Pembelajaran Tatap Muka 100 Persen Sesuai Kondisi Sekolah dan Daerah
Meskipun pandemi Covid-19 di Indonesia sudah menurun, masyarakat tetap diminta waspada.
JAKARTA, KOMPAS – Pembelajaran tatap muka atau PTM 100 persen terus berjalan di banyak daerah. Penyelenggaraan PTM 100 persen yang tetap mengutamakan kesehatan dan keamanan warga sekolah dari penyebaran Covid-19 dilakukan secara beragam sesuai kondisi sekolah dan daerah.
Sejumlah sekolah di Jakarta sudah menjalani PTM 100 persen mulai pekan ini. Pada Rabu (5/1/2021), terlihat ada sekolah yang memberlakukan PTM secara bergantian dalam model dua kelompok atau lebih. Adapula sekolah yang memberlakukan semua siswa hadir bersamaan dan duduk berdampingan.
“Siswa dalam satu kelas dibagi dalam dua kelompok, ada yang masuk pagi dan siang. Seminggu kemudian jadwal kelompok digilir masuknya. Meskipun masih terbatas jam belajar di sekolah, anak-anak senang bisa mulai belajar bersama di sekolah dan berinteraksi dengan guru da teman-teman,” kata Erlina, salah satu orangtua SD swasta di Jakarta Timur.
Sementara itu, di sebuah SMA swasta Jakarta Timur, semua siswa dijadwalkan masuk bersamaan. Satu bangku diduduki dua siswa dan guru terus mengingatkan agar siswa disiplin memakai masker selama di sekolah.
Di daerah lain pemberlakukan PTM pada awal 2022 ini juga bervariasi. Seperti di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, siswa SMA menjalani empat hari PTM dan satu hari daring. Namun, untuk siswa TK belum diputuskan masuk setiap hari karena pihak sekolah masih menunggu keputusan kepala dinas pendidikan setempat.
Sesuai kondisi sekolah
Di Kota Bandung, Jawa Barat, menurut Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah SMA Kota Bandung Andang Segara, penyelenggaraan PTM baru dimulai pada 10 Januari. Sekolah masih menunggu keputusan dari Satgas Covid-19 Kota Bandung apakah pelaksanaan PTM pekan depan bisa 100 persen atau tidak.
“Namun, kami dari pimpinan sekolah SMA, sudah berkumpul dan siap untuk melaksanakan PTM 100 persen ataupun 50 persen. Sudah dua bulan terakhir sekolah mulai PTM terbatas dengan kapasitas 50 persen,” jelas Andang yang juga Kepala SMAN 9 Bandung.
Menurut Andang, pimpinan sekolah SMA sepakat pelaksanaan PTN 100 persen harus disesuaikan dengan kondisi sekolah. Sekolah dengan fasilitas lahan yang luas dan ruang kelas yang memenuhi syarat bisa melaksanakan PTM 100 persen secara bersamaan. Sedangkan, sekolah kecil dengan jumlah siswa banyak bisa menyiasati dengan pembagian kelompok/sif.
Jangan sampai demi mengejar instruksi dari pusat agar siswa semua PTM, lalu ada kerumunan akibat lingkungan sekolah yang tidak memadai.
“Jangan sampai demi mengejar instruksi dari pusat agar siswa semua PTM, lalu ada kerumunan akibat lingkungan sekolah yang tidak memadai. Untuk teknis di lapangan, seharusnya memang tetap menyesuakan kondisi sekolah dan daerah,” ujar Andang yang juga Kepala SMAN 9 Bandung.
Baca juga: Kota Malang Mulai Pembelajaran Tatap Muka secara Penuh
Siasat juga dilakukan sekolah dengan menerapkan Kurikulum Prototipe di tahun 2022 ini dengan menjadi bagian sekolah penggerak mandiri. Ada jadwal 70 persen belajar reguler dan 30 persen berbasis proyek. Dengan demikian, pembelajaran tatap muka bisa dikombinasikan secara luring di ruang kelas maupun tatap muka secara daring di rumah.
“Dengan Kurikulum Prototipe, model belajar hibrid (campuran) tetap bisa dijalankan. Meskipun PTM Sudah rutin, pembelajaran daring nanti tetap akan dijalankan,”kata Andang.
Tetap waspada
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan Kartini Rustandi mengatakan, meskipun pandemi Covid-19 di Indonesia sudah menurun, masyarakat tetap diminta waspada. Masih ada varian Omicron yang meskipun dampaknya ringan, tapi penyebarannya cepat.
“Pada tahun 2021 ketika PTM sudah berjalan, terjadi kasus kluster Covid-19 di sekolah. Ini harus jadi perhatian kita bersama untuk mempersiapkan anak-anak agar bisa melakukan PTM dengan lebih aman,” ujar Kartini.
Faktor penyebab terjadinya kluster sekolah bisa karena kontaminasi dari guru dan pegawai yang positif, maupun dari siswa dan keluarga. Selain itu, sekolah kadang tidak memeriksakan siswa yang bergejala, tapi hanya mengisolasi.
Penyebab lain adalah protokol kesehatan yang longgar dan Satgas Covid-19 sekolah yang tidak berjalan dengan baik. Selain itu, tidak adanya sanksi bagi sekolah yang melanggar hingga pelaksanaan vaksinasi bagi guru dan tenaga kependidikan serta peserta didik yang belum sesuai target juga turut berperan memunculkan kluster di sekolah.
Kartini mengingatkan beberapa titik kritis penularan saat PTM yang perlu diwaspadai. Hal tersebut, antara lain terjadi pada kelas yang minim ventilasi, lamanya waktu berkumpul, serta jarak antar orang satu dengan yang lain yang tidak diatur.
Oleh karena itu, perlu dipastikan penggunaan masker yang baik dan benar, mengimbau anak-anak tidak menyentuh benda yang sering digunakan bersama, serta meminimalkan kegiatan yang mengharuskan orang berpergian.
Menurut Kartini, sekolah harus memastikan rekayasa administratif dan teknis bisa dijalankan selama PTM. Beberapa di antaranya, yaitu menjalankan pembatasan jumlah orang dalam kelas, pengaturan frekuensi dan durasi PTM, pengaturan/jeda jam masuk dan jam pulang, serta tes Covid-19 secara acak/berkala bagi warga satuan pendidikan.
Secara teknis, pengaturan jarak antar orang adalah minimal 1,5 meter di seluruh area. Selain itu, alur pengunjung masuk dan keluar sekolah perlu diatur, juga pemanfaatan aplikasi PeduliLindungi bagi pengunjung.
Baca juga: Pandemi Menumbuhkan Kebiasaan Cuci Tangan
Untuk menekan penularan Covid-19, sekolah mesti menyediakan fasilitas, seperti sarana sarana cuci tangan pakai sabun/hand sanitizer di tiap pintu masuk ruangan, sirkulasi udara dan sinar matahari yang bagus, serta disinfeksi berkala pada area/benda yang digunakan bersama.
Pelanggaran prokes
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru Satriwan Salim mengatakan, pelaksanaan PTM seratus persen berpotensi menimbulkan pelanggaran prokes. Terjadi penumpukan siswa pada pagi hari karena mereka berdatangan dalam waktu bersamaan.
Pada saat mengecek suhu tubuh misalnya, terlihat penumpukan karena jumlah alat pendeteksi suhu (thermo gun) belum memadai."Memastikan tidak berkerumun menjadi tantangan saat PTM 100 persen," kata Satriwan.
Menurut Satriwan, pengawasan ketat dan sanksi harus serius dilakukan. Sebab, ada sekolah yang diam-diam membuka kantin padahal dilarang hingga jam belajar yang lebih dari enam jam pelajaran.
Satriwan mengatakan, sekolah harus bisa mengevaluasi kondisi sekolah. Jika ketaatan pada prokes dan SOP (prosedur operasi standar) masih rendah, jangan memaksakan 100 persen PTM.
Seperti di SMA Labschool Rawamangun, yang masuk 100 persen hanya siswa kelas XII karena sudah mau ujian sekolah. Sedangkan, siswa jelas X dan XI tidak PTM tiap hari.
Penting pula melalukan tes acak atau berkala pada warga sekolah. Wajib tes acak dan berkala penting untuk mencegah sekolah menjadi kluster.
Baca juga: Mulai 2022 Sekolah Tatap Muka Terbatas, Tidak Ada Pilihan Belajar dari Rumah
"Kami juga menyayangkan tidak ada skema pilihan pembelajaran jarak jauh untuk anak. Padahal, ini hak anak untuk memilih nyaman belajar secara langsung atau di rumah dalam kondisi saat ini," kata Satriwan.