Membangun Solidaritas Global dari Ragam Kearifan Lokal Indonesia
Visi pendidikan 2050 dari UNESCO menggarisbawahi kebutuhan akan solidaritas global. Dunia pendidikan Indonesia dapat memperkuat solidaritas dari kearifan lokal, di antaranya dengan belajar dari guru di Tanah Maluku.
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) mengeluarkan dokumen visi pendidikan 2050Reimagining Our Futures Together. Visi pendidikan 2050 menggarisbawahi kebutuhan akan solidaritas global untuk menciptakan masa depan dunia yang lebih baik.
Pendidikan masa depan perlu didesain untuk bertransformasi mengatasi tantangan umat manusia yang semakin kompleks. Sebab, pendidikan dibutuhkan untuk menyiapkan masa depan yang definisinya bisa disesuaikan dengan budaya dan latar belakang masing-masing negara guna memperkuat semangat solidaritas global.
Di webinar bertema ”Visi Pendidikan UNESCO dan Peran Madrasah dalam Mengokohkan Solidaritas Kemanusiaan”, Kamis (10/3/2022), yang diselenggarakan oleh Maarif Institute dan Institut Leimena, Duta Besar/Wakil Delegasi Tetap Republik Indonesia untuk UNESCO Ismunandar mengatakan, masa depan (futures) berlaku jamak karena setiap masyarakat berhak mendefinisikannya sesuai budaya dan latar belakang masing-masing.
Untuk mewujudkan masa depan di tengah tantangan dunia yang semakin kompleks, seperti pandemi Covid-19, perubahan iklim, perkembangan teknologi digital, dan konflik, disadari pentingnya solidaritas global dalam visi pendidikan dunia tahun 2050.
Guru Maluku sudah sangat bertekad dan memilih peran mereka untuk keindonesiaan, mulai dari Maluku Pusaka menuju Indonesia Pusaka. (Henny Supolo Sitepu)
”Semua ini kuncinya adalah bagaimana solidaritas global. Sudah disadari banyak problem kehidupan manusia yang membutuhkan solusi bersama-sama seluruh penduduk bumi,” kata Ismunandar.
Ketika solidaritas global semakin penting, dunia pendidikan pun menjadi salah satu elemen strategis dan berdampak untuk mentransformasi pendidikan agar mampu menyiapkan generasi muda yang memiliki solidaritas di lingkungan sekitar, bangsa, hingga global. Praktik-praktik pendidikan yang memperkuat empati dan solidaritas itu sebenarnya sudah hadir dalam dunia pendidikan di Tanah Air dengan menggali dari kearifan lokal yang beragam.
Guru bercerita
Pada 19 Januari 2022, ingatan konflik Maluku yang terjadi 23 tahun lalu (1999-2004) dibawa Yayasan Cahaya Guru (YCG) dalam diskusi bertajuk ”Narasi Damai dari Maluku untuk Indonesia”. Diskusi mengangkat cerita para guru Maluku tentang kisah pahit saat itu serta bangkitnya kesadaran para guru untuk membawa pendidikan damai di ruang-ruang kelas/sekolah dengan menggali kearifan lokal dari Tanah Maluku. Semuanya ini dituangkan dalam buku berjudul Guru Bacarita: Narasi Damai dari Maluku untuk Indonesia.
Baca juga : Mengenang 20 Tahun Konflik, Mari Belajar dari Maluku
”Cukup kami saja. Tak perlu tempat lain di Indonesia alami konflik dulu baru mengerti arti manisnya hidup orang basudara.” Demikian sepenggal tulisan di buku itu yang disusun YCG dengan dukungan, antara lain, Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Anak Maluku serta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Maluku.
Sejumlah guru membacakan penggalan narasi dari buku Guru Bacarita yang tidak mudah dikisahkan oleh para guru penyintas konflik Maluku yang didampingi YGC pada 2017-2018. Cerita yang didokumentasikan YCG ini akan menjadi sumber belajar dan teman belajar bagi semua guru dan umumnya dunia pendidikan Indonesia untuk membawa pendidikan damai dengan menggali keragaman kearifan lokal yang dimiliki setiap daerah dan bangsa Indonesia.
”Dengar tiang listrik teng-teng-teng… itu sudah harus lari. Kami tidur itu pakai sepatu, pakai baju lapis-lapis, dan sudah siap tas isi ijazah semua supaya setiap (dengar) teng-teng-teng kami lari. Tidak tahu itu musuh. Tidak tahu itu siapa. Tiap kali bunyi, kami lari,” cerita guru.
Ada juga guru penyintas yang mengisahkan, ”Kalau malam-malam ada yang datang dan beri tahu lokasi akan diserang, kami lari juga. Kami lari terus-menerus. Kadang kami tahan lapar (dalam pengungsian).”
Di masa konflik sosial agama itu, persaudaraan umat berbeda agama yang selama ini mengakar kuat porak-poranda. Hubungan keluarga, tetangga, rekan kerja, hingga pertemanan terlepas. Ada ketakutan untuk bersua dan bersama hanya karena beda agama.
Kearifan budaya pela gandong, yang merupakan ikatan persaudaraan sebagai kearifan lokal di Tanah Maluku, terkoyak. Prinsip katong samua basudara terasa hilang.
Kepala SDN 245 Maluku Tengah Hursepuny Hermina tak kuasa menahan air mata dan terisak saat mengenang konflik Maluku. Meskipun pecah konflik komunitas Muslim-Kristen/Katolik, justru tetangga yang sudah seperti saudara yang beragama Islam melindungi orangtuanya yang beragama Kristen.
Baca juga : Kastanisasi Sekolah Dikhawatirkan Muncul Kembali
”Apa yang sudah kami semua pupuk sebelum konflik yang sudah saling menghormati seperti saudara tetap kami jaga,” kata Hermina.
Di Negeri Sawai, konflik sosial dihadang semua elemen warga dengan kearifan lokal hapuama yang berarti merangkul. Semua warga saling menjaga supaya tidak terhasut sehingga harmoni tetap terjaga. Di Sawai, Maset Musiin, guru SMPN 3 Kabupaten Seram Utara, yang merintis sekolah sejak 1994 bagi semua anak dari latar belakang berbeda, menjaga ratusan siswa Islam dan Kristen/Katolik supaya tetap merasa aman dan belajar.
Merajut kembali
Sicilia Leiwakabessy dari YCG mengatakan, para guru yang memercayakan cerita pahit dari solidaritas yang terkoyak di Maluku karena konflik sosial agama awalnya tidak mudah mengutarakan apa yang dilihat, didengar, dirasa, dan diketahui saat konflik 1999-2004. Betapa masa itu dideskripsikan dengan hidup yang menderita, sengsara, dan susah. Namun, guru tidak mau larut berlama-lama dan mulai menggali kearifan lokal dan nilai luhur untuk kembali merajut persaudaraan.
Ada kearifan lokal yang menjadi modalitas dalam mengelola keragaman di Maluku. Pela gandong menjadi pela pendidikan. Hidup secara bersaudara dibangun guru di kelas/sekolah, sebutan acang (Islam) dan obeth (Kristen) jadi kakak-adik.
Ada konsep Pendidikan Orang Basodara sebagai adaptasi pendidikan damai yang diperkenalkan sekitar tahun 2004 setelah konflik Maluku. Hal itu ditujukan untuk menanamkan nilai-nilai persaudaraan melalui pendidikan.
Kearifan lokal pela gandong pun dibawa ke dalam dunia pendidikan dengan nama pela pendidikan. Guru SMPN 9 Lateri Kota Ambon, Henny Liklikwatil, mengatakan, di SMPN 9 Lateri, yang sebagian besar siswa beragama Katolik/Kristen, mengikat janji (pela) pendidikan dengan SMPN 4 Salahutu di Kabupaten Maluku Tengah yang sebagian besar beragama Islam. Persaudaraan di antara siswa yang berbeda agama kembali dirajut para guru dengan kegiatan bersama secara rutin.
Ruang perjumpaan bagi para guru yang berbeda agama dan suku pun dibangun dengan dukungan komunitas teman belajar dari YCG dan institusi yang memiliki kepedulian sama di Maluku sejak beberapa tahun lalu hingga saat ini. Para guru diajak untuk berkunjung ke rumah ibadah berbeda dan berdialog dengan pimpinan agama untuk membangun solidaritas dan inspirasi pendidikan damai yang bisa dilakukan melalui pendidikan.
Semenjak 2006, YCG menemukan isu kebinekaan menjadi tantangan tinggi dalam dunia pendidikan. Maluku dengan pengalamannya merupakan sumber belajar yang sangat berharga untuk Indonesia yang bineka.
”Para guru di Maluku membuka diri untuk menjadi teman belajar bersama. Sekarang jadi tugas sederhana para guru dan kita semua untuk menemukan keragaman dalam kearifan lokal, meneruskan cerita dari para guru Maluku ke masyarakat luas. Guru Maluku sudah sangat bertekad dan memilih peran mereka untuk keindonesiaan, mulai dari Maluku Pusaka menuju Indonesia Pusaka,” kata Ketua YCG Henny Supolo Sitepu.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Ambon Eddi Tasoharmoni menyatakan, perbedaan harus dapat diterima dengan dukungan lingkungan yang inklusif, termasuk di sekolah. Nilai kearifan pela gandong di Maluku terbukti menjadi pegangan bagi semua pihak di Maluku untuk bersatu kembali.
Namun, hasil kajian yang dilakukan Dinas Pendidikan Kota Ambon bersama perguruan tinggi di kurun 2012-2021, secara umum anak-anak banyak yang masih belum memahami dan merasa memiliki kearifan lokal daerahnya. Ada rekomendasi agar pengetahuan tradisional di negeri atau desa adat Ambon dihayati dam diperkuat dalam muatan lokal (mulok) di sekolah-sekolah yang tersebar di empat negeri di Ambon.
”Pelatihan untuk penyesuaian kurikulum sudah mulai disiapkan untuk pengampu mulok. Pola hidup harmonis terjaga dan erat untuk penghargaan pada nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi,” ujar Eddi.
Semangat gotong royong
Dalam skala nasional, perhelatan G-20 presidensi Indonesia dengan tema ”Recover Together, Recover Stronger” akan membawa kearifan bangsa Indonesia, gotong royong, untuk menunjukkan solidaritas dan kemitraan jadi kunci untuk pulih bersama dari dampak pandemi Covid-19. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) membawa empat isu utama pendidikan untuk pulih dan bangkit bersama pascapandemi Covid-19.
Sistem pendidikan diharapkan semakin adil, berkualitas, dan inklusif untuk mendukung hidup berkelanjutan bagi masa depan dunia yang lebih baik. Semangat gotong royong yang dimiliki bangsa Indonesia diharapkan menjadi inspirasi dunia untuk bangkit kembali.
Solidaritas dan kemitraan menjadi ajakan bagi dunia untuk memikirkan kembali pendidikan setelah Covid-19 dengan kerja sama global untuk menyelesaikan permasalahan pendidikan global. Kearifan budaya bangsa gotong royong dapat menjadi model untuk kolaborasi banyak pihak.
”Salah satu nilai dasar dari bangsa kita, yakni gotong royong, semakin penting untuk membantu kita dan dunia untuk pulih dan bangkit,” ujar Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim.
Baca juga : Pendidikan Masa Depan Mesti Memperkuat Solidaritas Global