RUU Sisdiknas Terbuka untuk Ditanggapi
RUU Sisidknas disiapkan dan ditargetkan disahkan pada 2023. Ada beberapa perubahan penting dalam RUU ini. Publik menuntut proses pembahasan yang transparan dan bermakna.
Pemerintah diamanatkan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Karena itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menargetkan naskah akademik dan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional atau RUU Sisdiknas sudah bisa mulai dibahas bersama oleh pemerintah dan DPR tahun ini. Targetnya, di tahun 2023 RUU Sisdiknas bisa disahkan menjadi UU Sisdiknas yang baru, menggantikan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Langkah pemerintah menyiapkan materi RUU Sisdiknas yang nantinya bakal menghapus UU No 20/2003 tentang Sisdiknas, UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi mendapatkan perhatian para pemangku kepentingan pendidikan. Antara lain, dari pegiat pendidikan formal, nonformal, dan informal, akademisi, pemerhati pendidikan, organisasi penyelenggara pendidikan, organisasi profesi guru, orangtua siswa, hingga masyarakat umum. Keinginan pubik untuk bisa dilibatkan dan memberikan masukan atau kritik yang bermakna terus bermunculan. Apalagi hingga kini rancangan naskah akademik dan RUU Sisdiknas yang diinisiasi pemerintah belum juga bisa diakses secara resmi dan terbuka oleh publik.
Padahal, uji publik terbatas sudah dlakukan Kemdikbudristek beberapa kali untuk meminta masukan dari berbagai perwakilan organisasi pemangku kepentingan pendidikan maupun individu untuk menyempurnakan draf naskah akademik dan RUU.
Desakan agar tidak tergesa-gesa merevisi RUU Sisdiknas tanpa keterbukaan dan uji publik yang luas pun mengemuka. Namun, Kemdikbudristek menegaskan bahwa saat ini RUU Sisdiknas masih di tahap awal perencanaan dan nantinya aka nada pelibatan publik yang lebih luas lagi.
Dalam diskusi terbatas bersama Kompas, Selasa (2/3/2022), Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemdikbudsritek Anindito Aditomo, memaparkan urgensi dan kerangka besar yang ditawarkan RUU Sisdiknas. Tak ketinggalan ia juga membahas pelibatan publik yang bermakna agar RUU Sisdiknas menjadi konsensus yang dapat diterima masyarakat luas.
Baca juga : Desakan Penundaan Pembahasan RUU Sisdiknas Menguat
Sudah sampai sampai mana pengajuan RUU Sisdiknas oleh pemerintah?
Saat ini, tim sedang memproses masukan dari puluhan organisasi dan banyak individu. Kita perlu waktu saja untuk memprosesnya. Ada masukan antara satu pihak dengan pihak lain belum cocok. Jadi, tim masih membahas dan mencermati semua masukan untuk menghasilkan draf hasil revisi. Ini masih draf pertama untuk menghasilkan draf kedua. Rencananya, setelah itu akan dibuka untuk publik. Tapi, sekali lagi, ini prosesnya masih awal.
Bagaimana linimasa RUU Sisdiknas untuk disahkan menjadi UU Sisdiknas yang baru?
Kami berharap RUU Sisidiknas ini bisa selesai tahun 2023. Kami realistis kalau tahun ini berat dan saat ini baru permulaan. Supaya bisa selesai tahun depan, karena ini mengatur banyak hal, kami memulai prosesnya dari sekarang. Kami punya target untuk memasukkan usulan naskah akademik dan RUU pada Komisi X DPR bulan Maret-April. Semoga ini bisa kita penuhi untuk kemudian diproses oleh Baleg. Nanti, prosesnya akan tandem antara pemerintah dan DPR. Kalau sekarang dikendalikan oleh pemerintah karena sebagai pemrakarsa yang harus punya kewajiban menyusun usulan itu. Asalkan tahun 2023 selesai, kami sudah senang karena mempertimbangkan linimasa politik juga.
Mengapa saat ini berkembang anggapan bahwa publik tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU Sisdiknas yang diinisasi pemerintah?
Salah satu yang disoroti publik, kan, tentang keterbukaan dan pelibatan publik. Nadanya seolah-olah ada kesan RUU ini sudah hampir disahkan. Seolah-olah ini sudah di ujung proses dan akan segera disahkan. Padahal, publik belum terlibat dan tidak mengetahui prosesnya seperti apa. Ini poin sangat penting untuk diklarifiaksi. Karena, sebenarnya dari lima tahapan pembentukan UU, kita itu baru berada pada tahap pertama yakni tahap perencanaan. Bahkan, belum menjadi RUU yang masuk Prolegnas prioritas tahun ini. Tahap pertama atau tahap perencanaan itu, yaitu tahap di mana pemrakarsa, dalam hal ini pemerintah, menyusun usulan naskah akademik dan RUU-nya untuk diusulkan kepada badan legislatif di DPR sebagai salah satu RUU yang dibahas sebagai Prolegnas prioritas tahun ini. Itu belum terjadi. Jadi, ini kita masih di awal banget.
Pelibatan publik tentu kita lakukan dan akan terus dilakukan. Sekarang ini, naskah yang beredar tidak resmi versi satu, yang bahkan semua poinnya belum sepakat di internal Kemdikbudristek maupun antarkementerian. Jadi, kita masih dalam proses, namanya juga dalam perencanaan. Kita harus menyepakati dulu di Kemdikbudristek dan antarkementerian. Tapi, di saat yang sama, sekaligus membuka kanal untuk partisipasi publik.
Baca juga : Publik Ingin Mengawal RUU Sisdiknas
Namun, uji publik yang digelar Kemdikbudristek dinilai sekadar formalitas dan administrasi?
Jadi, kita sudah melakukan, kalau tidak salah empat uji publik/ FGD plus satu yang dilakukan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kita sudah menerima masukan tertulis maupun lisan dari banyak organsiasi. Ada 42 organisasi pemangku kepentingan pendidikan, juga praktisi, akademisi, ahli pendidikan hingga ahli hukum. Semuanya kita beri akses ke draf naskah akademik dan RUU, minimal satu minggu sebelum bertemu. Sempat ada isu seolah-olah tiap narasumber diberi waktu lima menit untuk menyampaikan pendapat, itu tidak benar juga. Kita kasih waktu untuk membaca minimal satu minggu. Kemudian, ada pertemuan terbatas secara lisan. Tapi setelah pertemuan terbatas lisan itu ada waktu dua minggu untuk memberi masukan secara tertulis. Banyak sekali masukan yang kami terima.
Kami betul-betul tidak ingin sekadar pelibatan publik, sekadar formalitas. Kita ingin agar pelibatan publik itu bermakna dan supaya terjadi konsesnsus yang mendapat dukungan secara luas.
Menurut UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ada lima tahap yakni perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan. Sekarang posisi drafyang ada baru pada tahap perencanaan, ujungnya adalah usulan kepada Baleg DPR untuk memasukkan RUU Sisdiknas sebagai Prolegnas prioritas tahun 2022. Posisinya di tahap pertama dan di tahap pertama pun masih ditengah–tengah, belum selesai, dan masih panjang.
Meskipun Kemdikbudristek merasa sudah melibatkan publik, tapi tetap ada ketidakpuasan?
Sebenarnya, pelibatan publik yang dilakukan itu sudah cukup ekstensif. Kami mengundang banyak pemangku kepentingan dan mereka punya akses dan memberikan masukan lisan dan tertulis, misalnya ayat spesifik yang perlu diperbaiki. Dan itu sedang dalam proses tim kami cermati dan perbaiki. Tentu tidak semua masukan diakomodasi karena masukan dari berbagai pihak juga bisa saling bertentangan. Tapi yang jelas, kita pertimbangkan secara serius. Di internal Kemdikbudristek prosesnya juga bukan sekadar menerima arahan. Tapi, kami berdebat, berargumentasi, dan beradu data untuk mencermati berbagai masukan. Jadi, memang perlu waktu saja. Akan ada kesempatan lebih banyak bagi masyarakat untuk membaca draf resmi, secara formal memang kita buka.
Kapan naskah akademik dan RUU Sisdiknas bisa diakses secara resmi oleh publik?
Draf berikutnya akan dipublikasikan lebih luas sehingga bisa dicermati berbagai pihak. Apakah semua pihak sudah diundang? Tentu belum. Jumlah organisasi/lembaga pemangku kepentingan sangat banyak untuk diajak secara langsung untuk berdialog. Tetapi beberapa pihak yang menyampaikan aspirasi sudah kami kontak secara tidak resmi dan sebenarnya sudah ada dalam daftar undangan kita untuk uji publik di tahap selanjutnya.
Kami berharap perbincangan publik lebih utuh. Jadi tidak berdebat tentang poin spesifik, tapi kehilangan gambaran besar. Kita bisa habis enegri untuk berdebat dengan satu isu spesifik yang sebenarnya akan lebih produktif kalau kita paham gambaran besarnya. Bisa jadi kalau dijelaskan dari konteks tampaknya sangat kontroversial, tapi kalau dipahami lebih utuh jadi lebih enak.
Kami betul-betul menghargai masukan yang substantif. Kami tidak alergi kritik dan masukan kritis. Kami merasa harus menjaga di antara pihak-pihak yang mendukung saja tapi tidak kritis, karena ini juga berbahaya, jadi menjerumuskan, kita tidak bisa melihat kelemahan dari konstruski yang kita bangun. Tapi di sisi lain, kita juga tidak ingin sekadar berantam sehingga habis energi untuk melayani diskursus yang tidak produktif. Jadi, kita ingin berdebat atau berargumentasi tapi subtantif. Kritis oke, tapi semangatnya untuk perbaikan.
Baca juga : Revisi UU Sisdiknas Perlu Dikaji Komprehensif
Mengapa RUU Sisdiknas ini yang dikebut saat pembahasanPeta Jalan Pendidikan belum dituntaskan?
Peta jalan itu cara untuk mencapai tujuan. Tujuannya dulu kita sepakati dan diikat dalam peraturan di UU. Kami melihatnya justru menyepakati tujuan yang dituangkan dalam UU Sisdiknas, baru kemudian merancang peta jalan. Kalau kita merancang petanya dulu padahal tujuan belum disepakati, bukannya terbalik ya? Jadi, kita sepakati arah besar tujuan pendidikan seperti apa dan batasan normatif yang paling fundamental itu seperti apa. Itu dituangkan dalam UU, baru kita bicara cara mencapai tujuan itu dalam batasan-batasan yang kita sepakti. Secara peraturan perundang-undangan, peta jalan biasanya diundangkan sebagai peraturan pemerintah atau peraturan presiden. Jadi, harusnya secara legal menjadi turunan dari UU.
Apa urgensi perubahan UU Sisdiknas yang ada?
Ada beberapa poin urgensi dimulainya pembahasan RUU Sisdiknas tahun ini. Pertama, ada mandat dari UUD 1945 untuk merancang penyelenggaraan satu sistem pendidikan nasional. Tapi, sekarang setidaknya ada tiga UU yang mengatur sistem pendidikan secara langsung. Di samping UU Sisdikans, ada UU Guru dan Dosen, serta UU Pendidikan Tinggi. Hal ini memunculkan potensi ketidakselarasan, terutama dalam pengaturan turunannya. Contoh UU Sisdiknas dan UU Pendidikan Tinggi sama-sama mengatur Standar Nasional Pendidikan (SNP). Meskipun UU Pendidikan Tinggi fokus pada standar nasional pendidikan tinggi, tapi ada tumpang tindih yang cukup besar. Untuk menurunkan jadi PP atau peraturan menteri kadang-kadang sulit. Bisa jadi interpretasinya tidak selaras di antara dua UU yang mengatur hal yang sama. Idealnya satu hal diatur satu UU saja.
Kedua, UU Sisdiknas yang sekarang berlaku, kadang-kadang mengatur beberapa hal terlalu spesifik atau teknis. Contoh, ada kewajiban guru mengajar 24 jam tatap muka/minggu. Apakah masih relevan untuk sekarang? Kalau pembelajaran jarak jauh seperti saat ini, apa bentuknya mengajar 24 jam tatap muka itu? Variasinya sebenarnya banyak. Akibat sudah telanjur dikunci dalam UU Guru dan Dosen, aturan turunananya jadi repot. Ada juga bentuk-bentuk nomenklatur atau nama-nama satuan pendidikan, nama-nama pendidik, yang dikunci di UU sehingga tidak fleksibel. Akibatnya, kalau ada perkembangan zaman dan teknologi, atau kejadian tidak terduga seperti pandemi, hal teknis tidak bisa segera disesuaikan di lapangan, padahal perlu disesuaikan . Ke depan, kita mau agar UU Sisdiknas mengatur hal-hal fundamental dan prinsip, sedangkan yang teknis di level PP atau peraturan menteri. Ini akan menjamin regulasi pemerintah lebih fleksibel dan bisa mengikuti perkembangan zaman dan lebih kontekstual.
Ketiga, ada banyak keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengharuskan kita untuk mengubah materi UU Sisidiknas. Contohnya, MK sudah membatalkan pasal-pasal tentang sekolah bertaraf internasional, mengembalikan gaji guru ke dalam perhitungan APBN 20 persen untuk fungsi pendidikan. Hal-hal seperti ini perlu dimasukkan. Ada kebutuhan untuk melakukan updating regulasi agar tidak tumpang tindih, cepat mengikuti perkembangan zaman dan kebutuhan yang kontekstual.
Baca juga : Masukan untuk RUU Sisdiknas
Apa saja garis besar perubahan yang ditawarkan dalam RUU Sisdiknas?
Prinsip penyelenggaraan pendidikan tidak banyak perubahan. Kita hanya ingin memperkuat dengan cara memperjelas definisi prinsip-prinsip penyelengaraan yang sudah bagus di UU Sisidiknas saat ini. Prinsip demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, kita elaborasi maknanya sehingga tidak ambigu lagi artinya. Selain itu, karena mengintegrasikan UU Pendidikan Tinggi, dimasukkan prinsip yang belum muncul di UU Sisidiknas, yaitu menjunjung tinggi kebenaran ilmiah. Kita mengubah prinsip pembelajaran, di mana prinsip membaca menulis menghitung kita perbarui dengan prinsip pembelajaran harus berorientasi pada pelajar. Ini menegaskan bahwa pelajar adalah subyek utama dalam pendidikan.
Ditambahkan juga satu prinsip terkait inklusivitas. Memang sudah ada prinsip nondiskriminatf, tetapi nondiskrimatif itu masih agak pasif tidak boleh mendikriminasi. Kalau inklusif sudah afirmatif, sudah secara lebih aktif memperjuangkan hak-hak kelompok minoritas, memperjuangkan hak-hak kelompok yang selama ini terpinggirkan untuk menghargai keberagaman. Dengan prinsip inklusif ini satu langkah lebih maju untuk keberagaman.
Apa perubahan penting lainnya di RUU Sisdiknas?
Standar nasional pendidikan, perubahan yang diusulkan lebih fundamental. Sekarang ini, SNP diterapkan secara seragam, sama untuk semua daerah di Indonesia. Targetnya Jakarta, dengan target Aceh dan Papua, Kalimanatan Utara, Nusa Tenggara Timur itu sama. Ini, kan, agak enggak masuk akal karena harus kita akui ada kesenjangan yang lebar antawilayah.
Tapi bagaimana caranya kita tetap punya aspirasi yang sama sebagai bangsa, satu standar, kriteria yang sama untuk cita-cita pendidikan, tapi mengakui kenyataan bahwa ada disparitas yang lebar dalam sistem pendidikan. Itu yang ingin kita normalkan. Ke depannya, kita mengatur bahwa yang kita usulkan, meskipun ada satu standar nasional pendidikan, ada tahapan-tahapan untuk mencapainya. Tiap daerah bisa diberi target yang berbeda-beda sesuai dengan kondisinya. Semua daerah akan termotivasi. Kalau kriteria atau targetnya sama semua, daerah yang sudah maju dibandingkan target tidak termotivasi untuk lebih maju karena sudah mencapai. Sebaliknya, daerah yang jauh tertinggal juga tidak termotivasi karena frustasi, target tidak realistis. Akhirnya memenuhinya berpura-pura, seolah-olah menenuhi padahal tidak betul-betul melakukan perbaikan. Ini ingin kita ubah.
Saat ini ada delapan SNP dan sebagian besar berorientasi administratif. Akibatnya, cenderung diturunkan menjadi aturan-aturan yang membebani sekolah dan pemda dengan berbagai borang adminitrasi yang sayangnya tidak banyak berdampak pada kualitas. Ini akan disederhanakan dan akan lebih berorientasi pada kualitas. Misal, ada SNP yang ditetapkan secara nasional, sama berlaku di semua daerah. Namun, untuk mencapai ada tangganya. Tahapan anak tangga capaian bisa jadi target beda-beda untuk tiap daerah dan bisa diterapkan untuk SNP lainnya.
Bagaimana dengan pengakuan pada jalur pendidikan yang ada?
Sekarang ada tiga jalur pendidikan; formal, nonformal, dan informal. Sebenanya, di dalam jalur formal ada banyak variasi, juga di nonformal. Tapi, seolah-olah diperlakukan sama. Ke depannya akan didiversifikasi supaya intervensi dan pengaturan sesuai dengan karakteristik dan tujuan setiap subjalur. Kita ingin mengakui keberagaman praktik pendidikan. Selain itu, sekarang pendidikan nonformal/informal tidak digambarkan dengan jelas perbedaannya apa. Ke depan, kita akan perjelas perbedaannya dengan mengacu pada kesepakatan UNESCO tentang jenjang dan jenis pendidikan.
Ada isu sekolah rumah tidak diakui atau dihapus, itu tidak benar. Sekolahrumah (homeschooling) adalah salah satu bentuk dari pendidikan nonformal kalau tujuan pendidikannya membentuk karakter dan kompetensi sebagaimana yang ingin dibentuk di sekolah. Maka sekolahrumah pun menjadi bagian dari pendidikan nonformal (PNF).
Saat ini, seolah-olah ada hierarki, pendidikan formal dianggap lebih tinggi derajatnya dari PNF. Hal ini tampak dari lulusan PNF atau informal kalau mau diakui setara dengan formal harus ikut ujian. Ini, kan, ada asumsi PNF/informal lebih rendah dan harus disetarakan. Kita ingin menghapus asumsi itu. Jadi, ke depannya tidak ada lagi konsep penyetaraan PNF terhadap formal. Tapi, penyetaraannya adalah pengakuan hasil belajar murid dibandingkan dengan SNP, standar capaian yang ditetapkan pemerintah. Itu diberlakukan dari PNF atau Formal. Kalau peserta sekolahrumah mau hasil belajar diakui pemerintah, peserta bisa ikut sebuah ujian/asesmen yang hasilnya menyatakan bahwa hasil belajar peserta didik diakui setara dengan standar capaian yang ditetapkan pemerintah. Tetapi ini berlaku juga untuk anak-anak jalur formal yang ada di sekolah. Kalau mau hasil belajar diakui pemerintah, mereka bisa ikut tes yang sama. Jadi sama perlakuannya tehadap formal dan nonformal. Kita ingin perpindahan antarjalur dan subjalur ditegaskan bahwa itu harus difasilitasi untuk memastikan adanya pembelajaran sepanjang hayat.
Bagaimana dengan rencana perubahan wajib belajar menjadi 12 tahun?
Aspirasi publik ingin untuk memperluas wajib belajar menjadi 12 tahun. Tapi, itu ada konsekuensinya. Kalau kita menyatakan bahwa SMA/SMK jadi bagian wajib belajar, pastinya pemerintah harus menanggung biaya. Investasi dari pemerintah meningkat sangat tinggi. Artinya, ada kemungkinan mempengaruhi kualitas pendidikan secara negatif, karena sumber daya difokuskan untuk memastikan daya tampung di SMA/SMK meningkat. Lalu, kualitasnya bagaimana? Padahal di SD dan SMP saja masih ada masalah kualitas. Apakah tidak seharusnya kita menggunakan sumber daya tersebut untuk mempebaiki kualitas di pendidikan dasar, termasuk PAUD, alih-alih membuka ke atas? Ini masih perdebatan juga dalam pemerintah.
Bagaimana pengaturan tentang guru dan tenaga kependidikan?
Tentang guru dan tenaga kependidikan ada beberapa hal. Saat ini, ada banyak nomenklatur pendidik seperti tutor, pamong belajar, instruktur, dan lain-lain. Nanti, akan disederhanakan menjadi guru, dosen, dan instruktur. Jadi, semua yang menjalanakan peran sebagai guru dan memenuhi syarat sebagai guru diakui sebagai guru.
Syarat untuk menjadi guru kualifikasi akademiknya bukan lagi S1 atau D4, melainkan pendidikan profesi guru (PPG). Ini pascasarajana, satu tahun setelah S1/D4. Tapi, ada pemutihan untuk guru yang sudah mengajar sebelum RUU Sisidiknas disahkan, otomatis memenuhi PPG dan tidak ada kewajiban untuk PPG.
Selain itu, mau ada kode etik guru yang berlaku secara nasional. Nanti, ditetapkan oleh mmenteri tapi disusun oleh organsiasi guru. Tujuannya agar kode etiknya tidak berbeda-beda antarorganisasi guru.
Ada perubahan penting apa nantinya untuk pendidikan tinggi?
Salah satunya, perguruan tinggi negeri akan berbentuk badan hukum (PTN-BH). Tujuannya, supaya PTN bisa mengatur keuangan dan SDM lebih mandiri/otonom. Jadi, inovasi akan lahir kalau sebuah organisasi bisa mengatur, mengelola anggaran dan SDM secara lebih bebas, sesuai kebutuhan dan konteksnya. Namun, ini bukan pengurangan subsidi pemerintah. Tetap ada pembiayaan dari pemerintah sesuai dengan standar pembiayaan yang ditetapkan pemerintah. Bukan setelah jadi PTN-BH kemudian komersial. Subsidi tidak dikurangi. Kedua, PTN-BH tetap harus memenuhi kewajiban minimal 20 persen kursi untuk mahasiswa dari keluarga tidak mampu.
Ada perubahan juga dalam implementasi tridarma perguruan tinggi. Saat ini, pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat diterapkan secara seragam untuk semua perguruan tinggi. UGM atau UI yang siap menjadi universitas riset, tagihannya sama dengan sekolah tinggi atau akademi yang fokus pada pendidikan. Enggak masuk akal kalau sebuah perguruan tinggi tidak berorientasi pada penelitian, kenapa dibebani tagihan yang sama. Jadi, proporsi dari tiap darma di perguruan tinggi bisa disesuaikan dengan visi, misi dan mandat perguruan tinggi bersangkutan. Akan ada perguruan tinggi yang intensif di riset atau fokus pada pendidikan. Ini akan diimungkinkan. Termasuk juga menyederhanakan satandar nasional perguruan tinggi yang saat ini jumlahnya 24.