Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional memberikan ruang bagi sekolah inovatif di subjalur persekolahan mandiri. Entitas persekolahan mandiri dikhawatirkan memunculkan kembali kastanisasi pendidikan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional atau RUU Sisdiknas memberikan ruang bagi sekolah formal untuk berinovasi sepanjang mencapai standar capaian pendidikan yang ditetapkan pemerintah. Untuk itu, RUU Sisdiknas mengatur adanya subjalur pendidikan formal, yakni persekolahan mandiri, selain persekolahan umum/biasa.
Publik menilai masuknya entitas baru persekolahan mandiri dalam RUU Sisdiknas ini akan melahirkan kembali kastanisasi sekolah di Indonesia, seperti program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Padahal, ketentuan tentang pemerintah/pemerintah daerah yang wajib menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan bertaraf internasional di semua jenjang di dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi karena dinilai diskriminatif sehingga bertentangan dengan UUD 1945.
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim, di Jakarta, Senin (14/3/2022), menyayangkan RUU Sisdiknas yang memperkenalkan entitas baru dalam persekolahan bernama ”persekolahan mandiri” yang dikhawatirkan melahirkan kastanisasi sekolah. Apalagi, pengelolaan ”persekolahan” (umum/biasa) dengan ”persekolahan mandiri” berbeda.
Disebutkan, tujuan persekolahan mandiri untuk menghasilkan inovasi penyelenggaraan persekolahan dalam rangka mengembangkan kompetensi dan karakter pelajar. Bahkan, dalam menghasilkan inovasi, persekolahan mandiri menetapkan standar input dan standar proses masing-masing sesuai dengan konteks dan kebutuhan pembelajarannya. Artinya, akan ada sekolah yang diperlakukan istimewa oleh pemerintah, dengan membuka ruang inovasi apalagi dengan standar input berbeda.
Tidak adil
Satriwan menilai, sekolah dengan status ”persekolahan mandiri” memiliki keistimewaan karena mengembangkan standar sendiri yang berbeda dari sekolah umum biasa. ”Ini persis sama dengan model RSBI yang pernah dibuat pemerintah dan kenyataannya sangat diskriminatif. Padahal, kebijakan Kemendikbudristek mengenai zonasi dalam penerimaan peserta didik baru atau PPDB siswa sejak 2017 justru dalam rangka menghapus kastanisasi dan favoritisme sekolah di tengah masyarakat. Keberadaan persekolahan mandiri sangat bertolak belakang dengan semangat keadilan dalam pendidikan,” kata Satriwan yang juga guru di SMA Labschool Rawamangun, Jakarta, ini.
Kepala Bidang Advokasi Guru P2G Iman Zanatul Haeri menambahkan, keberadaan sekolah yang diperlakukan khusus menjadi kasta tertinggi, dengan segala keistimewaannya, jauh-jauh hari sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi, seperti kasus RSBI. Berdasarkan keputusan MK tersebut, keberadaan sekolah semacam ini bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila.
Keberadaan jalur persekolahan mandiri dalam RUU Sisdiknas, lanjut Iman, akan menciptakan kasta-kasta antarsekolah. ”Bayangkan, jika persekolahan mandiri diterapkan dalam sekolah negeri. Hal ini akan menciptakan kesenjangan baru dan menghidupkan kembali pelabelan sekolah ’elite’, ’favorit’, dan ’unggul’,” ujar Iman.
Lebih lanjut, P2G menilai adanya label persekolahan mandiri akan membuat mahalnya biaya pendidikan. Dengan alasan mandiri, otonomi, dan keistimewaan pengelolaan sekolah, tentu kebutuhannya pun bisa berbeda dari sekolah umum, otomatis pembiayaan sekolah akan meningkat. Di sinilah muncul pungutan pendidikan berbiaya mahal kepada orangtua siswa. Jalur persekolahan mandiri dalam RUU Sisdiknas akan persis seperti RSBI.
”Kami khawatir kebijakan pendidikan Mas Nadiem Makarim melalui RUU Sisdiknas ini akan memuluskan kembali lahirnya kastanisasi pendidikan, reinkarnasi RSBI dengan wajah baru. Alih-alih berpihak kepada anak, yang timbul justru praktik buruk yang memperlebar gap anak-anak keluarga kaya dan miskin,” kata Satriwan.
RUU Sisdiknas yang memperkenalkan entitas baru dalam persekolahan bernama ”persekolahan mandiri ” yang dikhawatirkan melahirkan kastanisasi sekolah.
P2G menentang praktik kastanisasi pendidikan yang berujung pada mahalnya biaya pendidikan. Sebab, hal ini bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan yang berkeadilan, nondiskriminatif, dan inklusif.
Praktisi pendidikan Doni Koesoema mengatakan, persekolahan mandiri bisa berlaku di sekolah negeri dan swasta karena ciri-cirinya hanya dikunci di standar capaian. Padahal, standar input dalam naskah akademik salah satunya adalah peserta didik.
”Maka, kalau ada sekolah negeri dan ini persekolahan mandiri, mereka bisa menentukan kriteria input sendiri sehingga akan muncul sekolah elitis. Kalau ini di swasta, maka sekolah ini akan punya branding sekolah inovatif dan bisa berbayar mahal,” ujar Doni.
Menurut Doni, UU harus mengatur norma secara adil. Maka, norma semua sekolah harus memenuhi standar nasional pendidikan (SNP) lebih dahulu. Namun, dalam RUU Sisdiknas ini, SNP tidak dijelaskan sebagai standar kriteria minimal untuk seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga dapat memunculkan ketimpangan yang semakin tinggi.
”Lha, ini kan, mau bypass lalu kriteria penentuannya bagaimana? Pengaturan normanya harus ada dalam UU. Lalu, keberatanku adalah standar input kenapa sekolah ini boleh menentukan standar sendiri untuk seleksi siswa? Kalau swasta, ya, silakan. Tapi kalau negeri, ya, akan bermasalah karena harus membuat porsi kebijakan yang adil. Lalu, kebebasan mendesain kurikulum harus juga ada normanya sehingga sekolah yang berinovasi tidak kebablasan. Maka, standar minimalnya harus ada,” paparnya.
Sekolah yang telah memenuhi SNP, kata Doni, diberi kebebasan mengembangkan standar input dan proses sebaiknya tidak diatur dalam norma UU, tapi dalam peraturan pemerintah saja. Anggapan perlunya entitas persekolahan mandiri karena sekolah inovatif terkungkung pada administrasi dengan borang-borang akreditasinya yang terlalu rigid serta tidak substantif.
Terkait persekolahan mandiri, Doni mengatakan, ketika dalam standar input sekolah mandiri dibebaskan mendesain kurikulum sendiri, maka bisa saja nanti mereka memakai kurikulum asing, bukan kurikulum nasional.
Untuk standar capaian, mereka hanya ikut asesmen pemerintah saja. Hal ini kalau tidak diatur norma dan kriterianya dalam UU akan merugikan kepentingan bangsa. Sebab, isi kurikulumnya sebagian besar kurikulum asing.
”Maka tentang standar nasional pendidikan harus juga diatur normanya. Dalam RUU tidak ada norma SNP. Hanya disebut SNP dibuat oleh pemerintah pusat. Bagaimana norma dan apa isinya standar input, proses dan capaian, tidak ada penjelasan,” ujar Doni.
Secara terpisah, di webinar bertajuk Urgensi Penundaan Revisi UU Sisdiknas yang digelar Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia Said Hamid Hasan mengatakan, adanya persekolahan mandiri dan persekolahan biasa dalam sistem pendidikan nasional bisa menjadi pemecah belah bangsa. ”Konsep ini, atau pasal yang berkenaan dengan itu, harus dihapus atau diganti. Semua anak bangsa harus mendapatkan pendidikan berkualitas, apalagi pendidikan dasar,” kata Hamid.
Pendidikan berkeadilan
Kepala Badan Standar Kurikulum, Asesmen, dan Pendidikan, Kemendikbudristek, Anindito Aditomo mengatakan, Kemendikbudristek saat ini memegang prinsip kualitas dan keadilan/kesetaraan (quality and equity) untuk memajukan sistem pendidikan nasional. ”Kita sungguh mau mendorong tata kelola pendidikan dengan pendidikan berkualitas secara berkeadilan,” kata Anindito.
Anindito mengatakan, di jalur pendidikan formal ada banyak variasi, tapi seolah-olah diperlakukan sama. Untuk itu, perlu diversifikasi supaya intervensi dan pengaturan dapat dilakukan sesuai karakteristik dan tujuan setiap subjalur. Karena itulah, saatnya untuk mengakui keragaman praktik pendidikan.
Terkait persekolahan mandiri, kata Anindito, tujuannya untuk memberikan ruang inovasi bagi sekolah-sekolah yang praktik pembelajarannya memang sudah lebih maju dan kreatif dari yang diatur oleh pemerintah. Sekarang ada banyak sekolah kreatif yang praktik pembelajarannya tidak sesuai dengan standar kurikulum atau penilaian yang ditetapkan pemerintah.
”Tapi bukan berarti sekolah tersebut jelek. Justru sebaliknya, kreatif dan berorientasi pada kebutuhan pembelajaran anak. Ke depan akan diakui sehingga tidak harus ’kucing-kucingan’, seolah-olah berpura-pura memenuhi standarnya pemerintah, tapi lebih maju dari itu,” ucap Anindito.
Pendidikan formal dalam RUU Sisdiknas dibagi menjadi empat subjalur, yakni pra-persekolahan (PAUD), persekolahan (SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA, dan perguruan tinggi), persekolahan mandiri, dan pesantren formal. Untuk pesantren formal sudah diatur di UU Pesantren, di mana pesantren juga memiliki fungsi pendidikan.
Dalam RUU Sisdiknas, untuk mewujudkan satu sistem pendidikan nasional, pertama kali pengaturan sisdiknas mengakui pesantren sebagai bagian integral sisdiknas. Untuk persekolahan mandiri dan pesantren formal yang diatur standar capaian, sedangkan standar input dan proses diberi kemerdekaan. Dibuatnya subjalur baru untuk memberi ruang bagi sekolah-sekolah berinovasi sepanjang tetap mencapai standar capaian.