Salah satu perubahan mendasar dari RUU TPKS yang diloloskan Badan Legislasi DPR adalah dihilangkannya substansi ”persetujuan”. Bagaimana hal-ihwal kata ini dari perspektif bahasa?
Oleh
Ninuk Mardiana Pambudy
·4 menit baca
Membuka tahun 2022, Presiden Joko Widodo melalui kanal Youtube Sekretariat Presiden, Selasa (4/1/2022), mengatakan, telah memerintahkan Menteri Hukum dan HAM serta Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak segera berkonsultasi dan berkoordinasi dengan DPR mengenai pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau RUU TPKS.
Masyarakat mengharapkan RUU TPKS yang akhirnya diloloskan Badan Legislasi DPR pada 8 Desember 2021 segera dirapatkan Badan Musyawarah DPR dan dibawa ke Rapat Paripurna DPR pembukaan masa sidang 2022. Sebelumnya, RUU ini gagal lolos dari Badan Musyawarah dengan alasan Badan Legislasi terlambat menyerahkan kepada Badan Musyawarah.
RUU TPKS yang diloloskan Badan Legislasi mengalami perubahan substansi mendasar dari rancangan awal. Salah satu perubahan mendasar adalah dihilangkannya substansi persetujuan. Persetujuan penting untuk menetapkan apakah suatu perbuatan termasuk kategori kekerasan seksual.
Tulisan singkat ini melihat kata persetujuan dari perspektif bahasa. Tentu, dalam membahas undang-undang, yang merupakan proses politik, ada perspektif lain yang juga dilihat dan dipertimbangkan.
Posisi tidak setara, satu pihak memiliki kekuasaan atas pihak lain, dapat membuat korban tidak dapat mengatakan ”tidak” meskipun sebetulnya menolak.
Kata persetujuan atau consent menjadi perdebatan panjang dalam pembahasan RUU oleh panitia kerja di Badan Legislasi. Ketika masih bernama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), dalam Pasal 1 dijelaskan, antara lain, kekerasan seksual terjadi ketika perbuatan dilakukan secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, (tindakan) yang menyebabkan seseorang tidak dapat memberikan persetujuan dalam keadaan bebas.
Isu persetujuan juga muncul saat keluar Permendikbudristek No 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi, 31 Agustus 2021. Pasal 5 Ayat 2 peraturan menteri itu mengatur 21 perbuatan yang termasuk kekerasan seksual, sejumlah di antaranya jika dilakukan tanpa persetujuan korban.
Juga diatur persetujuan tidak berlaku apabila korban di bawah umur, dalam keadaan tidak sadar penuh, di bawah tekanan, atau mengalami ketidakstabilan psikologis.
Banyak artikel ditulis mengenai arti persetujuan di dalam hubungan personal dua pihak, terutama menyangkut hubungan seksual.
Arti persetujuan
Persetujuan adalah kata benda. KBBI daring mengartikannya sebagai 1 pernyataan setuju (atau pernyataan menyetujui); pembenaran (pengesahan, perkenan, dan sebagainya); 2 kata sepakat (antara kedua belah pihak); sesuatu (perjanjian dan sebagainya) yang telah disetujui oleh kedua belah pihak (tepatnya oleh para pihak); 3 persesuaian; kecocokan; keselarasan.
Persetujuan melibatkan setidaknya dua pihak: yang memberi persetujuan dan yang mendapat persetujuan. Persetujuan biasa diminta atau diberikan dalam hampir segala kegiatan, seperti bidang kedokteran, bisnis, hukum, hingga hubungan negara dengan rakyatnya.
Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perempuan, UN Women, menjelaskan consent atau persetujuan dalam relasi personal, terutama menyangkut relasi seksual, disampaikan para pihak dengan antusias, jelas, tidak ragu-ragu, dengan sadar, para pihak dalam posisi setara. Persetujuan harus diberikan tanpa tekanan, tanpa paksaan dalam bentuk apa pun, tanpa muslihat, tanpa bujukan yang menjebak. Hal yang penting juga, persetujuan oleh anak tidak berlaku.
Persetujuan harus diberikan secara spesifik untuk satu tindakan, merupakan proses bertahap, yaitu persetujuan untuk satu kegiatan tidak berarti persetujuan untuk aktivitas lain. Persetujuan dapat diubah atau ditarik kembali ketika salah satu pihak berubah pikiran.
Satu pihak tidak dapat disebut memberikan persetujuan apabila dalam paksaan, mengalami manipulasi, dalam tekanan, tidak sadar atau dalam keadaan mental tidak stabil, dan atau berusia anak. Diam atau tidak mengatakan ”tidak” bukan berarti setuju. Posisi tidak setara, satu pihak memiliki kekuasaan atas pihak lain, dapat membuat korban tidak dapat mengatakan ”tidak” meskipun sebetulnya menolak.
Jadi, persetujuan penting karena setiap orang memiliki batas personal masing-masing. Tanpa adanya persetujuan, perbuatan yang dilakukan dapat berarti kekerasan rumah tangga, pemerkosaan, atau kekerasan seksual.
Dalam RUU TPKS yang diloloskan Badan Legislasi, kata persetujuan dihapus. Pihak yang tidak setuju pada rancangan awal RUU berpendapat, ketentuan mengenai persetujuan mengarah pada melegalkan zina.
Adapun pihak yang mendukung menilai aturan persetujuan bertujuan melindungi korban kekerasan seksual. Pelaku kekerasan sering menyalahkan korban dengan mengatakan, antara lain, korban tidak mengatakan ”tidak”, tidak tegas menolak, dan atau sama-sama dalam keadaan tidak sadar.
Yang menjadi catatan, kata persetujuan di dalam suatu aturan hukum tidak dapat dilepaskan dari konteks. Permendikbudristek No 30/2021 ataupun RUU Pencegahan Kekerasan Seksual yang gagal lolos dari Badan Legislasi bertujuan melindungi korban kekerasan seksual.
Survei Kemendikbud pada 2020 menunjukkan, 77 persen dosen Indonesia mengatakan terjadi kekerasan seksual di kampus. Hanya 37 persen berani melaporkan kasusnya. Selama Januari-Oktober 2021, Komnas Perempuan menerima 4.500 laporan kasus kekerasan seksual.