Publik berharap Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual benar-benar bisa disahkan menjadi RUU Inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna DPR hari ini.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Proses legislasi Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual terus dinantikan publik di tengah berbagai kekerasan seksual yang terus terjadi. Komitmen pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat untuk menetapkan rancangan undang-undang tersebut sebagai Inisiatif DPR, pada hari ini, Selasa (18/2/2022), harus secepatnya dilanjutkan dengan menjadwalkan pembahasan dan pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Dalam proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun Pemerintah mesti melibatkan partisipasi publik. Hal ini penting, agar substansi dalam RUU tersebut benar-benar sesuai dengan harapan publik, yakni berpihak pada kepentingan korban.
“Kami berharap RUU TPKS benar-benar bisa disahkan menjadi RUU Inisiatif DPR karena kita sudah cukup menunggu lama untuk pengesahan ini. Tentunya setelah disahkan, pemerintah harus segera meresponsnya dengan menerbitkan Surat Presiden dan menyiapkan daftar isian masalahnya,” ujar Ratna Batara Munti, Koordinator Advokasi Nasional Asosiasi LBH APIK/Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban K ekerasan Seksual, Senin (17/1/2022).
Kami berharap RUU TPKS benar-benar bisa disahkan menjadi RUU Inisiatif DPR karena kita sudah cukup menunggu lama untuk pengesahan ini.
DPR, sebagaimana janji Ketua DPR Puan Maharani pada Rapat Paripurna DPR, Pembukaan Masa Persidangan III Tahun Sidang 2021-2022, Selasa (11/1/2022), segera mengesahkan RUU TPKS sebagai RUU Inisiatif DPR, pada Rapat Paripurna DPR yang dijadwalkan Selasa, hari ini.
Setelah menetapkan sebagai RUU Inisiatif DPR, Ratna berharap selain pelibatan partipasi kelompok masyarakat yang peduli dan bekerja untuk korban, pembahasan RUU TPKS oleh DPR dan Pemerintah berlangsung transparan, serta mengakomodasi pengalaman para perempuan korban kekerasan seksual.
“Kita perlu mengawal bersama-sama agar RUU TPKS dapat dibahas dan disahkan sesuai tujuan awal dirumuskannya RUU ini. Tidak boleh memasukkan ketentuan seperti pasal-pasal kesusilaan. Karena RUU TPKS adalah aturan khusus untuk merespon persoalan kekerasan seksual, mulai dari pencegahan, penanganan, hingga pemulihan korbannya,” papar Ratna.
Harapan yang sama juga disampaikan Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani. Komitmen DPR untuk membela korban kekerasan seksual tidak hanya berhenti pada penetapan RUU TPKS sebagai Inisiatif DPR, tetapi harus dilanjutkan dengan pembahasan hingga pengesahan RUU TPKS.
“Penetapan pembahasan RUU TPKS adalah kunci penyikapan segera secara sistematis terhadap persoalan-persoalan dalam penanganan kekerasan seksual.Sebab, jika semakin ditunda penetapannya, semakin terbengkalai pula kondisi korban kekerasan seksual,” ujar Andy.
Melihat kebutuhan UU TPKS sudah mendesak, perlu ada mekanisme percepatan pembahasan. DPR sebaiknya tidak mengandalkan mekanisme biasa, apalagi melalui komisi seperti pada periode lalu, yang tidak berhasil menyelesaikan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Forum Pengada Layanan bagi perempuan korban kekerasan (FPL) juga mendorong DPR segera membahas dan menetapkan RUU TPKS, karena UU TPKS merupakan kebutuhan mendesak bagi hukum nasional. Namun yang terpenting adalah upaya mengawal substansi draft RUU TPKS agar bisa memperkuat perlindungan dari tindakan kekerasan seksual dan mempertajam paradigma yang berpihak kepada korban.
Dari catatan FPL, draf dalam RUU TPKS yang disusun di Badan Legislasi DPR masih ada sejumlah hal yang perlu dikritisi antara lain, poin Menimbang, dalam pasal asas memasukan iman, takwa dan ahlak mulia. Begitu juga hukum acara yang tidak mencerminkan kekhususan dari kasus kekerasan seksual, dan menyeragamkan kewajiban lembaga layanan pemerintah dan masyarakat,
“Draf RUU TPKS di DPR saat ini juga memangkas lima dari 11 bentuk kekerasan seksual, serta belum mempertimbangkan kerentanan kelompok perempuan yang mengalami kekerasan seksual seperti perempuan dengan HIV/AIDS, perempuan yang dilacurkan, perempuan yang dipaksa kawin dengan modus penculikan yang mengatasnamakan budaya (kawin tangkap), dan korban aborsi paksa,” ujar Anna, dari tim advokasi RUU TPKS FPL.
Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS di tingkat Baleg DPR, Willy Aditya, mengungkapkan, DPR dan Pemerintah memiliki tekad yang sama dalam merealisasikan RUU TPKS menjadi UU untuk memberikan keadilan bagi korban dan payung hukum bagi proses hukum. “Tentu kami berharap proses pembahasan bersama pemerintah akan dikembalikan pada Alat Kelengkapan Dewan pengusul untuk proses pembahasan yang berkelanjutan,” ujar Willy, Senin malam.
Kekerasan seksual tak berulang
Perjalanan legislasi RUU TPKS juga dikawal oleh Asosiasi Pusat Studi Wanita/Gender dan Anak Seluruh Indonesia (ASWGI) yang beranggotakan 146 pusat studi wanita/gender, anak, sosial inklusi di perguruan tinggi negeri dan swasta. ASWGI meminta DPR agar RUU TPKS yang akan dibahas, berorientasi pada pemenuhan hak korban dan ketidakberulangan kekerasan seksual.
Dari berbagai kajian yang dilakukan ASWGI, kekerasan seksual merupakan hasil akumulasi persoalan interseksional relasi kuasa yang berbasis jender, etnis, kelas sosial, usia, abilitas, yang ada di tingkat makro, meso, mikro, hingga individual. Akibatnya, para korban kekerasan seksual mengalami kerentanan berlapis untuk dipersalahkan, pelaku melakukan kekerasan seksual secara berulang, dan terjadi pembiaran secara sistemik.
“Maka, perlu penanganan secara sistemik pula melalui pendekatan holistik-ekologis melalui hukum, budaya, sosiologis, psikologis, medis, dan ekonomi,” ujar AriantiInaRestianiHungadari ASWGI yang juga Ketua Pusat Penelitian dan Studi Gender Universitas KristenSatya Wacana(PPSG-UKSW).
Menurut Arianti, sejak akhir Desember, ASWGI telah memberikan sejumlah masukan pada DPR terkait RUU TPKS. Misalnya, soal judul dan pendekatan tetap perlu dipertahankan, mengingat sistem dan proses hukum yang ada belum memperhitungkan kondisi psikologis dan sosial masyarakat yang membentuk, melanggengkan kekerasan seksual, dan cenderung mempersalahkan korban.
Sejumlah pengaturan dalam RUU TPKS juga perlu dipertajam, seperti perspektif pemulihan dan pemenuhan hak-hak korban secara paripurna, rehabilitasi pelaku untuk menjamin ketidakberulangan, serta mengakui dan mendukung peran serta masyarakat.
“RUU TPKS juga harus menegaskan kehadiran negara melalui sistem pelayanan penanganan terpadu, beserta dukungan anggaran, termasuk memperhitungkan kondisi geografis dan wilayah tertinggal, terdepan dan terluar, dalam penanganan, serta sistem pencegahan yang sistemik melalui pendidikan kritis pada jalur formal dan non-formal,” ujar Arianti.
Terkait dengan jenis kekerasan seksual dalam Draf RUU yang disusun di Baleg, ASWGI mengapresiasi sejumlah perubahan yang dilakukan seperti dimasukkan kembali pelecehan seksual fisik dan penambahan pelecehan seksual dengan menggunakan transmisi elektronik, eksploitasi seksual oleh korporasi.
Akan tetapi, DPR diharapkan tetap mengakomodasi pemerkosaan/pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan aborsi, perbudakan seksual yang memang terjadi di lapangan, pemaksaan perkawinan terutama di daerah-daerah yang menutupinya sebagai praktik adat/budaya, agar masuk sebagai jenis tindak pidana kekerasan seksual.