Perkuat Kemitraan, Jangan Biarkan LSM Jalan Sendiri…
Peran dan kontribusi LSM dalam pembangunan sangat penting. Namun, LSM masih menghadapi tantangan, termasuk dukungan pendanaan. Maka, kolaborasi pemerintah dan LSM menjadi penting.

Bencana di Sulawesi Barat telah membangkitkan aksi solidaritas masyarakat, termasuk gerak cepat dari organisasi-organisasi perempuan. Pascagempa, Pos Perempuan Tanggap Darurat yang diinisiasi oleh Kapal Perempuan bekerja sama dengan Lentera Perempuan di Majene dan Kartini Mannakarra di Mamaju. Pengadaan barang dan koordinasi sukarelawan oleh Yayasan Kajian dan Pemberdayaan Masyarakat (YKPM) Sulawesi Selatan.
Pandemi Covid-19 berdampak besar di semua bidang, termasuk pada kerja-kerja organisasi masyarakat sipil atau lembaga swadaya masyarakat. Sejumlah lembaga bahkan menghadapi masa-masa sulit karena tidak memiliki dukungan pendanaan yang kuat. Lembaga-lembaga donor juga menghentikan dukungan pendanaan. Sementara untuk mengakses pendanaan dari pemerintah tidak mudah.
Situasi yang dialami organisasi masyarakat sipil atau lembaga swadaya masyarakat (OMS/LSM) sudah diungkap International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dalam studinya pada tahun 2020. Ditemukan, sebanyak 72 persen LSM terdampak secara keuangan akibat pandemi Covid–19.
Bahkan, 23 persen berada pada fase kritis yang membuat mereka tidak dapat bertahan dalam waktu lama karena pendanannya bergantung pada pihak eksternal dan munculnya biaya tambahan akibat pandemi.
Di daerah, situasi dan kondisi LSM sangat sulit. Apalagi, sumber-sumber pendanaan bagi keberlanjutan kerja mereka tidak banyak. ”Kalaupun tersedia sumber-sumber pendanaan dari pemerintah, tidak semua LSM dapat mengaksesnya,” ujar Direktur Eksekutif Yayasan Swadaya Mitra Bangsa (Yasmib) Sulawesi Rosniaty Azis pada Dialog dan Lokakarya Jaringan Lokadaya ”Mendorong Tersedianya Lingkungan Pendukung Sumber Daya Domestik bagi Non-government Organization” yang digelar Yayasan Penabulu, Rabu (16/2/2022) hingga Kamis (17/2/2022).
Rosniaty mencontohkan, di Sulsel, pada APBD Perubahan tahun 2019 sebenarnya terdapat Rp 22 miliar yang dialokasikan untuk belanja hibah kepada sejumlah organisasi kemasyarakatan. Akan tetapi, mekanisme untuk mengaksesnya tidak diketahui oleh semua LSM.
Sementara di saat yang sama, dukungan pendanaan dari negara-negara luar pun terus menurun. Bahkan, ada yang dihentikan selama pandemi Covid-19 karena semua negara fokus untuk memulihkan kondisi di negaranya masing-masing.
Baca juga : Menanti Strategi Baru LSM HAM
Situasi tersebut membuat semakin menurunnya dana bantuan pembangunan yang diberikan kepada negara-negara seperti Indonesia, termasuk juga bantuan kepada LSM. ”Jika situasi ini dibiarkan terus-menerus, maka posisi LSM akan semakin sulit untuk bertahan,” ujar Maria Anik Wusari, Deputi Direktur Yayasan Penabulu.
Padahal, pandemi yang kini sudah dua tahun telah memperburuk situasi dan kondisi sebagian masyarakat. Perempuan dan anak, misalnya, semakin rentan mengalami kekerasan. Selain itu, akses terhadap layanan, baik layanan pemerintah maupun layanan pada lembaga layanan non-pemerintah, terbatas. Sementara kekerasan terhadap perempuan terus berlangsung, bahkan makin meningkat.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F09%2F17%2F20200917korb-anak-dan-perempuan-pubabu_1600341945_jpg.jpg)
Pengungsi Pubabu, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, berada di dalam tenda bantuan LSM, Selasa (25/8/2020).
Kendati demikian, para aktivis pendamping korban tidak tinggal diam. Di tengah berbagai risiko terpapar virus SARS CoV-2 pun mereka tetap bekerja.
Dalam berbagai kesempatan, para aktivis LSM yang tergabung dalam Forum Pengada Layanan (FPL) perempuan korban kekerasan di seluruh Indonesia sering ”curhat” kepada Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati. Mereka bercerita tentang situasi organisasi pendamping perempuan dan anak korban kekerasan yang saat ini tidak memiliki dukungan pendanaan.
Mereka mengungkapkan bahwa di awal Covid-19 situasi dan kondisi LSM benar-benar ”megap-megap” karena berbagai program tersendat. Para aktivis harus berjalan sendiri. Memasuki tahun kedua pandemi, kondisinya semakin sulit. Kendati demikian, sejumlah aktivis tak menyerah. Mereka tidak bisa menolak ketika mendengar ada masyarakat yang menjadi korban kekerasan.
Lusia Palulungan, Direktur Rumah Mama Sulawesi Selatan sekaligus aktivis lembaga Dewi Keadilan Sulawesi Selatan, mengungkapkan, LSM di daerah umumnya memulai kerja-kerja pemberdayaan perempuan dengan modal sendiri. ”Di awal-awal, baik materi, waktu, dan pemikiran kami siapkan dari kantong pribadi, karena masih sulit mendapatkan pendanaan pemerintah,” kata Lusia.
Keberadaan LSM penting untuk meningkatkan kualitas demokrasi, terutama dengan mentransformasikan aspirasi dan tuntutan kolektif warga melalui artikulasi kerangka representasi demokrasi yang lebih terlembaga.
Semenjak tahun 2000-an memang mulai ada kebijakan yang memberikan peluang kerja sama program dan pendanaan bagi LSM. Namun, belum ada ketentuan yang mengatur bahwa lembaga-lembaga non-pemerintah yang bekerja untuk layanan korban dapat didanai oleh pemerintah secara langsung.
Padahal, penanganan kasus dan pendampingan korban kekerasan membutuhkan dukungan yang kuat dari berbagai lembaga pemerintah. Sebenarnya ada sejumlah peluang yang bisa diakses LSM, seperti tersedianya skema dana bantuan hukum dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Namun, lembaga layanan, terutama di daerah, hingga kini belum sepenuhnya dapat mengakses dana tersebut.
Begitu pula skema pelibatan lembaga layanan melalui layanan unit pelayanan terpadu daerah (UPTD) yang juga belum sepenuhnya berjalan sesuai harapan. Bahkan, masih banyak lembaga layanan, khususnya di pelosok daerah, yang masih benar-benar ”berswadaya” dalam menangani kasus dan mendampingi perempuan korban kekerasan.
”Bantuan pemerintah seperti dana bantuan hukum, pembiayaan visum, apalagi untuk operasional lembaga, tidak ada dukungan sama sekali pada waktu itu. Kami memulainya dengan semangat dan mencoba untuk mencari dukungan dari pihak lain,” cerita Lusia, Selasa (22/2/2022).
Kondisi para aktivis perempuan mendapat perhatian Menteri Darmawati. Jika ada kasus kekerasan perempuan dan anak yang terjadi, Darmawati meminta para aktivis LSM untuk tidak ragu melaporkannya kepada Kementerian PPPA agar segera ditindaklanjuti.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F09%2F22%2FBintang1_1600787835_jpg.jpg)
Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati
Posisi tawar lemah
Walaupun sudah mulai ada perhatian dari pemerintah dalam bentuk kerja bersama, hingga kini posisi tawar LSM di Indonesia masih lemah. Stigma negatif masih saja melekat dengan LSM. Hingga kini, baik masyarakat maupun pemerintah masih memandang LSM sebagai organisasi atau lembaga yang ”berseberangan” dengan pemerintah dan punya ”kepentingan” tertentu. Tudingan LSM hanya loyal kepada pemberi donasi pun masih berlangsung sampai sekarang.
Padahal, sejak reformasi hingga kini, sejumlah LSM di tingkat nasional ataupun di daerah hadir dengan berbagai peran penting. Selain mendorong pemberdayaan masyarakat, LSM melakukan berbagai advokasi kebijakan publik dan hadir sebagai alat kontrol sosial.
Di sejumlah isu pembangunan, seperti isu lingkungan hidup, pemberdayaan dan perlindungan perempuan dan anak, penyandang disabilitas dan kelompok rentan, para aktivis LSM hadir melakukan advokasi dan pendampingan bagi para korban kekerasan dan diskriminasi.
Ada LSM yang mendapat dukungan pendanaan dan donor, bermitra baik dengan lembaga asing ataupun pemerintah, ada juga yang benar-benar bergerak mandiri.
Baca juga : Pemprov Aceh dan LSM Belum Sejalan Selamatkan Hutan
Di tengah pandemi saat ini, kehadiran LSM sebagai aktor ketiga pembangunan sangat dibutuhkan negara. ”Keberadaan LSM penting untuk meningkatkan kualitas demokrasi, terutama dengan mentransformasikan aspirasi dan tuntutan kolektif warga melalui artikulasi kerangka representasi demokrasi yang lebih terlembaga. Peran LSM setara dengan partai politik, serikat pekerja, hingga organisasi bisnis. Mereka kini juga tengah sama-sama dihantam oleh badai pandemi,” ujar Mickael Hoelman, Penasihat Senior INFID.
Hamong Santono, Manajer Advokasi Yayasan Penabulu, menegaskan, dalam berbagai forum, pemerintah sering kali menyebut LSM sebagai mitra strategis pembangunan. Akan tetapi, pernyataan tersebut belum diikuti dengan upaya memajukan dan memperkuat peran LSM, terutama dari sisi pendanaan.
Sementara pada sisi lain, pemerintah telah mendorong pemajuan demokrasi dan LSM di negara-negara lain dengan membentuk Lembaga Dana Kerja Sama Pembangunan Internasional (LDKPI)-Indonesian AID yang bersifat dana abadi dengan pengelolaan serupa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Aktivis lingkungan dari berbagai LSM dan organisasi berunjuk rasa di KPU Kalimantan Timur, beberapa waktu lalu. Mereka mendesak agar isu lingkungan, terutama tambang, banyak dimasukkan dalam debat publik kandidat pilgub Kaltim.
Perpres pendanaan LSM
Menyikapi kondisi LSM tersebut, saat ini sedang dirumuskan Peraturan Presiden tentang Pendanaan LSM. ”Dengan sejarah dan kontribusi yang telah diberikan, sudah saatnya pemerintah mendorong terciptanya lingkungan pendukung bagi keberlanjutan LSM, salah satunya dengan menyediakan pendanaan bagi LSM melalui APBN,” papar Bona Tua, Senior Program Officer SDGs INFID yang juga anggota Kelompok Kerja (Pokja) Perumusan Perpres Pendanaan LSM.
Saat ini, pokja sedang merumuskan draf perpresnya. Nantinya pendanaan untuk LSM dalam bentuk dana abadi. Dana abadi tersebut bukan hibah cuma-cuma kepada LSM, melainkan mekanisme pengadaan barang dan jasa publik yang bisa dilakukan oleh LSM sesuai pengalaman, kepakaran, dan area kerjanya.
Selanjutnya, perpres tersebut juga harus mengatur tata pengelolaan dana yang baik agar transparan dan akuntabel serta dapat diakses oleh semua LSM di Indonesia.
Soal peluang pendanaan bagi LSM, Wariki Sutikno, Pelaksana Tugas Direktur Politik dan Komunikasi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, mengungkapkan, LSM perlu mendapat bantuan pendanaan karena LSM dibutuhkan sebagai mitra pemerintah yang secara konstruktif memengaruhi proses perumusan kebijakan dan merupakan penyeimbang demokrasi.
”LSM menjadi saluran aspirasi alternatif masyarakat untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan. Pendanaan publik dapat menjaga keberlanjutan program dan kegiatan LSM, mengurangi ketergantungan terhadap donor, dan meningkatkan kemandirian,” kata Wariki.
Bappenas mencatat sejumlah persoalan pendanaan LSM, antara lain karena pendanaan dari lembaga donor internasional mulai menurun. Hal ini akibat dari status Indonesia yang dinyatakan sebagai negara berpendapatan menengah bawah pada tahun 2006 serta pandangan bahwa Indonesia telah berhasil mengonsolidasikan demokrasi dan kestabilan politik.
Hubungan antara LSM nasional dan daerah juga belum terbangun dengan optimal. Akibatnya, LSM kecil yang hanya beroperasi di satu atau dua kota/kabupaten hanya dapat mengakses sebagian kecil dana, pembangunan kapasitas, dan kesempatan berjejaring.
Selain itu, hingga kini belum tercipta suatu budaya kelembagaan atau kedermawanan strategis yang dapat mendukung LSM di Indonesia. Proses demokratisasi dan desentralisasi yang terjadi pasca-Orde Baru menuntut hubungan kerja sama yang lebih kompleks.
Wariki mengakui, ada begitu banyak kesempatan kerja sama dengan pemerintah dalam membentuk kebijakan dan menjalankan program. Namun, tidak semua LSM memanfaatkan kesempatan tersebut. Membuka akses pendanaan bagi LSM tentu akan membantu mereka bertahan di masa pandemi sehingga bisa terus melakukan pemberdayaan masyarakat.