Pemprov Aceh dan LSM Belum Sejalan Selamatkan Hutan
Pemerintah Provinsi Aceh dan lembaga swadaya masyarakat idealnya menyamakan visi bersama untuk langkah penyelamatan hutan. Perbedaan pandangan membuat kedua belah pihak kerap berseberangan.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
KOMPAS/ZULKARNAINI
Pelaksana Tugas Gubernur Aceh Nova Iriansyah
BANDA ACEH, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Aceh dan lembaga swadaya masyarakat idealnya menyamakan visi bersama untuk langkah penyelamatan hutan. Perbedaan pandangan membuat kedua belah pihak kerap berseberangan.
Hal itu dikatakan Pelaksana Tugas Gubernur Aceh Nova Iriansyah saat membuka kegiatan Forestival Aceh di Banda Aceh, Rabu (8/1/2020). Forestival mengangkat tema perbaikan tata kelola untuk mewujudkan pemanfaatan hutan Aceh yang adil, sejahtera, dan berkelanjutan. Kegiatan ini digelar beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tergabung dalam program Selamatkan Hutan dan Lahan melalui Perbaikan Tata Kelola (Setapak).
LSM yang tergabung dalam program Setapak adalah Masyarakat Transparansi Aceh, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Aceh, dan Jaringan Komunitas Masyarakat Adat. Selain itu, ada juga Yayasan Hutan Alam Lingkungan Aceh, Gerakan Anti Korupsi Aceh, Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh, dan Bina Rakyat Sejahtera.
Nova mengatakan, antara pemerintah dan LSM belum memiliki pandangan yang sama mengelola hutan dan lingkungan. Bagi pemerintah, kata Nova, dalam mengeluarkan kebijakan selain melestarikan lingkungan juga harus mempertimbangkan aktivitas ekonominya.
”Kita harus menyamakan sudut pandang agar bisa berkolaborasi,” kata Nova.
Kayu gelondong dan balok yang diikat menjadi rakit diangkut lewat Sungai Simpang Jernih, Aceh Timur, ke Aceh Tamiang, Aceh, Minggu (17/9/2017).
Nova mengakui, pengelolaan hutan di Aceh masih dihadapkan pada berbagai persoalan, seperti konflik tenurial batas kawasan hutan, deforestasi, pengamanan hutan, kebakaran hutan, konflik satwa, tambang ilegal, dan bencana alam. Selain melestarikan lingkungan, kata Nova, pemerintah harus memberdayakan warga di kawasan hutan.
”Restorasi hutan masih jauh dari harapan kita,” kata Nova.
Perbedaan pandangan antara pemerintah dan LSM misalnya terdapat pada persoalan penertiban tambang ilegal. Walhi Aceh mendesak pemerintah agar menindak pelaku tambang ilegal dan menutup aktivitas tersebut. Namun, Nova menyebutkan, dalam kasus tambang ilegal pemerintah tidak bisa serta-merta memerintahkan menutup. Alasannya, pihaknya harus mempertimbangkan sosial ekonomi warga yang terlibat di sana.
”Ilegal mining (tambang ilegal) pelanggaran hukum. Pelakunya warga Aceh, warga saya. Namun, mereka juga harus dilindungi. Penegakan hukum harus adil,” kata Nova.
Ilegal mining (tambang ilegal) pelanggaran hukum. Pelakunya warga Aceh, warga saya. Namun, mereka juga harus dilindungi. Penegakan hukum harus adil. (Nova Iriansyah)
Nova menambahkan, dirinya juga sedang mengkaji wacana perpanjangan jeda izin tambang di Aceh. Jeda izin tambang dikeluarkan gubernur sebelumnya, Zaini Abdullah, pada 2016. Namun, kata Nova, kebijakan terkait lingkungan juga harus mempertimbangkan kepentingan pelaku usaha di sektor tersebut.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Perwakilan mitra Setapak Muhammad Nasir
Perwakilan mitra Setapak, Muhammad Nasir, mengatakan, kerusakan hutan di Aceh dalam setahun mencapai 24.000 hektar. Namun, pemerintah hanya mampu merestorasi sekitar 13.000 hektar.
Nasir mengatakan, Pemprov Aceh belum menunjukkan komitmen kuat melindungi hutan dan lingkungan di Aceh. Dia mencontohkan, pemerintah kerap mengampanyekan investasi di sektor perkebunan sawit. Padahal, kata Nasir, pengelolaan sawit yang keliru telah menyebabkan bencana alam, konflik satwa, serta konflik sosial antara perusahaan dan warga.
Nasir menambahkan, penegakan hukum di sektor lingkungan masih lemah. Sebagai contoh, sejak 2009 hingga kini, aktivitas tambang ilegal masih berlangsung di dalam hutan lindung.
”Pembalakan liar juga masih marak,” ujar Nasir.
Direktur Walhi Aceh Muhammad Nur mengatakan, pelestarian lingkungan kerap dikalahkan kepentingan bisnis. Alih fungsi lahan untuk budidaya telah memicu konflik satwa dan menurunnya daya dukung lingkungan.
Oleh karena itu, LSM mitra program Setapak mendorong Pemprov Aceh melakukan sejumlah cara. Beberapa di antaranya memperpanjang jeda izin tambang, menghentikan kampanye investasi sawit, membuka akses informasi di sektor lingkungan, dan membentuk tim terpadu penindakan kasus lingkungan.