Upaya lembaga swadaya masyarakat menyuarakan persoalan hak asasi manusia bagai berteriak di ruang hampa. Oleh karena itu, mereka perlu memformulasi strategi baru; konsolidasi dan kembali ke masyarakat.
Oleh
Edna C Pattisina
·5 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Aktivis, sukarelawan dan korban pelanggaran HAM mengikuti aksi diam Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (3/10/2019). Aksi Kamisan ke-604 tersebut merefleksikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia pada bulan September serta menyoroti kekerasan yang menimpa mahasiswa dalam unjuk rasa di Jakarta dan beberapa daerah pada akhir September lalu.KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Aksi Kamisan yang diadakan korban dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia atau HAM dengan dukungan sejumlah lembaga swadaya masyarakat HAM, Kamis (2/1/2020), memasuki aksi yang ke-616. Setiap minggu aksi di depan Istana Merdeka, Jakarta, ini menagih penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu, seperti Tragedi 1965, Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Tragedi 13-15 Mei 1998, Talangsari, dan Tanjung Priok.
Kendati perwakilan Aksi Kamisan pernah diterima Presiden Joko Widodo di Istana, tuntutan Aksi Kamisan penuntasan pelanggaran HAM itu belum ditanggapi serius pemerintah.
Fenomena ini jadi pekerjaan rumah bagi sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang HAM. LSM HAM menjadi salah satu kekuatan masyarakat sipil yang mendobrak kekuasaan Orde Baru. Tahun 1970, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang digagas pendiriannya oleh para advokat kerap mengadvokasi korban tindakan pemerintah yang merugikan masyarakat. Yang menarik, Gubernur Jakarta periode 1966-1977, Ali Sadikin, memberikan subsidi untuk YLBHI dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, setiap bulan, dengan alasan dia butuh pengkritik.
Kompas
Aktivis dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Julius Ibrani (kanan) dan dari Mappi, Dio Ashar saat memberikan keterangan terkait seleksi Komisioner Komisi Kejaksaan di Kantor YLBHI, Jakarta, Minggu (29/3/2015). Kompas/Wisnu Widiantoro
Menjadi ujung tombak Reformasi 1998, jumlah LSM menjamur. Pengajar FISIP Universitas Parahyangan, Bandung, Bob Hadiwinata, dalam The Politics of NGOs in Indonesia (2003), mengatakan, jumlah kelompok masyarakat sipil, termasuk LSM dan kelompok berdasarkan etnis dan agama, ini mencapai 70.000 tahun 2000. Berdasarkan data dari lembaga SMERU, ada 2.848 LSM dari seluruh Indonesia per 13 Maret 2017, hampir seperempatnya LSM lingkungan. Sementara, LSM HAM ada 76 institusi.
Kondisi lemah
Walaupun jumlah LSM banyak, daya ”pukulnya” tidak signifikan. Beberapa faktor menjadi penyebab. Dari sisi pendanaan, berbagai data menunjukkan, lebih dari 70 persen pendanaan LSM HAM berasal dari luar negeri. Ketika Indonesia dianggap lebih demokratis, atau kepentingan asing sudah bergeser, dana jadi seret. Konsekuensinya, LSM HAM jadi lemah. Tren ini juga bersifat global, bahkan negara-negara yang mapan memperjuangkan HAM tengah berubah orientasinya, terutama pada ekonomi. Isu-isu HAM mulai ditinggalkan.
Faktor domestik lebih rumit lagi. Setelah reformasi, LSM HAM kehilangan musuh bersama yang sebelum 1998 direpresentasikan sebagai sosok pemimpin Orba, yakni Soeharto. Sementara, LSM HAM gagal mengonsolidasi diri, kekuasaan Orba bermetamorfosis dengan canggih. Di samping birokrasi negara, kekuasaan ini hadir dalam bentuk ”negara bayangan”; politisi, pejabat, kaum kriminal, dan pebisnis bekerja sama.
Di sisi lain, masyarakat sipil dengan orientasi kesukuan dan agama yang tadinya direpresi negara yang kuat kini mendapat ruang untuk tampil. Mereka hadir dalam bentuk kelompok-kelompok dengan pandangan konservatif, bahkan mengedepankan kekuasaan, sehingga bertentangan dengan kelompok yang dalam demokrasi liberal disebut sebagai masyarakat sipil yang mendukung demokrasi. Tidak heran, setelah reformasi, hadir demonstrasi-demonstrasi bayaran dengan bungkus apa pun yang menjadi perpanjangan tangan para elite.
Verena Beittinger-Lee dalam bukunya, (Un) Civil Society and Political Change in Indonesia (2009), mencatat beberapa faktor yang menjadi kelemahan masyarakat sipil di Indonesia, terutama LSM. Pertama, terpecah belahnya masyarakat sipil. Perbedaan agenda dilihat setiap pihak sebagai pertentangan tanpa berusaha mencari titik temu yang bisa menjadi agenda bersama. Kedua, kesadaran sebagai warga negara dengan hak-haknya masih kalah dengan komunalisme. Ketiga, kekurangan kapasitas terutama dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat.
Kondisi itu ibarat awan mendung bagi LSM HAM. Dalam pemerintahan yang berorientasi pada pembangunan fisik, faktor-faktor nonfisik seperti hak asasi cenderung terabaikan. Sementara itu, aktivis-aktivis LSM, termasuk LSM HAM atau yang terkait, yang bergabung dengan pemerintah, tak terlihat jelas posisi politiknya dalam isu-isu HAM. Beberapa terduga pelanggar HAM di masa lalu menjadi sosok-sosok yang ikut diakomodasi pemerintah, bahkan menjadi bagian sentral dari pemerintah. Perlu digarisbawahi, pemerintah merupakan sebuah entitas sehingga tidak diselesaikannya HAM oleh satu masa pemerintahan juga berarti pemerintah era itu melestarikan pelanggaran HAM.
Tidak adanya oposisi yang kuat di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin juga menjadi lingkungan yang tidak kondusif untuk LSM- LSM HAM. Apalagi ketika aparat rentan ditempatkan sebagai alat politik, pelanggaran HAM bisa semakin meningkat. Di sisi lain, terjadi peningkatan gerakan ormas yang mendelegitimasi pemerintah, bahkan ideologi negara. Kelompok ini juga berhadapan dengan LSM HAM. Padahal, LSM HAM juga tidak solid karena banyak yang mengaitkan diri dengan agenda-agenda pemerintah. Dalam situasi ini, masyarakat sebenarnya jadi berdiri sendiri.
Di mata masyarakat, ada krisis kepercayaan. Walaupun tak spesifik berdasarkan jenis LSM, secara umum di Indonesia menurut hasil survei Edelman Trust Barometer terjadi penurunan tingkat kepercayaan terhadap LSM dari 64 persen pada 2015 menjadi 57 persen pada 2016. Meskipun pada 2017 ada peningkatan, kepercayaan masyarakat terhadap LSM masih lebih rendah dibandingkan tiga institusi publik lainnya: bisnis, media, dan pemerintahan.
Reformulasi strategi
Dalam menghadapi kondisi ini, LSM HAM perlu bersama-sama mereformulasi agenda gerakan dan implementasinya. Ada beberapa indikasi positif, seperti banyaknya keterlibatan anak muda dalam Aksi Kamisan, tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di kota-kota lain. Kesadaran anak muda akan politik sebagaimana terlihat dalam aksi #reformasidikorupsi adalah bentuk kesadaran berpolitik yang menjadi sekutu gerakan-gerakan LSM HAM. Perkembangan teknologi media sosial bisa menjadi alternatif yang efektif dalam membangun jejaring.
Perlu ada konsolidasi dari LSM HAM untuk bersama- sama mengusung agenda utama. Selain isu-isu yang masih menjadi pekerjaan rumah, seperti kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, agenda- agenda HAM yang populis bisa menjadi agenda bersama. Tujuannya, membangun soliditas di antara LSM HAM, serta memperkuat basis di masyarakat. Saatnya LSM kembali ke masyarakat.
Kompas/Wawan H Prabowo
Mural bergambar sosok pejuang hak asasi manusia (HAM) Munir menghiasi tiang penyangga jalan layang transjakarta di Jalan Ciledug Raya, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Senin (4/11/2019). Keberadaan mural Munir di tempat tersebut menjadi salah satu upaya untuk mengajak masyarakat tidak melupakan peristiwa terbunuhnya Munir dan ketidakjelasan penanganan kasusnya. Pendiri Imparsial dan aktivis Kontras itu tewas diracun di pesawat terbang ketika bertolak ke Amsterdam, Belanda untuk melanjutkan studi. Kompas/Wawan H Prabowo
Dalam konteks pembangunan yang jorjoran, ada banyak hak sosial ekonomi masyarakat yang bisa dikategorikan sebagai isu-isu HAM. Isu-isu lintas agama dan etnis, seperti isu kesehatan dan pendidikan, akan lebih mudah disambut masyarakat. Isu-isu terkait pelayanan publik juga bisa membuka jejaring baru LSM dengan masyarakat, seperti dunia kampus, atau bahkan bisnis hiburan. Platform digital selama ini sudah kerap menjadi jembatan penggiat HAM dan masyarakat, terutama kaum muda.
Kampanye HAM yang lebih terlihat gaul tidak berarti menghilangkan esensi masalah. Narasi pelanggaran HAM di masa lampau, seperti stigmatisasi dan proses hukum yang berat sebelah, masih berulang menjadi relevan bagi masyarakat. Untuk ini memang dibutuhkan kerja keras dari penggiat HAM untuk keluar dari ruang diskusi dan bilik komputer untuk kembali bertemu dan mengorganisasi masyarakat. Kerja sama dengan pemerintah bukanlah hal yang tabu asalkan LSM bisa mengambil posisi yang tepat dan tidak tergoda oleh ambisi atau kepentingan pragmatis personal.
Sebagaimana esensinya, LSM adalah Lembaga swadaya masyarakat. Oleh karena itu, krisis perlu dilihat sebagai kesempatan untuk kembali ke esensi awalnya.