam mengindonesiakan ataupun mengucapkannya secara Indonesia.
Kata pandemic /pænˈdɛmɪk/, misalnya, mudah diindonesiakan sebagai pandemik dengan pengucapan yang tidak bermasalah. Demikian pula dengan kata vaccine /vækˈsiːn/ mulus diterima sebagai vaksin.
Akan tetapi, dalam kluster kata yang berkenaan dengan virus ini ada kata populer yang sesungguhnya bermasalah dari segi pengindonesian, yaitu kata karantina. Kata karantina diserap dari quarantine yang setara dengan kata quality atau quantity. Kedua kata ini sudah diindonesiakan menjadi kualitas dan kuantitas, tetapi mengapa karantina tidak dituliskan sebagai kuarantina dengan pengucapan sebagaimana yang tertulis?
Harus diatur
Masalah pengindonesiaan kata asing tidak akan pernah berhenti. Bahasa lain pun mengalami hal serupa. Apabila bahasa Indonesia selalu mampu memadankan kata atau ungkapan asing dengan jalan penerjemahan, persoalannya jauh lebih sederhana dibandingkan jika harus melakukan penyerapan.
Pada penerjemahan, hal yang mungkin akan muncul adalah pada tepat-tidaknya kata yang ditawarkan. Misalnya, apakah booster lebih tepat dipadankan sebagai penguat, pendorong, atau penggerak. Halnya berbeda dengan jalan penyerapan yang harus mempertimbangkan ketentuan yang telah dicanangkan.
Oleh karena pemadanan kata telah diatur melalui cara penerjemahan dan penyerapan seperti telah dikemukakan pada bagian awal tulisan ini, sudah pada tempatnya jika ketentuan penyerapan tersebut dijadikan landasan. Cara pengucapan atau pelafalan yang bukan dasar penyerapan kata sedapat mungkin harus dihindarkan.
Pencantuman kata klaster dalam KBBI V, contohnya, harus diganti dengan kluster dengan pengucapan sebagai /klustêr/. Bahwa ada sejumlah orang yang merasa canggung dengan pengucapan /klustêr/ karena terbiasa dengan /klʌster/, tidak selayaknya dipertimbangkan.
Perhatian dalam hal ini, yang pertama seharusnya adalah penulisan dan bukan cara pengucapan. Seperti diketahui, pengucapan suatu kata dapat bermacam-macam wujudnya karena sejumlah penyebab dapat memengaruhi. Pengetahuan, kedekatan dengan suatu bahasa asing, atau juga sikap sok tau dapat memengaruhi suatu pengucapan atas kata.
Dalam kasus penulisan kata dari bahasa Arab, misalnya, dapat disaksikan bagaimana sejumlah orang seperti mempunyai otoritas untuk mengatur penulisan kata dalam bahasa Indonesia yang dikaitkan dengan ”pengetahuan” akan bahasa Arab tersebut.
Kata amin adalah contoh paling nyata, sudah tercantum lama dalam kamus, beberapa waktu belakangan ini ”diancam” oleh penulisan kata aamiin. Apakah kita harus mengaminkan hal ini?
Ibnu Wahyudi, Dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI