Pendidikan Masa Depan Mesti Memperkuat Solidaritas Global
Solidaritas global akan menyelamatkan manusia dalam hidup bersama menghadapi tantangan dunia yang semakin kompleks. Pendidikan pun dibutuhkan untuk memperkuat solidaritas global generasi muda.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
Institut Leimena
Webinar bertema “Visi Pendidikan UNESCO dan Peran Madrasah dalam Mengokohkan Solidaritas Kemanusiaan” yang diselenggarakan oleh Maarif Institute dan Institut Leimena, didukung oleh Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah, Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhamadiyah, RBC Institute A Malik Fadjar, dan Templeton Religion Trust, Kamis (10/3/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan masa depan perlu didesain untuk dapat mengatasi tantangan umat manusia yang semakin kompleks. Pendidikan dibutuhkan untuk menyiapkan masa depan yang definisinya bisa disesuaikan dengan budaya dan latar belakang setiap negara guna memperkuat semangat solidaritas global.
Di webinar bertema “Visi Pendidikan UNESCO dan Peran Madrasah dalam Mengokohkan Solidaritas Kemanusiaan”, Kamis (10/3/2022) malam, Duta Besar/Wakil Delegasi Tetap Republik Indonesia untuk UNESCO Ismunandar mengatakan, UNESCO menyoroti pentingnya solidaritas global dalam visi pendidikan dunia tahun 2050. Pendidikan disadari harus mampu bertransformasi seiring tantangan umat manusia yang semakin kompleks, sebagaimana ditunjukkan oleh pandemi Covid-19.
Ismunandar memaparkan, UNESCO mengeluarkan dokumen visi pendidikan 2050 Reimagining Our Futures Together yang diluncurkan pada 10 November 2021. Masa depan (futures) berlaku jamak karena setiap masyarakat berhak mendefinisikannya sesuai budaya dan latar belakang masing-masing. Visi pendidikan 2050 menggarisbawahi kebutuhan akan solidaritas global.
Ismunandar mencontohkan perlu upaya kolaboratif untuk dapat menyelamatkan bumi akibat eksploitasi kebutuhan dan gaya hidup manusia. ”Saat ini dibutuhkan 1,6 bumi atau hampir 2 bumi untuk memenuhi jejak karbon manusia. Padahal, kita hidup dalam satu bumi,” ujar Ismunandar.
Masalah lainnya adalah turunnya demokrasi dan bangkitnya supremacism dan chauvinism. Di samping itu, kesenjangan digital menghambat akses pada pendidikan, terutama saat pandemi serta munculnya kecerdasan digital yang diprediksi bisa menghilangkan banyak pekerjaan di dunia.
”Semua ini kuncinya adalah bagaimana solidaritas global. Sudah disadari, banyak problem kehidupan manusia yang membutuhkan solusi bersama-sama untuk seluruh penduduk bumi,” kata Ismunandar.
Ia juga mengatakan, visi pendidikan 2050 mendorong semua pihak menyusun kontrak sosial baru terdiri dari nilai dasar, desain pembelajaran, serta aktivitas dan pelaku. Dokumen visi pendidikan UNESCO terbaru ini merupakan dokumen ketiga setelah Learning to be: the world of education today and tomorrow (1972) dan Learning: the treasure within (1966). Penyusunan dokumen melibatkan sekitar satu juta orang, terutama lewat konsultasi daring dan disusun sebelum pandemi Covid-19.
Semangat inklusif
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menjelaskan, pendidikan di Indonesia telah dimulai sejak sebelum kemerdekaan berupa lembaga pendidikan tradisional berbasis agama. Pondok pesantren muncul sebagai pendidikan berbasis agama Islam di kantong-kantong perjuangan sekaligus menjadi pusat perlawanan terhadap penjajah.
”Indonesia dengan realita kehidupan aneka ragam, termasuk agama, adalah ciri atau karakter bangsa. Di situ, dituntut kesediaan toleransi, saling menghargai, dan tenggang rasa. Maka, muatan berkaitan semangat inklusif yang diprakarsai lembaga pendidikan keagamaan termasuk madrasah menjadi sangat penting,” kata Muhadjir .
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Siswa kelas VI Madrasah Ibtidaiyah Al Hidayah melakukan penelitian sederhana seusai pulang sekolah di Kali Pesanggrahan, Lebak Bulus, Jakarta, Kamis (25/7/2019). Penelitian tersebut merupakan bagian dari mata pelajaran pendidikan lingkungan dan budaya Jakarta.
Guru Besar Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Amin Abdullah mengatakan, dokumen UNESCO tentang visi pendidikan 2050 semakin menegaskan pentingnya empati dan simpati dengan siapa pun yang berbeda untuk membangun kolaborasi. Namun, tidak semua penganut agama siap menghadapi kenyataan sosial baru atau pergeseran mendasar dalam hubungan sosial, kultural, dan keagamaan.
Pimpinan Pondok Modern Muhammadiyah Paciran Lamongan, Jawa Timur M Rifqi Rosyidi mengingatkan, agar upaya madrasah dalam memperbaiki kualitas manusia lewat pemantapan akidah/tauhid tidak melulu dikaitkan dengan gerakan radikalisme dan terorisme. ”Landasan teologi yang kuat dan benar mampu menghadirkan pribadi-pribadi sangat inklusif. Umar bin Khatab dikenal sebagai figur yang tegas dalam masalah akidah, tapi tindakannya sangat inklusif,” ujar Rifqi.
Indonesia dengan realita kehidupan aneka ragam, termasuk agama, adalah ciri atau karakter bangsa. Di situ, dituntut kesediaan toleransi, saling menghargai, dan tenggang rasa.
Direktur Eksekutif Maarif Institute Abd Rohim Ghazali mengingatkan, pendidikan madrasah harus dirancang dengan prinsip profesionalisme, mendalam, saling terhubung, kerja sama, kesetaraan, dan inklusi.
Direktur Eksekutif Institut Leimena Matius Ho menambahkan, salah satu kunci menghadapi tantangan global ke depan seperti digambarkan UNESCO adalah solidaritas kemanusiaan yang kokoh, saling memahami, dan menghormati, serta bekerja sama dengan orang yang berbeda. ”Maka, kesiapan bangsa kita menghadapi tantangan global ikut ditentukan kemampuan pendidikan berbasis keagamaan kita, untuk memperkokoh solidaritas kemanusiaan,” kata Matius.
Madrasah modal penting
Konsultan Filantropi dan Pengembangan Museum Islam Kota New York Amerika Serikat Randa Kuziez berpendapat, madrasah bisa menjadi model penting dalam solidaritas global. Sebagai contoh, sekolah-sekolah Islam di AS memungkinkan anak-anak maju secara akademik dan pengetahuan tradisi keislaman. Keberadaan sekolah-sekolah Islam itu meningkatkan solidaritas manusia yang bersumber dari Al Quran.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Siswa Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah berdiskusi di tempat belajar mereka di Kelurahan Kalibening, Tingkir, Salatiga, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Komunitas tersebut menjadi tempat bagi anak-anak seusia SMP dan SMA untuk belajar tanpa sekat waktu dan diberi kebebasan penuh untuk berpendapat dan berekspresi.
Menurut Kuziez, konsep ummah juga menunjukkan solidaritas antarmanusia dan komunitas global. ”Saya sangat senang dapat menggalang dana untuk membangun museum Islam di jantung kota New York. Ini bisa menjadi peluang orang-orang untuk belajar khazanah sejarah Islam dan bagaimana kita bisa membangun solidaritas manusia,” kata Kuziez.
Senior Research Fellow University of Washington Chris Seiple, berusaha mengembangkan visi pendidikan 2050 UNESCO lewat pendekatan Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang mencakup tiga kompetensi untuk berkolaborasi dalam menghadapi berbagai persoalan dan tantangan.